Hidayah-Nya
Karya: Faiz Deja Ramadhan
Agama,
kata orang agama adalah tiang kehidupan. Agama adalah petunjuk arah dan
pegangan hidup agar kita selalu ingat akan Tuhan. Tuhan yang mana saja. Aku
yang kecil waktu itu diam saja ketika Pak Ustadz atau yang lainnya membicarakan
agama. Aku menganggap agamaku adalah Islam, suatu agama yang diberikan turun
temurun dari keluargaku. Aku tidak pernah mendapatkan pendidikan agama yang
lengkap. Masa kecil dihabiskan tanpa kasih sayang orang tua dan keluarga yang
lengkap. Aku bertahan dalam kesendirian masa kecil, jangankan belajar mengaji,
bermain saja hampir tidak ada waktu. Bukannya sibuk, namun memang waktu lebih
banyak aku habiskan di rumah. Itupun
terbawa hingga sekarang aku beranjak besar. Sejak SD hingga SMA nilai agamaku
selalu terendah, baca Al-Quran hanya sebatas kata-kata yang terbata, tak
memahami bacaan shalat. Namun aku tak pernah menyerah, aku tetap shalat dan
membaca Al-Quran sebisaku. Hal ini yang paling berdosa adalah aku selalu
membohongi guru agamaku demi sebuah nilai yang bagus, aku selalu mencatat kata
demi kata dalam Al-Quran agar lancar saat membaca di depan guru. Dengan seperti
itu nilaiku akan lebih baik daripada harus mengulang lagi, itu mencederai
kesempurnaan nilaiku yang lain. Beruntungnya guru tak pernah mengetahui hal
itu, hingga aku jujur dalam tulisan ini.
SD
dan SMP aku masih diam saja tentang agama, aku masih menerima agamaku dengan
suka cita. Menjalankan semua tuntunan agama meski dalam keterbatasan. Mungkin
aku menjalankannya lebih baik daripada teman seusiaku yang paham agama. Dari
kelas satu SMP hingga kelas 1 SMA, aku selalu menjalankan shalat wajib lima
waktu dengan dua sunah pengiringnya, Shalat Tahajud dan Dhuha, belum lagi puasa
Senin-Kamis yang tak pernah ketinggalan. Di dalam ibadah itu ada harapan agar aku
menjadi insan yang lebih baik lagi dan dapat mempertahankan prestasiku. Tuhan
memang tak pernah tidur, aku selalu mendapatkan kemudahan dalam segala hal saat
aku dekat dengannya, prestasi sekolah selalu terbaik, belum lagi berbagai event
lomba selalu dapat aku ikuti dengan lancar. Aku mulai terkenal diantara
anak-anak di sekolahku. Lulus dengan nilai yang cukup tinggi, dan akhirnya aku
dan keluargaku terselamatkan dari bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta
pada tanggal 26 Mei 2006 lalu. Kami terselamatkan karena Shalat Subuh menuntun
kami untuk beranjak dari tempat tidur dan segera berkegiatan, dari situlah kami
tidak tersentuh oleh gempa. Rumah dan bangunan yang lainnya roboh, namun tak
melukai kami sedikitpun. Rasa syukurku pada Tuhan begitu hebat, aku bangga
masih memeluk Islam yang selalu memberi berkah dan hidayah yang tak pernah
diduga.
Masa-masa
gempa menjadi hal tersulit, iman mulai tergoyah ketika pertanyaan dalam hati
menghantui, orang-orang yang dekat dengan Tuhan sekalipun menjadi sasaran
bencana yang kebanyakan orang menganggap ini ujian. Aku masih bersyukur karena
terselamatkan, namun tak memiliki rumah seakan membuat diriku terpukul. Kami
sudah hidup dalam kesulitan, namun Tuhan memberi ujian lagi. Keimanan seakan
tak ada gunanya saat Tuhan menguji sepeti ini. Aku menjalaninya untuk tetap bersabar
dan berserah diri pada-Nya, berharap hidayah itu semakin besar datang padaku
untuk mengetahui kebesarannya. Prinsip itu aku bawa hingga aku duduk di bangku
SMA.
Saat
inilah tantangan yang baru dimulai. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak
kalangan, rasa ingin tahu akan hal baru membawaku dalam arus yang lebih deras
lagi. Pertanyaan lama yang selalu terpendam kini muncul kembali. Akankah aku
beragama hanya mengikuti apa yang orang tuaku jalani, bahkan mereka pun tak
mengasuhku dari kecil. Anak yang lahir dari keluarga Islam harus menjadi
seorang muslim juga? Bukankah beragama adalah pilihan dari setiap individu. Aku
menjadi orang yang lalim, apalagi nilaiku semakin turun di awal-awal sekolahku.
Aku meninggalkan shalat bahkan menjajal agama yang lain sebagai pedoman
hidupku. Aku mulai mengenal ajaran agama lain dan meninggalkan shalat serta
agama yang aku bangun selama ini, belum sah benar, karena memang aku masih
mengikuti pelajaran agama Islam dan mencantumkan nilainya dalam rapor. Aku
masih diam-diam meski kebanyakan orang mengetahuinya. Menjadi lalim membuat
niilaiku semakin meningkat, aku menjadi bagian dari orang-orang pintar di sekolahku.
Berprestasi dan selalu dielu-elukan. Namun di balik semua itu aku menyimpan
kebohongan yang besar akan agamaku dan agama yang aku anut. Hal itu berlanjut
hingga aku lulus sekolah dengan nilai yang lumayan bagus. Tak buruk untuk orang
sepertiku. Kemiskinan, kebodohan mungkin telah membawaku ke dalam tonggak yang
melupakan siapa Tuhan yang telah menyelamatkanku dan keluargaku, serta siapa Tuhan
yang telah membimbingku hingga sekarang. Disaat seperti itu terkadang aku
berpikir untuk kembali memeluk Islam, namun kadang aku takut akan amarah Tuhan
yang begitu hebat karena aku telah menduakannya. Aku malah semakin gila dengan
mencoba mempelajari ajaran agama yang lain, ada tiga agama yang pernah aku
jalani. Islam sebagai agama indukku, dan agama-agama lain menjadi agama singkatku
saat aku beranjak dewasa.
Waktu
terus berlanjut dalam kehidupan ini. Terkadang aku termenung dalam kesendirian,
saat orang lain berbondong-bondong ke masjid atau tempat peribadatan lain aku
malah semakin terpuruk dalam kebingungan ini. Terkadang orang tua atau orang
terdekatku menanyakan keyakinanku yang sebenarnya, namun aku tak dapat
menjawabnya dengan mantap, karena aku tak ingin melukai perasaan mereka.
Perjalanan panjang dari seorang pemeluk teguh yang sekarang lalim, terpuruk dan
mencari pencerahan, lama hingga aku temukan seorang teman yang dengan tulus
membimbingku menemukan hidayahnya, mengajariku untuk mengambil air wudhu lagi,
bersujud dalam doa, menengadah memohon padanya, Shalat Jumat. Membaca syahadat
dan kembali memeluk Islam, entah dosa apa yang telah aku lalui, namun katanya
Tuhan adalah Maha Pengampun apapun dosa kita, asal kita mau meminta ampunannya,
agamanya masih terbuka luas bagi siapapun yang mau bertobat. Bagi orang bodoh
sepertiku, mungkin akan merasa sayang menghapus amal perbuatanku selama
bertahun-tahun jika memeluk agama lain, namun beragama bukanlah masalah pahala,
tapi keyakinan dan iman kepada Allah, aku mempercayai Allah itu ada seperti aku
mempercayai bahwa di kepalaku ada sebuah otak, meski aku tak melihatnya. Aku
kembali ke jalan Islam setelah hidayah itu datang dari seorang teman yang
menyadarkanku, setelah sekian lama aku terpuruk. Subhanallah.
Cerpen “Hidayah-Nya” ini dapat pula dibaca di dalam Buku Antologi Cerpen Para Pencari Hidayah oleh Pena Indis.
Cerpen “Hidayah-Nya” ini dapat pula dibaca di dalam Buku Antologi Cerpen Para Pencari Hidayah oleh Pena Indis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar