Oase di Bukit Karst
Karya: Faiz Deja Ramadhan
Ini tentang mimpi, dan ini hanya suatu permulaan. Aku
berkisah tentang perjalananku ke tanah Dewata, yang hanya menjadi sebuah
harapan. Aku tak pernah menyangka menemukannya dalam situasi yang berbeda.
Siapa yang tak ingin bermimpi liburan ke Bali, menemukan keindahan alam yang
masih di jaga para dewa. Namanya begitu termahsyur di seluruh dunia. Bahkan
mereka para turis tidak mengenal Indonesia, tapi mengenal Bali. Rasanya hanya
sebuah impian. Tawaran backpakeran selalu saja aku tolak. Aku masih saja tak
punya banyak waktu maupun biaya untuk itu. Awal-awal kuliah menyita banyak
waktuku dan juga materi. Apalagi aku harus menyesuaikan dengan budaya yang
berbeda. Yogyakarta begitu terkesan lambat bagiku tak seperti Jakarta yang
segalanya cepat. Kata orang kota ini nyaman, tapi memang nyaman bagi yang sudah
bisa menyesuaikan dan mereka suka akan ketenangan, tidak denganku. Orang dengan karakter yang menyukai keadaan
terburu-buru dalam bertindak agar cepat selesai.
Aku masih saja berkutat dengan tugas dan organisasi di
awal kuliahku. Yah, aku Charin. Charin yang sedang stres karena tugas dan envy
akan teman-teman semasa SMA yang sudah bisa melanglang kemana pun mereka mampu.
Bali, Bromo, Pulau Komodo, Lombok dan tujuan-tujuan lainnya. Saat mereka
memajang display picture di akun
mereka yang berganti-ganti, aku hanya memajang gambar lama tentang Bandung,
Jakarta atau kota kota kecil di Jawa Barat rumah asalku. Kenangan akan kebiasaan
untuk ‘Ngebas’, Ngebolang Asyik yang sempat aku lakukan bersama sahabat lamaku,
‘Ngebas D’Genk’. Aku merasakan kerinduan akan jalan-jalan, bertemu dengan alam
dan berteriak melepas penat. Di Jogja? Bisa apa aku di Jogja. Kota yang sempit
dengan budaya yang belum aku kenal. Bahkan bahasa Jawa yang membuatku seakan
makin tersiksa. "Apa karena aku manja saja? Ah tidak juga". Gumamku
kadang menenangkan.
Hampir satu bulan aku hanya menjalani rutinitas normal sebagai
mahasiswa. Kuliah dan kegiatan organisasi menjadi keseharianku. Paling sesekali
menghibur diri dengan film-film kartun kesukaanku atau sekedar browsing dan online di jejaring sosialku, Facebook.
Tak sadar saat kebosanan benar-benar memuncak, hujan
masih terasa dinginnya sore itu. Aku hanya mengamati pemberitahuan di akunku,
Melihat lihat saran dan menemukan halaman yang cukup menarik. Fanspage tentang kota Jogja. Sedikit
penasaran menghilangkan kebosananku di kala sore. Gambar-gambarnya terlihat
menarik. Apa karena mereka mendapat sisi yang menarik dari kamera mereka.
Entahlah. Tapi aku tertarik dengan semua itu. Pandanganku tentang Jogja yang
"alon-alon waton kelakon" mulai pudar karena landscape yang tertata apik di fanspage
itu. Berawal dari rasa penasaran, aku mulai membuka-buka kontak lamaku.
Mengirim pesan singkat nada mengajak bercanda. Dia pun meresponnya. Kak Kavi, sepupu
jauhku yang kebetulan tinggal di Jogja. Pernah bertemu beberapa kali, namun
kesibukan kami membuat kami jarang bertemu kembali meskipun kami satu kota.
Saat ini dia sedang sibuk mempersiapkan mentalnya untuk penyembuhan sakit yang
di deritanya, tidak bisa bertemu dalam waktu dekat katanya. Sedikit kecewa,
tapi tak apalah, mungkin besok ada waktu luang untuk memintanya mengajakku
berkeliling Yogyakarta.
Minggu di suatu pagi, dia tak lagi bekerja kini. Sudah
keluar dari pekerjaannya sebulan yang lalu sebelum harus menjalani operasi.
Sebulan menunggu hingga dia sembuh total. Aku dapati pesan darinya menanggapi
ajakanku beberapa waktu lalu. Sekarang dia banyak memiliki waktu luang, begitu
pula aku. Libur di hari sabtu dan minggu. Minggu pagi ini aku mencoba menguak
keindahan Jogja di sisi lain. Orang mungkin tak mengira, bahkan aku. Di sisi
timur Kota Pelajar ini berbaris perbukitan kapur yang tandus. Atau biasa
disebut Karst dalam bahasa ilmiah. Tapi itu gambaran lama. Memang di beberapa
daerah masih terlihat kekeringan di sana-sini. Semua itu sirna saat aku
menginjakkan kaki di salah satu surganya Yogyakarta. Perjalanan panjang dan
berliku habis sudah terbayar dengan hempasan angin pantai yang semilir. Deburan
ombak bergulung-gulung menabrak karang.
" Bali kecil !" Seruku dengan ceria.
" Selamat datang di impianmu." Jelas Kak Kavi.
Dia seakan tahu apa yang aku inginkan. Berlibur ke pulau Dewata dan
menikmati alam serta pantai dengan pasir putihnya. Kini Bali seakan terbayar
sedikit di sini. Pantai Ngobaran yang elok dengan tebing tinggi yang gagah. Di
atas sana ada pura kecil tempat ibadah yang masih digunakan sampai saat ini.
Bahkan pantai ini adalah tempat diselenggarakannya melasti sebelum hari raya
Nyepi, tutur kak Kavi yang sudah beberapa kali ke pantai ini. Pasirnya yang
putih berpadu padan dengan karang berlumut yang hijau. Airnya jernih, sesekali
bintang laut dan ikan- ikan kecil berenang ke sana ke mari nampak liar.
Ombaknya besar khas pantai selatan. Patung patung tempat pemujaan berdiri di
atas tebing, tepat di barisan paling depan, Wisnu nampak gagah menaiki garuda.
Gubuk-gubuk kecil menambah kehangatan suasana. Betah seharian disini
menghabiskan waktu untuk bersantai. Menikmati Jogja di sisi lain.
Dari tempat ini, gambaranku tentang Jogja mulai
memudar, tak ada lagi kesan lambat bahkan kuno. Hanya ada dari kuno itu
tersimpan teka-teki yang ingin diungkap, dan ini salah satu jawabannya. Harus
pandai menyiasati tempat kalau mau berlibur ke Jogja, karena Jogja itu "never ending Asia" . Tak pernah
berakhir dan usai untuk di jelajahi. Setiap incinya mengandung makna dan
budaya.
Puas
rasanya menikmati pantai itu, kak Kavi memang tahu apa yang aku butuhkan,
sedikit menguras penat akan kuliah dan penyesuaian yang tak pernah berakhir. Tak jauh dari pantai kecil itu ada pantai panjang,
dengan pasirnya yang putih pula. Nguyahan terlihat lebih luas untuk melihat
ombak yang berhamburan. Tak terhalang dinding tinggi menjulang. Hanya berjalan
kaki sepuluh menit saja dari Ngobaran. Pantai ini lebih ramai dari yang aku
bayangkan. Gunung Kidul yang aku kira sepi tapi wisatawan telah menyentuh
tempat ini pula. Terlihat disana sini anak-anak sedang bermain pasir dan air,
beberapa diantaranya terlihat orang-orang menjemur rumput laut untuk dijual ke
pengepul jika sudah terkumpul. Kekayaan hayati tersimpan di
padang gersang gunung kapur Gunung Kidul.
Mentari mulai terik di atas ubun-ubun, perjalanan tak hanya berhenti di dua
pantai ini saja. Motor terasa melaju dengan kencang di jalan sepi antara hutan
rakyat dan hamparan sawah yang terlihat gersang juga. Penduduk nampak berarak
di pinggir jalan membawa kayu bakar dari hutan. Rumah-rumah masih jarang
terlihat. Namun sepertinya sudah ada listrik di daerah ini. Betapa sepinya jika
malam telah menghampiri. Tiga puluh menit berkendara dari pantai didapati jalan
rusak yang hanya batu dan tanah. Jalan ini masih dalam perbaikan mungkin,
mengingat alat-alat berat masih terparkir di pinggir jalan. Menelusuri jalan
rusak ini hampir lima kilometer, bahkan aku berpikir sepertinya ban motor juga
hampir-hampir robek. Jahitannya sudah terlihat menganga. Cukup membosankan padahal
keindahan pesisir telah membayarnya tadi. Tapi ternyata ujung jalan telah
terlihat pos kecil retribusi dengan antrian kendaraan, berbelok menurun lalu
berhenti di pelataran gua Rancang Kencana. Disini petualangan berikutnya
berlanjut. Di dalam gua ini menyeruak pohon tua yang menjulang. Memberi kesan
mistis namun rindang. Gua yang tak begitu lebar itu hanya sebentar kami nikmati
setelah memarkirkan motor. Kami lebih banyak menghabiskan waktu memakan bekal
di atas batu-batu kapur yang ditata menyerupai peninggalan masa purba. Gersang
memang, namun sesekali sepoi angin menyeka keringat. Panas tak menyurutkan
keinginan kami, selepas mengisi perut, langkah kaki semangat kembali berpacu.
Setelah itu kami menelusuri sungai dengan sebuah kapal
kelotok yang mana di pinggir sungai itu terdapat air terjun Sri Gethuk yang
begitu indah, sebentar kami bermain air dibawah kucuran deras air terjun
tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah gunung api purba bernama
Nglanggeran melewati jalur pendakian yang cukup sempit karena diapit dinding
gunung kapur yang menjulang tinggi, pemberhentian kami ada pada puncak
pendakian terendah di gunung tersebut. Sekedar memotret keindahan alam dari
atas gunung, lalu kami memutuskan pulang dengan melajukan motor di jalan pulang
yang berliku dan mendaki juga menurun itu.
Dari turunan terakhir terlihat pemandangan yang
berkerlip. Kami memilih berhenti untuk mengisi perut yang meronta. Tinggal
pilih, sederetan warung makan siap melayani dengan ramah. Memilih satu di
antaranya, makan malam dengan latar hamparan kerlip lampu kota. Apalagi bulan
yang bulat penuh tak terhalang mendung membuat Bukit Hargodumilah atau biasa
disebut bukit bintang menjadi tempat yang sempurna untuk mengakhiri petualangan
hari ini.
Tak pernah aku membayangkan Gunung Kidul yang gersang, ternyata
menyimpan pesona yang luar biasa. Setidaknya aku akan menikmati Bali-Bali kecil
di Yogyakarta lagi nantinya, alias lokasi wisata lainnya di Gunung Kidul.
Perjalanan hari ini, melelahkan. Aku dapat mengambil
pelajaran berharga. Gunung Kidul ternyata menyimpan keindahan yang tak
terbayangkan. Oase di bukit karst yang gersang. Ketenangan, keindahan, dan
keramahan yang membuat kami semakin bersyukur atas alam ini. Aku boleh menjadi pendatang.
Tapi saat aku di Yogyakarta. Jiwaku harus menyatu dengannya. Itu seakan
membuatku belajar akan cinta tanah air, tanah yang kita pijak, Indonesia.
Terimakasih kak Kavi, terimakasih Gunung Kidul, terima kasih Yogyakarta, terima
kasih Indonesia, dan terima kasih Tuhan Sang Pencipta alam.
Kisah ini dapat dibaca pada buku Buku
Wisata Asyik Ala Penulis, Kumpulan Kisah Inspiratif di Lokasi Wisata oleh FAM
Jabodetabek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar