Aku
dan Kisahku
Karya: Faiz Deja Ramadhan
“Besok sudah Idul Fitri ya?” Seruku
dalam hati.
Aku bahkan tak menghitung puasaku sudah
dapat berapa hari. Masih ingat benar dibenakku aku sahur dengan mie rebus
setiap paginya atau kalau tidak makan sayur seadanya dengan nasi yang aku ambil
dari dapur umum.
“Setidaknya sudah banyak kue di rumah,
meski tak ada baju baru.”
Aku selalu menenangkan diriku sendiri
ketika kegalauan melanda. Hari ini adalah puasa terakhir. Aku masih dikelilingi
dengan reruntuhan tembok, pasir, semen dan genting. Matahari begitu terik
diatas ubun-ubun, berteduh di manapun akan panas kalau kampungku tak memiliki
bangunan rumah-rumah lagi. Ya, aku sekarang tinggal di daerah bencana, Mei lalu
seluruh rumah di kampungku bahkan di kotaku rata dengan tanah setelah gempa mengguncang
di tahun 2006 ini, tanpa pandang bulu.
Berbulan-bulan aku
hidup di tenda pengungsian sederhana yang dibuat bapakku di bawah pohon nangka.
Baru setelah itu pindah diatas tanah bekas rumahku yang telah runtuh. Membangun
bangunan sederhana dengan seng dan triplek. Terbayang betapa panasnya tempat
itu. Setidaknya 20 hari aku menghabiskan puasa di sekolah yang tidak terlalu
panas, namun tetap saja matahari menyengat ketika harus mengayuh sepeda pulang.
Mungkin sebagian orang ini adalah lebaran yang buruk, namun bagiku ini
sempurna. Tuhan itu Maha Adil menurutku, semuanya dianggap sama dihadapannya. Rumah-rumah
dirobohkan dalam sebuah bencana, harta diambil, nyawapun diambil-Nya. Ada duka
tapi ada juga suka, suka akan kesetaraan dan duka atas kehilangan. Setidaknya Ramadhan
kini dan lebaran besok kami akan menjadi insan baru, terlahir kembali. Tak
hanya aku tapi semua orang.
Sehari menjelang hari
kemenangan aku lihat bapak-bapak nampak sibuk di masjid, mempercantik masjid
yang masih kokoh berdiri meski gempa meluluh lantahkan bangunan di sekitarnya,
Subhanallah ini adalah bukti kuasanya, rumah Tuhan tak dapat digoyahkan. Lalu
ibu-ibu nampak sigap memasak di dapur umum untuk pesta makan bersama seluruh
warga besok hari, di hari kemenangan. Tak ada kemewahan di Idul Fitri, itu
cukup membuatku tersenyum lebar. Aku sering melalui lebaran tanpa baju baru
atau makanan yang banyak, tapi aku kira mereka tidak. Mungkin aku berdosa
menertawakan mereka, namun aku berharap mereka sadar akan inti dari semua ini.
Mereka tak lagi bermewah-mewahan yang berlebihan.
Lebaran bagiku adalah
saat aku kembali ke dalam kesucian, bertambah dewasa dan bertambah kuat
keimanannya, menjadi dikiku yang baru bukan karena baju baru yang selama ini
orang banggakan. Ini juga pertama kalinya lebaran di gubuk kecil dengan banyak
kue, sebelumnya tak pernah ku miliki kue di toples saat lebaran. Kue-kue sisa
bantuan gempa mempercantik meja kayu yang telah rapuh. Aku sering melalui Idul
Fitri dalam kesederhanaan, karena memang aku berasal dari keluarga sederhana,
hanya tinggal dengan bapakku. Tanpa ibu dan saudaraku yang merantau karena
memang kebutuhan membuat mereka harus jauh dari aku dan bapakku. Mereka tak
pernah mudik saat lebaran maupun hari besar lainnya, miris sekali lebaranku.
Sedikit tersenyum sinis boleh lah, ketika melihat orang-orang juga akan
menggelar hajat besar ini secara sederhana bahkan dalam keterpurukan.
“Aku sudah sering melakukannya.”
Bahkan aku menganggap lebaran kali ini
paling meriah dalam hidupku, di malam takbir aku dapat berbaur dengan
anak-anak. Menyalakan obor dan berkeliling kampung menyerukan takbir tanda
kemenangan, semalam suntuk memainkan musik dari kaleng-kaleng bekas membuat
riuh namun semarak dalam keharmonisan. Inilah hari kemenangan yang ditunggu
oleh kebanyakan umat Islam, termasuk aku. Aku menunggu mereka sadar akan
kesombongan dan keangkuhan yang selama ini dibanggakan. Aku berada di barisan
depan, bersama para ulama kampung yang berjajar rapi menghadap kiblat, sholat
Idul Fitri terlaksana dengan khusyu, dengan masih memiliki rasa was-was akan
gempa yang masih saja sering dirasakan. Khutbah yang disampaikan terdengar
sederhana namun dalam, menyoroti tentang gempa dan kesederhanaan, tepat seperti
yang selalu aku pikirkan. Selepas itu bersalaman dan saling memaafkan, inilah
saatnya bagiku untuk meminta maaf karena kemarin sempat menertawakan mereka.
Lebaran di 2006, adalah
transformasi penyadaran untuk menghadap Tuhan di hari suci ini dengan
kesederhanaan, karena masih banyak orang di luar sana yang tak mempunyai cukup
uang untuk merayakan lebaran, namun mereka memiliki hati yang tulus untuk
beribadah kepada Tuhan, karena bagi mereka Tuhan itu ada bukan karena uang yang
di Tuhankan di dunia ini. Tapi Tuhan selalu hadir di dalam hati manusia dan
akan terus memberikan kebahagiaan melalui perasaan apabila manusia tersebut mau
merasakan.
Cerita “Aku
dan Kisahku” merupakan Cerita Inspiratif pada tema Idul Fitri dalam Buku Cerita di Hari
Besar Islam yang diterbitkan oleh Penerbit Asrifa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar