SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 10 September 2014

Karya 17 Dibukukan (Cerpen)

Alarm
Karya: Faiz Deja Ramadhan

Awan bersyukur masih dapat menghirup nafas meski tersengal. Dia ingat waktu itu, kabut tebal dari taburan semen dan batu bata yang lebur. Melihat runtuhnya sebuah kampung seperti pada film perang yang sering ditontonnya di televisi. 2006, masa kembali dari awal kehidupan. Tak ada kaya dan miskin lagi, harta tak ada artinya di hadapan kuasa Tuhan. Sehari sebelum 27 Mei 2006, dia masih saja merasakan galau berkelanjutan akan hasil ujian nasionalnya. Banyak usaha yang dilakukan termasuk puasa Senin-Kamis sejak di bangku kelas satu SMP. Sholat tak cukup lima waktu, menambahnya dengan shalat Tahajud dan Dhuha. Dia anggap dirinya cukup dekat dengan Tuhan alias masih dianggap beriman, tak pernah dia merasa ragu akan sosok-Nya. Harinya masih biasa dengan kesendirian di rumah yang kecil di tengah kampung bersama dengan bapak. Ibunya merantau ke negeri orang demi hidup keluarga mereka. Kakak Awan satu-satunya sudah merantau ke kota lain demi karirnya. Rasa syukur itu juga dipanjatkan karena memang Tuhan selalu memberi jalan baginya untuk menjalani sekolah tanpa membebani orang tua, bahkan dia selalu berprestasi karena memang Tuhan selalu mengabulkan doa di setiap permohonannya.

Pagi di tanggal 27 Mei 2006. Suara azan subuh berkumandang pada toa selalu menjadi alarm baginya. Meski tak lagi menjalani ujian, Awan masih saja melakukan sholat tujuh waktu, sholat Subuh tak pernah ditinggalkannya, selalu tepat waktu. Menyucikan diri dan memohon pada-Nya. Awan selalu membangunkan bapaknya pula untuk melakukan ibadah sholat Subuh, lalu mereka berbagi tugas. Bapaknya menyiapkan sarapan, sedangkan  Awan sibuk membersihkan halaman. Tak ada yang ganjil di pagi itu, Gunung Merapi yang memang bergejolak tak terlalu mengkhawatirkan karena jaraknya terlampau jauh dari rumah Awan, tapi entah apa yang terjadi. Pukul enam kurang, Awan merasakan getaran yang dahsyat, melihat pepohonan melambai begitu hebat, tembok bergetar dan  rumah tetangga roboh seketika, alunan tangis terdengar begitu hebat. Satu, dua, tiga, semua rumah roboh. Seketika udara menjadi sesak untuk dihirup, tak lagi segar seperti pagi sebelumnya. Kabut putih dari campuran semen bangunan menyelimuti kampung yang menurutnya damai.

Bergegas berlari menghampiri rumahnya yang juga rata dengan tanah, dia tak melihat bapaknya ada di sana. Dia sudah tertimbun reruntuhan rumah. Awan menangis keras-keras sambil membongkar satu persatu kayu, batu dan apapun yang menimbun. Hampir putus asa. Tak juga Awan temukan bapaknya, hingga dia melihatnya keluar dari reruntuhan di sisi lain, syukur bapaknya masih hidup dan selamat tanpa luka. Awan dan bapaknya tak berpikir panjang lagi, ini tugas bersama untuk menyelamatkan yang lain, mereka menemukan 22 korban yang sudah meninggal dan beberapa saudara serta tetangga yang luka parah. Semua bahu-membahu memberi bantuan, berarak ke tanah lapang dengan luka, tangis, dan ketakutan. Gempa susulan masih terasa hingga hari-hari berikutnya. Awan melihat anak kecil, ibu hamil, nenek-nenek, semua bercampur dalam duka. Namun di sisi lain, dia tersenyum berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikan alarmnya melalui sholat Subuh yang menjadi peringatan, mereka (Awan, bapaknya, keluarganya dan orang lain) yang sadar akan peringatan itu dapat terselamatkan tanpa luka.


Rasulullah SAW secara khusus berdoa. “Ya Allah berkahilah umatku selama mereka senang bangun subuh.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Cerpen ini juga dapat dibaca dalam Buku Anugerah Illahi, Kumpulan FTS Islami oleh Grup Nieyy Nur Hanifah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar