SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 10 September 2014

Karya 25 Dibukukan (Cerpen)

Hidayah-Nya
Karya: Faiz Deja Ramadhan

Agama, kata orang agama adalah tiang kehidupan. Agama adalah petunjuk arah dan pegangan hidup agar kita selalu ingat akan Tuhan. Tuhan yang mana saja. Aku yang kecil waktu itu diam saja ketika Pak Ustadz atau yang lainnya membicarakan agama. Aku menganggap agamaku adalah Islam, suatu agama yang diberikan turun temurun dari keluargaku. Aku tidak pernah mendapatkan pendidikan agama yang lengkap. Masa kecil dihabiskan tanpa kasih sayang orang tua dan keluarga yang lengkap. Aku bertahan dalam kesendirian masa kecil, jangankan belajar mengaji, bermain saja hampir tidak ada waktu. Bukannya sibuk, namun memang waktu lebih banyak  aku habiskan di rumah. Itupun terbawa hingga sekarang aku beranjak besar. Sejak SD hingga SMA nilai agamaku selalu terendah, baca Al-Quran hanya sebatas kata-kata yang terbata, tak memahami bacaan shalat. Namun aku tak pernah menyerah, aku tetap shalat dan membaca Al-Quran sebisaku. Hal ini yang paling berdosa adalah aku selalu membohongi guru agamaku demi sebuah nilai yang bagus, aku selalu mencatat kata demi kata dalam Al-Quran agar lancar saat membaca di depan guru. Dengan seperti itu nilaiku akan lebih baik daripada harus mengulang lagi, itu mencederai kesempurnaan nilaiku yang lain. Beruntungnya guru tak pernah mengetahui hal itu, hingga aku jujur dalam tulisan ini.
SD dan SMP aku masih diam saja tentang agama, aku masih menerima agamaku dengan suka cita. Menjalankan semua tuntunan agama meski dalam keterbatasan. Mungkin aku menjalankannya lebih baik daripada teman seusiaku yang paham agama. Dari kelas satu SMP hingga kelas 1 SMA, aku selalu menjalankan shalat wajib lima waktu dengan dua sunah pengiringnya, Shalat Tahajud dan Dhuha, belum lagi puasa Senin-Kamis yang tak pernah ketinggalan. Di dalam ibadah itu ada harapan agar aku menjadi insan yang lebih baik lagi dan dapat mempertahankan prestasiku. Tuhan memang tak pernah tidur, aku selalu mendapatkan kemudahan dalam segala hal saat aku dekat dengannya, prestasi sekolah selalu terbaik, belum lagi berbagai event lomba selalu dapat aku ikuti dengan lancar. Aku mulai terkenal diantara anak-anak di sekolahku. Lulus dengan nilai yang cukup tinggi, dan akhirnya aku dan keluargaku terselamatkan dari bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada tanggal 26 Mei 2006 lalu. Kami terselamatkan karena Shalat Subuh menuntun kami untuk beranjak dari tempat tidur dan segera berkegiatan, dari situlah kami tidak tersentuh oleh gempa. Rumah dan bangunan yang lainnya roboh, namun tak melukai kami sedikitpun. Rasa syukurku pada Tuhan begitu hebat, aku bangga masih memeluk Islam yang selalu memberi berkah dan hidayah yang tak pernah diduga.
Masa-masa gempa menjadi hal tersulit, iman mulai tergoyah ketika pertanyaan dalam hati menghantui, orang-orang yang dekat dengan Tuhan sekalipun menjadi sasaran bencana yang kebanyakan orang menganggap ini ujian. Aku masih bersyukur karena terselamatkan, namun tak memiliki rumah seakan membuat diriku terpukul. Kami sudah hidup dalam kesulitan, namun Tuhan memberi ujian lagi. Keimanan seakan tak ada gunanya saat Tuhan menguji sepeti ini. Aku menjalaninya untuk tetap bersabar dan berserah diri pada-Nya, berharap hidayah itu semakin besar datang padaku untuk mengetahui kebesarannya. Prinsip itu aku bawa hingga aku duduk di bangku SMA.
Saat inilah tantangan yang baru dimulai. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak kalangan, rasa ingin tahu akan hal baru membawaku dalam arus yang lebih deras lagi. Pertanyaan lama yang selalu terpendam kini muncul kembali. Akankah aku beragama hanya mengikuti apa yang orang tuaku jalani, bahkan mereka pun tak mengasuhku dari kecil. Anak yang lahir dari keluarga Islam harus menjadi seorang muslim juga? Bukankah beragama adalah pilihan dari setiap individu. Aku menjadi orang yang lalim, apalagi nilaiku semakin turun di awal-awal sekolahku. Aku meninggalkan shalat bahkan menjajal agama yang lain sebagai pedoman hidupku. Aku mulai mengenal ajaran agama lain dan meninggalkan shalat serta agama yang aku bangun selama ini, belum sah benar, karena memang aku masih mengikuti pelajaran agama Islam dan mencantumkan nilainya dalam rapor. Aku masih diam-diam meski kebanyakan orang mengetahuinya. Menjadi lalim membuat niilaiku semakin meningkat, aku menjadi bagian dari orang-orang pintar di sekolahku. Berprestasi dan selalu dielu-elukan. Namun di balik semua itu aku menyimpan kebohongan yang besar akan agamaku dan agama yang aku anut. Hal itu berlanjut hingga aku lulus sekolah dengan nilai yang lumayan bagus. Tak buruk untuk orang sepertiku. Kemiskinan, kebodohan mungkin telah membawaku ke dalam tonggak yang melupakan siapa Tuhan yang telah menyelamatkanku dan keluargaku, serta siapa Tuhan yang telah membimbingku hingga sekarang. Disaat seperti itu terkadang aku berpikir untuk kembali memeluk Islam, namun kadang aku takut akan amarah Tuhan yang begitu hebat karena aku telah menduakannya. Aku malah semakin gila dengan mencoba mempelajari ajaran agama yang lain, ada tiga agama yang pernah aku jalani. Islam sebagai agama indukku, dan agama-agama lain menjadi agama singkatku saat aku beranjak dewasa.
Waktu terus berlanjut dalam kehidupan ini. Terkadang aku termenung dalam kesendirian, saat orang lain berbondong-bondong ke masjid atau tempat peribadatan lain aku malah semakin terpuruk dalam kebingungan ini. Terkadang orang tua atau orang terdekatku menanyakan keyakinanku yang sebenarnya, namun aku tak dapat menjawabnya dengan mantap, karena aku tak ingin melukai perasaan mereka. Perjalanan panjang dari seorang pemeluk teguh yang sekarang lalim, terpuruk dan mencari pencerahan, lama hingga aku temukan seorang teman yang dengan tulus membimbingku menemukan hidayahnya, mengajariku untuk mengambil air wudhu lagi, bersujud dalam doa, menengadah memohon padanya, Shalat Jumat. Membaca syahadat dan kembali memeluk Islam, entah dosa apa yang telah aku lalui, namun katanya Tuhan adalah Maha Pengampun apapun dosa kita, asal kita mau meminta ampunannya, agamanya masih terbuka luas bagi siapapun yang mau bertobat. Bagi orang bodoh sepertiku, mungkin akan merasa sayang menghapus amal perbuatanku selama bertahun-tahun jika memeluk agama lain, namun beragama bukanlah masalah pahala, tapi keyakinan dan iman kepada Allah, aku mempercayai Allah itu ada seperti aku mempercayai bahwa di kepalaku ada sebuah otak, meski aku tak melihatnya. Aku kembali ke jalan Islam setelah hidayah itu datang dari seorang teman yang menyadarkanku, setelah sekian lama aku terpuruk. Subhanallah.
Cerpen “Hidayah-Nya” ini dapat pula dibaca di dalam Buku Antologi Cerpen Para Pencari Hidayah oleh Pena Indis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar