SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 10 September 2014

Karya 22 Dibukukan (Cerita Inspiratif)

Aku dan Kisahku
 Karya: Faiz Deja Ramadhan
“Besok sudah Idul Fitri ya?” Seruku dalam hati.
Aku bahkan tak menghitung puasaku sudah dapat berapa hari. Masih ingat benar dibenakku aku sahur dengan mie rebus setiap paginya atau kalau tidak makan sayur seadanya dengan nasi yang aku ambil dari dapur umum.
“Setidaknya sudah banyak kue di rumah, meski tak ada baju baru.”
Aku selalu menenangkan diriku sendiri ketika kegalauan melanda. Hari ini adalah puasa terakhir. Aku masih dikelilingi dengan reruntuhan tembok, pasir, semen dan genting. Matahari begitu terik diatas ubun-ubun, berteduh di manapun akan panas kalau kampungku tak memiliki bangunan rumah-rumah lagi. Ya, aku sekarang tinggal di daerah bencana, Mei lalu seluruh rumah di kampungku bahkan di kotaku rata dengan tanah setelah gempa mengguncang di tahun 2006 ini, tanpa pandang bulu.

Berbulan-bulan aku hidup di tenda pengungsian sederhana yang dibuat bapakku di bawah pohon nangka. Baru setelah itu pindah diatas tanah bekas rumahku yang telah runtuh. Membangun bangunan sederhana dengan seng dan triplek. Terbayang betapa panasnya tempat itu. Setidaknya 20 hari aku menghabiskan puasa di sekolah yang tidak terlalu panas, namun tetap saja matahari menyengat ketika harus mengayuh sepeda pulang. Mungkin sebagian orang ini adalah lebaran yang buruk, namun bagiku ini sempurna. Tuhan itu Maha Adil menurutku, semuanya dianggap sama dihadapannya. Rumah-rumah dirobohkan dalam sebuah bencana, harta diambil, nyawapun diambil-Nya. Ada duka tapi ada juga suka, suka akan kesetaraan dan duka atas kehilangan. Setidaknya Ramadhan kini dan lebaran besok kami akan menjadi insan baru, terlahir kembali. Tak hanya aku tapi semua orang.

Sehari menjelang hari kemenangan aku lihat bapak-bapak nampak sibuk di masjid, mempercantik masjid yang masih kokoh berdiri meski gempa meluluh lantahkan bangunan di sekitarnya, Subhanallah ini adalah bukti kuasanya, rumah Tuhan tak dapat digoyahkan. Lalu ibu-ibu nampak sigap memasak di dapur umum untuk pesta makan bersama seluruh warga besok hari, di hari kemenangan. Tak ada kemewahan di Idul Fitri, itu cukup membuatku tersenyum lebar. Aku sering melalui lebaran tanpa baju baru atau makanan yang banyak, tapi aku kira mereka tidak. Mungkin aku berdosa menertawakan mereka, namun aku berharap mereka sadar akan inti dari semua ini. Mereka tak lagi bermewah-mewahan yang berlebihan.

Lebaran bagiku adalah saat aku kembali ke dalam kesucian, bertambah dewasa dan bertambah kuat keimanannya, menjadi dikiku yang baru bukan karena baju baru yang selama ini orang banggakan. Ini juga pertama kalinya lebaran di gubuk kecil dengan banyak kue, sebelumnya tak pernah ku miliki kue di toples saat lebaran. Kue-kue sisa bantuan gempa mempercantik meja kayu yang telah rapuh. Aku sering melalui Idul Fitri dalam kesederhanaan, karena memang aku berasal dari keluarga sederhana, hanya tinggal dengan bapakku. Tanpa ibu dan saudaraku yang merantau karena memang kebutuhan membuat mereka harus jauh dari aku dan bapakku. Mereka tak pernah mudik saat lebaran maupun hari besar lainnya, miris sekali lebaranku. Sedikit tersenyum sinis boleh lah, ketika melihat orang-orang juga akan menggelar hajat besar ini secara sederhana bahkan dalam keterpurukan.
“Aku sudah sering melakukannya.”
Bahkan aku menganggap lebaran kali ini paling meriah dalam hidupku, di malam takbir aku dapat berbaur dengan anak-anak. Menyalakan obor dan berkeliling kampung menyerukan takbir tanda kemenangan, semalam suntuk memainkan musik dari kaleng-kaleng bekas membuat riuh namun semarak dalam keharmonisan. Inilah hari kemenangan yang ditunggu oleh kebanyakan umat Islam, termasuk aku. Aku menunggu mereka sadar akan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini dibanggakan. Aku berada di barisan depan, bersama para ulama kampung yang berjajar rapi menghadap kiblat, sholat Idul Fitri terlaksana dengan khusyu, dengan masih memiliki rasa was-was akan gempa yang masih saja sering dirasakan. Khutbah yang disampaikan terdengar sederhana namun dalam, menyoroti tentang gempa dan kesederhanaan, tepat seperti yang selalu aku pikirkan. Selepas itu bersalaman dan saling memaafkan, inilah saatnya bagiku untuk meminta maaf karena kemarin sempat menertawakan mereka.


Lebaran di 2006, adalah transformasi penyadaran untuk menghadap Tuhan di hari suci ini dengan kesederhanaan, karena masih banyak orang di luar sana yang tak mempunyai cukup uang untuk merayakan lebaran, namun mereka memiliki hati yang tulus untuk beribadah kepada Tuhan, karena bagi mereka Tuhan itu ada bukan karena uang yang di Tuhankan di dunia ini. Tapi Tuhan selalu hadir di dalam hati manusia dan akan terus memberikan kebahagiaan melalui perasaan apabila manusia tersebut mau merasakan.

Cerita “Aku dan Kisahku” merupakan Cerita Inspiratif pada tema Idul Fitri dalam Buku Cerita di Hari Besar Islam yang diterbitkan oleh Penerbit Asrifa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar