Alarm
Karya: Faiz Deja Ramadhan
Awan bersyukur masih
dapat menghirup nafas meski tersengal. Dia ingat waktu itu, kabut tebal dari
taburan semen dan batu bata yang lebur. Melihat runtuhnya sebuah kampung
seperti pada film perang yang sering ditontonnya di televisi. 2006, masa kembali
dari awal kehidupan. Tak ada kaya dan miskin lagi, harta tak ada artinya di
hadapan kuasa Tuhan. Sehari sebelum 27 Mei 2006, dia masih saja merasakan galau
berkelanjutan akan hasil ujian nasionalnya. Banyak usaha yang dilakukan
termasuk puasa Senin-Kamis sejak di bangku kelas satu SMP. Sholat tak cukup
lima waktu, menambahnya dengan shalat Tahajud dan Dhuha. Dia anggap dirinya cukup
dekat dengan Tuhan alias masih dianggap beriman, tak pernah dia merasa ragu
akan sosok-Nya. Harinya masih biasa dengan kesendirian di rumah yang kecil di
tengah kampung bersama dengan bapak. Ibunya merantau ke negeri orang demi hidup
keluarga mereka. Kakak Awan satu-satunya sudah merantau ke kota lain demi
karirnya. Rasa syukur itu juga dipanjatkan karena memang Tuhan selalu memberi
jalan baginya untuk menjalani sekolah tanpa membebani orang tua, bahkan dia
selalu berprestasi karena memang Tuhan selalu mengabulkan doa di setiap
permohonannya.
Pagi di tanggal 27 Mei
2006. Suara azan subuh berkumandang pada toa selalu menjadi alarm baginya. Meski
tak lagi menjalani ujian, Awan masih saja melakukan sholat tujuh waktu, sholat
Subuh tak pernah ditinggalkannya, selalu tepat waktu. Menyucikan diri dan
memohon pada-Nya. Awan selalu membangunkan bapaknya pula untuk melakukan ibadah
sholat Subuh, lalu mereka berbagi tugas. Bapaknya menyiapkan sarapan, sedangkan
Awan sibuk membersihkan halaman. Tak ada
yang ganjil di pagi itu, Gunung Merapi yang memang bergejolak tak terlalu mengkhawatirkan
karena jaraknya terlampau jauh dari rumah Awan, tapi entah apa yang terjadi. Pukul
enam kurang, Awan merasakan getaran yang dahsyat, melihat pepohonan melambai
begitu hebat, tembok bergetar dan rumah
tetangga roboh seketika, alunan tangis terdengar begitu hebat. Satu, dua, tiga,
semua rumah roboh. Seketika udara menjadi sesak untuk dihirup, tak lagi segar
seperti pagi sebelumnya. Kabut putih dari campuran semen bangunan menyelimuti
kampung yang menurutnya damai.
Bergegas berlari
menghampiri rumahnya yang juga rata dengan tanah, dia tak melihat bapaknya ada
di sana. Dia sudah tertimbun reruntuhan rumah. Awan menangis keras-keras sambil
membongkar satu persatu kayu, batu dan apapun yang menimbun. Hampir putus asa.
Tak juga Awan temukan bapaknya, hingga dia melihatnya keluar dari reruntuhan di
sisi lain, syukur bapaknya masih hidup dan selamat tanpa luka. Awan dan
bapaknya tak berpikir panjang lagi, ini tugas bersama untuk menyelamatkan yang
lain, mereka menemukan 22 korban yang sudah meninggal dan beberapa saudara
serta tetangga yang luka parah. Semua bahu-membahu memberi bantuan, berarak ke
tanah lapang dengan luka, tangis, dan ketakutan. Gempa susulan masih terasa hingga
hari-hari berikutnya. Awan melihat anak kecil, ibu hamil, nenek-nenek, semua
bercampur dalam duka. Namun di sisi lain, dia tersenyum berterima kasih pada
Tuhan yang telah memberikan alarmnya melalui sholat Subuh yang menjadi
peringatan, mereka (Awan, bapaknya, keluarganya dan orang lain) yang sadar akan
peringatan itu dapat terselamatkan tanpa luka.
Rasulullah
SAW secara khusus berdoa. “Ya Allah berkahilah umatku selama mereka senang bangun
subuh.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Cerpen ini juga dapat dibaca dalam Buku
Anugerah Illahi, Kumpulan FTS Islami oleh Grup Nieyy Nur Hanifah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar