SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 11 November 2015

Karya 45 - 46 - 47 - 48 (Puisi) Dibukukan

Puisi Puasa
Puisi Religi_Puasa_Ya, Aku Ramadhan_ Faiz Deja Ramadhan

Ya, Aku Ramadhan

Ramadhan begitu banyak, aku kira itu latah.
mereka memanggilku Rama,
bukankah itu ada di Barathayuda, aku saja Islam.
Adakah makna?
Aku tak mau memiliki nama yang mereka miliki, banyak.
Aku muda dan aku lugu,
ya aku Ramadhan,
Sekumpulan nama dari nama baik,
dari bulan paling baik dari yang baik,
baru aku tahu setelah usia bertambah tahun,
Oh Ramadhan sekumpulan kejadian suci,
dari enggan menjadi bangga,
setidaknya aku berusaha punya Lailatul Qodar,
dijauhkan dari nafsu, atau
memiliki banyak pahala dan anugerah.
Ya, Aku Ramadhan.
Sebuah nama yang penuh makna.

Puisi Religi_Puasa_ Hei Kawan Ini Ramadhan_ Faiz Deja Ramadhan

Hei Kawan Ini Ramadhan

: Hei kawan, ini Ramadhan
bulan berkah yang Tuhan turunkan,
bulan pahala dengan iman yang diuji.

: Hei kawan, ini Ramadhan
bukan kalian mencari berkah dengan menjual sayur mahal,
atau bahan pokok yang melambung tinggi.

: Hei kawan, ini Ramadhan
Ramadan bukan karena uang,
Ramadhan itu karena Tuhan.

: Hei kawan,
kami kalian cekik rupiah kala Ramadhan tiba,
aang menggantikan Tuhan menjadi Tuhan dari Tuhan di bulan Ramadhan,
pesta suci menjadi sekumpulan duka saat harga melambung di Ramadhan,
Ramadhan hanya untuk mereka yang beruang, bukan bagi jiwa suci kami.

: Hei kawan sekumpulan tengkulak dan pengepul,
Kembalikan Ramadhan kami yang berkah, berkah karena Tuhan,
bukan berkah karena tamak.

: Hei kawan sekumpulan tuan-tuan pasar,
biarkan kami bahagia menyambut Ramadhan,
bukan bersedih karena harga beras naik.

: Hei kawan semua kawan,
Kami bicara padamu, tentang Ramadhan dan mereka cukong pasar.


Puisi Syahadat
Puisi Religi_Syahadat_ SYAHADAT_ Faiz Deja Ramadhan

SYAHADAT

Ashadualla  ilahailallah
Anugerah berbalut kata,
Doa, dalam hembusan ruh yang ditiupkan,
Dalam raga umatnya.

Ashadualla  ilahailallah
Kata penutup,
Doa, saat ruh dilenyapkan dari raga,
Hilang berbaur dalam kubur.

Ashadualla  ilahailallah,
Syahadat adalah pembuka,
Syahadat adalah penutup,
Hidup.

Puisi Zakat: Puisi Berzakat ( Ada di Buku Raditeens Publisher ;) ) Baca dan Beli Ya !

4 Puisi ini dibukukan dalam Kumpulan Puisi Religi bertema Rukun Islam oleh Raditeens Publisher :

Karya 44 (Foto) Juara Contest Kitkat Breakaway


Foto ini diambil di atas Bukit Candi Abang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi pemenang mingguan kontes lomba foto Kitkat Breakaway yang mendapatkan hadiah 1 buah Handphone LG Nexus 5 seharga sekitar Rp 3.500.000,-. pada bulan Februari tahun 2015. 


Karya 43 (Dibukukan) (Penulis Terbaik)

Rupiah dan Mimpi
oleh: Faiz Deja Ramadhan

Angin terasa  dingin, rembulan tak terlihat bertengger meski gelap belum juga hilang. Matahari seperti masih lama untuk menampakkan dirinya. Emak terlihat sibuk di dapur, ditemani Tia yang sedang mengiris-iris bumbu. Laki-laki yang lainnya nampak sibuk mempersiapkan alat berkebun. Aku pun masih saja mengusap mataku tanda mengantuk. 
"Dik, ayo bangun!  Mandi dan bersiap-siaplah ke sekolah.” Emak berseru memanggilku.
Jam empat pagi, rutinitas di mulai. Aku dan anak-anak lainnya pergi ke sungai untuk membasuh badan ini. Dengan senter di helm kepala dan senter-senter kecil yang tak terlalu terang, kami menelusuri goloran, semak-semak kebun sawit yang rimbun. Tanah becek sisa hujan semalam, beruntung sungai tak meluap, meski cokelat warnanya. Kami sudah terbiasa, bahkan gatal sudah tak terasa. Dingin terasa menusuk-nusuk, namun celoteh kami kadang membuat suasana menjadi hangat. Ada kerinduan akan air bersih yang lebih sehat. Satu-satunya air bersih di daerah tempat tinggalku ini hanyalah air hujan yang biasa ditampung dengan ember dan digunakan untuk memasak. 
Pukul lima, semua penghuni barak sudah pergi ke kebun, merawat tanaman sawit atau
memanennya. Menyisakan anak-anak kecil yang dirawat di TPA dan kami yang setia menunggu truk jemputan datang mengangkut kami ke sekolah, tentunya setelah truk itu mengantar karyawan ke kebun. Tapi pagi ini sepertinya kami harus menunggu lebih lama, pukul enam lebih truk jemputan tak kunjung datang. Hingga salah satu karyawan kebun yang bertugas di tempat kami menunggu truk jemputan sekolah pun berkata:
"Kalian jalan dulu saja ke sekolah, truknya terjebak lumpur di Echo 5." Jelasnya.  
Lalu kami pun harus berjalan kaki,  rutinitas yang sebenarnya sudah biasa kami
lakukan. Sekolah berjarak hampir delapan kilometer, tiga jam jalan kaki itu kalau normal. Kalau habis hujan, tentu ada parit yang meluap dan juga jalan akan berlumpur, maka waktu berjalan bakal lebih lama. Paling sampai sekolah sudah sangat telat dan ketinggalan pelajaran. Itu hal biasa bagi kami. Tak ada yang pandai di sekolah. Paling juga kalau lulus hanya menjadi buruh di kebun sawit, atau kalau ijazahnya tinggi hanya sebagai kerani.  .
"Hampir tiap hari kita jalan kaki, apa harus kita tinggal di sekolah saja biar tidak pernah ketinggalan pelajaran?" Tanyaku pada teman-teman.
"Hahaha, lucu kamu Dik, dikira sekolah itu penginapan." Kata salah satu temanku.
Kadang bercanda di jalan menjadi penghibur agar tidak lelah, namun sebenarnya masih ada kerisauan, bagaimana nanti pulang sekolah.
Tiga jam lebih berjalan, dan sampailah di dalam kelas. Kaki terlihat seperti badak yang bermain dalam kubangan, keringat bercucuran, beruntung tidak turun hujan. Kelas masih saja sepi, ternyata semua siswa tidak mendapatkan truk jemputan. Hanya beberapa siswa terlihat membersihkan diri di samping bangku mereka, Bu Ani pun masih sibuk menidurkan anaknya, agar tak mengganggu pelajaran. Terkadang perjuangan yang berat tak sebanding dengan ilmu yang kami dapat, hari ini saja langsung dimulai dengan pelajaran berenang. Pengambilan nilai, satu per satu siswa berenang di kolam renang panjang dan keruh, Sungai. Tentu saja kami tak dapat berenang dengan mulus, was-was jika banjir tiba. Kami juga tak begitu serius menghafal rumus-rumus atau pelajaran sejarah. Terkadang guru di kelas juga lupa akan rumus-rumus itu. Mereka bahkan tak lebih pintar dari kami, beda dengan guru-guru di Pulau Jawa. Meski aku tak pernah diajar di sana tapi bapak dan ibuku selalu menceritakan guru-guru mereka yang baik-baik berbeda jauh dengan guru-guruku di sini. Pelajaran hari ini berakhir pukul satu, kami pulang dengan truk yang sama dengan buruh-buruh berkeringat dari kebun, beberapa diantaranya adalah keluargaku. 
Sepulang dari sekolah dan ladang, rutinitas biasanya kalau tidak memancing paling juga mencari sayur di kebun. Musim hujan membuat tukang sayur jarang ke tempat kami. Memetik cabai, atau terung di sela-sela tanaman sawit yang ditutup-tutupi agar tidak ketahuan mandor. Kami bahkan jarang belajar. Buku-buku saja kami tidak punya, hanya catatan saja. Tapi sesekali kami belajar bersama, sekedar mengerjakan tugas selepas mencari sayur. Sampai di rumah, aku rasanya lelah sekali dengan kejadian hari ini hingga berkata:
"Mak, kenapa sih aku harus sekolah susah-susah, capek, dan tidak pintar-pintar juga?"
"Terus maumu apa Dik? Berhenti sekolah seperti emak dan bapakmu ini? Hanya menjadi buruh di kebun?" Jawab emak yang terlihat heran dengan pertanyaanku.
"Kan aku sekolah hanya mau cari duit kan Mak? Kenapa tidak kerja di kebun saja dari sekarang?" Jawabku lagi menentang.
"Hidup ini tidak hanya disini Dik, besok kalau kita kembali ke Jawa kamu mau jadi apa? Sekolah dasar saja tidak lulus." Ibu seperti berusaha meyakinkan.
"Apa bisa bersaing, pendidikan disini seperti apa Mak? Tidak pintar-pintar, bahkan gurunya saja mungkin tidak pintar."
"Kamu takut bersaing? Apalagi kalau kamu tidak sekolah, kamu mau mulai bersaing saja pasti tidak bisa Dik." Kata-kata Ibu terakhir sebelum aktivitasnya dilanjutkan untuk sholat.
Terkadang aku berpikir, aku dan teman-temanku, bahkan keluargaku harus susah
payah hidup di barak tengah hutan tanpa penerangan listrik yang memadai, dengan makan seadanya dan fasilitas minim. Sekolah bagi kami hanya sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah, cukup di situ saja. Kalau disuruh bersaing tentu susah. Perjuangan kami berjalan atau bahkan berdesak-desakan dengan buruh di dalam bak truk tak pernah terbayar impas dengan ilmu dan masa depan yang baik. Banyak orang-orang di kampungku yang tak terubah nasibnya sekalipun dia pintar dan bersekolah. Nasibnya hanya akan sama saja dengan mereka-mereka yang mengalami putus sekolah. Ini menjadi pembelajaranku. Aku punya banyak mimpi, begitu juga keluarga dan teman-temanku yang memiliki cita-cita. Tapi entah cita-cita itu akan seperti apa, kalau banyak orang yang melihat film seperti laskar pelangi, bahkan kami lebih parah dan belum memiliki ‘happy ending’. 
Aku tak lagi memandang masa depan itu luas, tak pernah lagi aku berangkat sekolah. Sekalipun emak dan bapak membujukku lagi dan lagi. Sekumpulan uang membuatku agak tergiur, meski usiaku masih dua belas tahun, ini bukan suatu paksaan bagiku untuk bekerja, bahkan mandor harus memalsukan dataku agar tidak dilaporkan ke atasan karena memperkerjakan anak di bawah umur.
Sekarang tinggal, adikku Tia yang masih bersekolah, dia sepertinya tak pernah mengeluh akan pendidikannya, tidak seperti dua saudaranya yang putus sekolah dan memilih menjadi buruh kebun. Setidaknya Tia tak ingin mengecewakan orang tua kami yang telah mengeluarkan Rupiah hasil pengkristalan keringat mereka, meski hasil dari sekolahnya masih angan-angan.
Tia dan teman-temannya, masih harus berjuang hanya untuk sebagian ilmu yang jauh dari harapan, terkadang aku juga termenung sendiri di tengah pekerjaan yang belum usai, sembari meneguk  air minum dari botol, mungkin lelah, atau aku merasa menyesal akan keputusanku.
Entahlah. Tapi inilah jalan yang sudah aku ambil, buah simalakama, sekolah serasa menyiksa dengan perjuangan tiada akhir bagiku dan hasil entah seperti apa nantinya. Mungkin aku yang terlalu bodoh untuk memahami itu. Namun sekolah juga selama ini tidak merubah nasib orang tuaku dan beberapa orang-orang di kampungku. Mereka hanya menamatkan sekolah lalu kembali lagi bekerja menjadi budak-budak dan buruh-buruh yang kelelahan di tengah terik panas matahari di tengah ladang sawit.
Bagi sebagian orang di daerahku bersekolah hanyalah untuk mengisi kegiatan masa depan akan pasti menjadi budak-budak kebun sawit. Namun aku juga berpikir bahwa bekerja juga seperti itu, lelahnya bukan main dan belum pantas bagiku mungkin, namun uang telah membuatku untuk memutuskan masa depanku. Paling tidak aku bertanggung jawab atas keputusanku. Aku tetap menjalani apa yang telah aku putuskan dan tidak akan pernah menyesal. Karena menbyesal hanyalah suatau hal yang sia-sia diutarakan dan dilakukan. Setidaknya ini adalah gambaran pendidikan Indonesia yang katanya sudah didesain dengan apik, kurikulum yang selalu berganti tiap menteri, pelajaran moral, kedisiplinan, kecanggihan teknologi dan informasi, modernisasi tingkah laku dengan bahasa asing tak pernah berpengaruh bagi kami yang masa depannya tergadaikan, para siswa yang bimbang untuk lanjut sekolah, atau berhenti dan menjadi buruh kebun.
Satu hal yang pasti, kami masih punya cita-cita, mimpi tentang pendidikan yang lebih baik, dan juga masa depan. Di dalam hatiku memang amsih tersirat perasaan untuk kembali bersekolah tapi apa day hal itu tidak akan mungkin aku lakukan. Namun aku masih berharap akhir cerita kami di sini menjadi indah seperti film-film motivasi.



Cerita Pendek ini menjadi salah satu dari 20 cerpen terbaik dan 100 cerpen terbaik karya putra-putri Indonesia dalam Short Story Writing Competition – Kenapa Sekolah dengan tema “Aku Ingin Sekolah”:



Jumat, 12 Juni 2015

KARTU PINTAR MUSEUM

Pemerataan pengunjung museum di Yogyakarta tidak begitu seimbang. Hanya museum-museum tertentu yang ramai dikunjungi, sedangkan museum kecil seperti Museum Purbakala Pleret jarang dikunjungi. Adanya kartu pintar museum yaitu kartu yang dibagikan kepada pengunjung untuk dapat mengunjungi semua museum yang ada di Yogyakarta dengan biaya administrasi pengunjung dan mahasiswa namun  gratis bagi pelajar, diharapkan kartu tersebut membuat pemerataan pengunjung museum di Yogyakarta.



PEDULI MUSEUM PENDIDIKAN INDONESIA

Salah satu museum baru di Yogyakarta adalah Museum Pendidikan Indonesia, museum ini masih memiliki koleksi terbatas.  Penulis mengusulkan adanya kegiatan menyumbangkan barang-barang yang berhubungan dengan Museum Pendidikan Indonesia seperti sabak, grip, buku kuno, film pendidikan, dll. Pihak yang telah menyumbang akan mendapat sebuah piagam sebagai penghargaan atas kepeduliannya pada museum. Dengan demikian ada peran serta masyarakat dalam pengembangan museum.


APLIKASI MUSEUM MAPS

Banyaknya museum di Yogyakarta semakin menambah keistimewaan kota budaya ini. Namun dengan museum yang ada belum banyak masyarakat dan wisatawan yang tahu keberadaan museum di Yogyakarta. Alangkah baiknya ada suatu aplikasi yang menyajikan peta digital tentang museum di Yogyakarta beserta review singkat  mengenai museum, tiket, dan fasilitasnya. Dengan demikian museum dapat mendekatkan ke pengguna gadget yang sedang berkembang serta mempermudah mereka mengunjungi museum.

MUSEUM MASUK SEKOLAH

Langkah Barahmus DIY dan Dinas Kebudyaan dalam program wajib kunjung museum patut diapresiasi. Program tersebut diharapkan dapat memupuk kecintaan terhadap museum sejak dini. Namun alangkah lebih baik kedepannya dapat dikembangkan ke dalam bentuk lain seperti museum masuk sekolah, yaitu pendelegasian ke-30 duta museum untuk kampanye tentang museum di Yogyakarta dan sebagai sarana pengkaderan duta museum, agar minat generasi muda terhadap museum dan duta museum lebih tinggi .

Rabu, 15 April 2015

IDE HEBAT : PERANAN BANK SAMPAH SEBAGAI PELUANG USAHA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DI KOTA YOGYAKARTA


            Sampah merupakan masalah lingkungan yang paling marak ditemui dan membebani masyarakat yang hidup di dalam lingkungan tersebut. Sampah sebenarnya limbah atau output alias keluaran yang bersifat sisa atau sudah tidak memiliki nilai pakai lagi yang dapat berupa barang dan dihasilkan oleh manusia atau dibuang dari barang-narang yang digunakan oleh manusia. Sampah pada umumnya dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya yaitu sampah basah dan sampah kering atau sampah organik dan sampah anorganik. Sedangkan berdasarkan bentuknya sampah dapat berupa sampah cair dan sampah padat. Permasalahan sampah yang kerap ditemui di masyarakat tidak hanya terjadi di beberapa kondisi lingkungan atau wilayah. Wilayah perkotaan hingga pedesaan sekalipun bisa terbebani dengan problematika klasik pada lingkungan ini, sampah agaknya dapat menjadi sesuatu yang mengganggu manusia secara pribadi  alias individu atau dalam masyarakat.
Di Kota Yogyakarta sendiri menyumbang sampah sekitar 230 hingga 300 ton perhari dan 70% dari total sampah tersebut dapat dikelola, sedangkan 30% sisanya menjadi sampah yang masih menumpuk di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai penyumbang sampah terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta memang sudah mengkhawatirkan, karena volume sampah di tempat pembuangan akhir pun dipenuhi oleh sampah dari Kota Yogyakarta yaitu sekitar 70% dan 30% sisanya adalah sampah dari Kabupaten Bantul dan Sleman. Kedua kabupaten tersebut menyumbang sampah yang cukup kecil di TPA Piyungan karena memang masih memiliki daerah pedesaaan yang luas sehingga masyarakat masih dapat membuang sampah di pekarangan dengan cara dibakar ataupun ditimbun untuk sampah-sampah organiknya, meskipun cara tersebut juga masih dianggap salah karena tak jarang masyarakat di pedesaan juga menimbun sampah plastik yang tak terurai. Sangat jelas hal tersebut dapat merusak lingkungan dan ekosistem yang ada. Beda dengan daerah kota yang tidak lagi memiliki lahan pembuangan sampah, mereka harus menampungnya dan diambil oleh petugas sampah untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir. Itulah penyebab Kota Yogyakarta menyokong pasukan sampah tertinggi. Lebih parahnya lagi masyarakat kita baik kota maupun kabupaten belum mau memilah sampah mereka sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan pemisahan sampah yang pada akhirnya langsung dibuang begitu saja di TPA Piyungan, tentunya hal ini juga dapat merusak lingkungan karena tumpukan sampah yang mengandung material anorganik tidak akan terurai di kawasan pembuangan sampah, hal tersebut akan memicu kerusakan alam yang lebih parah. Belum lagi ditambah ulah penduduk kota yang membuang sampah serta limbah rumah tangga mereka ke Sungai Code maupun Sungai Winongo. Yogyakarta tinggal menunggu waktu untuk menjadi kota darurat sampah layaknya Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Pemerintah dan pihak terkait sejatinya sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan sampah, salah satunya dengan menempatkan tempat sampah organik dan anorganik di sudut-sudut kota. Sosialisasi  juga tak henti dilakukan sebagai upaya nyata agar masyarakat dapat memilah sampah sehingga memudahkan Pemkot untuk melakukan pengelolaan selanjutnya. Namun usaha tersebut terkesan belum maksimal karena dari sekian banyak sampah baru 60%. Kita masih memiliki 40% sampah yang masih mengotori kota ini maupun tempat pembuangan akhir. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat luas untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri.
Pada tahun 2013, pemerintah kota telah mencanangkan pembentukan bank sampah di setiap rukun warga dan hasilnya adalah 60% sampah dapat dikelola dengan baik. Karena dari program yang ada baru sekitar 300 RW dari 600 RW yang menerapkan sistem bank sampah. Bukan tidak mungkin jika bank sampah diturunkan  hingga tingkat Rukun Tetangga maka partisipasi masyarakat akan jauh lebih tinggi karena mereka diberi kewenangan untuk mengelola sampahnya sendiri dengan lebih maksimal. Dengan kata lain strategi dan eksekusi yang dilakukan adalah membuat suatu jaringan bank sampah yang terintegrasi dengan baik dari tingkat bawah yaitu RT kemudian dari RT akan memasok ke tingkat RW. Dari tingkat RW inilah sampah akan diambil oleh petugas bank sampah di tingkat kelurahan yang kemudian dipasok ke pengelolaan akhir yaitu tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan inilah sampah akan dikelola sebagaimana mestinya. Pemkot hanya tinggal menyediakan modal untuk memberikan sokongan alat pengelolaan sampah bagi kecamatan seperti halnya alat pengolahan kompos yang dapat digunakan untuk mengelola sampah organik oleh warga  untuk membuat pupuk kompos sehingga hasilnya pupuk tersebut dapat dijual ke pasaran, itulah salah satu ide bisnis yang baik serta dengan melengkapi truk pengangkut sampahnya. Sedangkan sampah anorganiknya akan dijual ke tengkulak agar diolah menjadi barang daur ulang atau dapat didaur ulang sendiri oleh warga dan dipisahkan sendiri ketika sampah-sampah tersebut masih berada di RT atau RW. Sampah Daur ulang dapat menjadi peluang usaha yang sungguh besar jikalau kelompok seperti ibu-ibu PKK mampu mendaur ulang tersebut menjadi bahan berguna kembali seperti pembuatan payung, tas, topi, dompet, tempat pensil dan sebagainya dari sampah anorganik seperti plastik-plastik kemasan deterjen, makanan, minuman dan lain-lain. Pengelolaan daur ulang dengan pemisahan Bank Sampah ini dapat diteledani dari berbagai contoh yang telah dilakukan di daerah-daerah lain sehingga warga Kota Yogyakarta di tingkat RT dapat menekuninya. Dari sinilah dengan ide bisnis berbasis lingkungan seperti ini, tingkat kecamatan akan memperoleh uang dan keuntungan yang kemudian menjadi saldo bagi bank-bank sampah di bawahnya. Jaringan ini memiliki sistem yang sama seperti koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Dengan demikian pengelolaan sampah yang melibatkan masyarakat ikut serta didalamnya sebagai solusi terbaik pemerintah kota untuk menanggulangi permasalahan sampah serta menjadikan solusi sebagai ide bisnis yang dapat diterapkan untuk memandirikan masyarakat. Sekarang sampah bukan hanya menjadi sesuatu yang tidak bernilai melainkan barang bernilai ekonomis dapat menjadi peluang usaha dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi warga dari tingkatan paling rendah. Hal ini juga sebagai upaya melestarikan lingkungan serta meminimalkan bermuaranya volume sampah yang terlalu banyak ke tempat pembuangan akhir maupun saluran air seperti sungai dan selokan. Dalam hal ini jika bank sampah di tingkat RT dapat berjalan dan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir, pemerintah kota juga dapat menghemat biaya sebesar 2,2 Milyar dana yang diperlukan untuk membayar retribusi sampah di Piyungan. Dengan begitu akan banyak keuntungan yang dirasakan banyak pihak dari adanya solusi permasalahan sampah di lingkungan kota Yogyakarta yaitu berupa bank sampah ini dimulai dari kebersihan yang dinikmati masyarakat, adanya peluang usaha yang dapat berjalan dan menjadi saldo pemasukan bagi anggaran di kecamatan-kecamatan dan mempermudah pengelolaan sampah serta manajemen Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh Pemerintah Kota (Pemkot).

Minggu, 15 Februari 2015

Karya 42 (Cerpen) Dibukukan

DIA ( yang tak sempurna )
Karya : Faiz Deja Ramadhan

Memiliki pengharapan yang pasti jika kesusahan akan segera hilang.
Jabur 37:9-11
Pagi menjelang, matahari masih memancarkan sinarnya dengan redup. Dinginnya kota jogja terasa menusuk masuk ke sela-sela tebalnya selimut. Danu, terbangun dari tidurnya. Melipat selimut dan membereskan kamar tidur. Mukanya dibasuh menggunakan air dingin, tak lupa dia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang memiliki jiwanya, hari ini masih diperbolehkan melihat dunia. Dengan kaki kecil yang tak sempurna, Danu mengayuh sepeda menelusuri gang-gang sempit di Kotagede, rutinitas di pagi hari. Kayuhan sepedanya tak lancar, bahkan Dia harus memegangi kemudi hanya dengan satu tangan kirinya. Danu terlahir dengan fisik tak sempurna sejak empat puluh tahun yang lalu. Masa kecilnya tak sebahagia anak-anak yang lain. Darah keluarga Danu memaksanya harus memiliki kondisi fisik seperti sekarang. Saudaranya tak memiliki penglihatan yang sempurna sejak lahir, begitu pula dengan Danu. Namun Dia tak seberuntung dengan abang dan adiknya, kaki Danu memiliki kelainan, begitu pula dengan tangan kanannya yang tumbuh tak sempurna.
Dengan pelan tapi pasti dikayuhnya sepeda yang selalu menemani selama ini. Danu menambil dagangan di loper koran yang sudah menjadi langganannya. Setiap hari Dia menjajakan koran di kios kecil beserta rokok dan minuman kemasan. Lumayan laris, banyak dari pembelinya adalah orang-orang yang sedang menunggu keluarga mereka di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Kotagede. Kondisinya yang tidak seperti kebanyakan orang tak pernah menyurutkan semangat untuk meraih rupiah dengan cara yang mulia. Berbagai informasi Dia salurkan ke setiap pembaca. Berkat kegigihannya itu, Danu tak pernah menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Kesendiriannya selama empat puluh tahun ini tak pernah membuat hidup sepi, masih ada Tuhan yang selalu menemani baginya. Keluarga yang lain memang memiliki pekerjaan yang lebih mapan dari pada Danu, tapi Dia tak pernah berkecil hati melihat keluarga yang lain lebih enak. Selalu sabar merupakan prinsip dan harga mati.
Hari minggu, berarti Dia harus menutup kiosnya lebih cepat. Danu tak pernah lupa menyempatkan waktu berdoa ke rumah Tuhan setiap hari minggu. Menyampaikan keluh kesah dan meminta berkah untuk hidup yang tak dapat diprediksi. Setelah dari gereja, barulah kios kecil yang menjadi usaha stu-satunya dibuka kembali. Bagi kebanyakan orang usahanya hanya sebuah kios koran. Kecil, dengan keuntungan tak seberapa. Tapi ada makna dibalik minimnya untung yang Dia dapat.
“ Saya tak pernah melihat untung, semua yang saya dapat adalah karunia Tuhan dan akan kembali pada Tuhan.” Kata Danu dengan bersahaja.
Tak jarang orang dapat tabah seperti Dia, bahkan dengan kondisinya yang seperti itu. Usahanya mulia dari pada mereka yang sempurna dan pintar tapi hanya membodohi orang banyak, atau mereka yang kuat secara fisik tapi meminta belas kasihan orang lain. Usahanya lebih sempurna dari pada fisiknya. Orang memandang dia sebelah mata, bahkan teman bermainnya waktu kecil. Pendidikan ditamatkan dengan bully setiap harinya, namun kegigihan sudah tergambar. Tak terlalu mencolok disisi pelajaran, namun dia termasuk pemeluk yang teguh. Mengerti firman Tuhan dengan jelas, bahkan dia juga menjadi pengajar yang baik.
Saat siang sudah tergelincir, Danu kembali menutup kios kecilnya. Tak banyak dagangan yang diambil di hari minggu. Sudah disesuaikan dengan kondisi kios yang buka tidak seharian penuh. Setelah pagi berdoa kepada Tuhan, sekarang giliran Dia harus membagi ilmu yang dipunyai kepada anak-anak yang masih lugu. Di gereja yang sama Danu menjadi pengajar bagi anak-anak di sekolah minggu. Sekedar mengajarkan firman dan melatih paduan suara, melantunkan pujian untuk Tuhan yang memberi nafas. Ini adalah sebuah pengabdian, wujud rasa syukurnya pada Sang Pencipta.
“ Pendidikan yang baik bukan dilihat dari nilai dan status sarjananya, namun seperti apa kita dapat membagi ilmu yang kita punya kepada orang lain, dan menjadikan ilmu itu menjadi berguna”, bagiku.
Baginya memberikan pengajaran tentang ilmu agama lebih bermanfaat dari pada membagi aljabar yang tak pernah dipergunakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Danu memang tak sepandai orang lain, namun kegigihan dan pengetahuan tentang agama membuat Dia disegani anak-anak yang diajarnya. Pengabdiannya kepada Tuhan.
“ Mas Danu itu pintar, apalagi kalu dia sedang membaca doa dan firman. Dengan mata yang tak sempurna, dengan kaki yang susah berjalan dan menulis dengan tangan kirinya, Dia adalah sosok sempurna untuk menggambarkan kegigihan dan kesuksesan untuk mensyukuri setiap kondisi hidupnya”, ujar Nindya yang pernah menjadi muridnya di sekolah minggu.
Hidupnya penuh dengan kekurangan, tapi hati dan jiwanya penuh dengan kelebihan. Dia gigih dan mau berbagi. Danu, tak pernah memandang fisiknya sebagai penghambat. Memang tak seorangpun wanita yang menerima fisiknya, namun kesendiriannya adalah jalan yang harus ditempuh. Usahanya tak dapat disejajarkan dari usaha yang memiliki omset tinggi, tapi semangat dibalik usahanya tak jarang ditemukan dalam kehidupan orang lain, belum juga kebaikannya membagi ilmu. Seharusnya kita iri melihat kehidupannya yang penuh dengan kekurangan namun penuh inspirasi.
Sore dilalui dengan sepeda yang masih saja dikayuh dengan pelan, menelusuri jalan yang sama, sempit dibalik bangunan tua yang eksotik. Kotagede menjadi saksi hidupnya, saat matahi menutup matanya, Danu menutup hari dengan senyum penuh makna. Malam menjelang adalah surga untuk mengistirahatkan raga yang tak memiliki kekuatan penuh. Mengumpulkan tenaga lagi, untuk esok hari yang masih panjang, menjalankan usaha, menyapa pelanggan, menyapa dunia yang bersahabat.
Baginya, “ Tuhan akan mengusap air mata setiap hambanya, tak kan ada lagi kematian, kesusahan, dan kesakitan” Wahyu 21:23,4.

Cerita ini dapat dibacva dalam Buku " Perjalanan Hidup Sang Difabel" Penerbit AE Publishing.

Jumat, 30 Januari 2015

Karya 39, 40, 41 (Artikel) Dipublikasikan

Candi Sukuh, Peninggalan Sejarah Bercorak Suku Maya 
Jika kita mengingat berita-berita populer di tahun 2012, nama Suku Maya seakan menjadi topik paling ramai di berbagai media. Ramalannya tentang hari kiamat menjadi ketakutan tersendiri. Di balik ramalan tersebut sebenarnya terdapat peninggalan yang bernilai tinggi, termasuk candi yang berada jauh di Benua Amerika. Bentuknya yang unik membedakan Candi Suku Maya dengan candi-candi di belahan dunia lain, seperti India dan Indonesia. - 

See more at: http://www.siperubahan.com/read/705/Candi-Sukuh-Peninggalan-Sejarah-Bercorak-Suku-Maya

SOLO, RIWAYATMU KINI


Solo. Bagi pecinta jalan-jalan dan pebisnis, mungkin kota budaya sekelas Solo sudah tidak asing lagi di telinga. Kota yang merombak habis tatanannya pada masa kepemimpinan Jokowi ini semakin cantik dan mengokohkan dirinya sebagai kota budaya berbasis modern. Tak salah memang jika kota ini menganggap dirinya sebagai Spirit Of Java. Mengingat budaya yang masih terasa kental dapat berbaur dengan modernisasi dan pembangunan yang berbau multikulturalisme.


BABUKUNG, RITUAL KEMATIAN DARI TANAH BORNEO

Indonesia begitu luas dengan pulau-pulaunya, keadaan geografis tersebut juga menyebabkan ragam budaya yang semakin banyak karena hubungan satu dengan yang lainnya terkendala jarak dan waktu pada jaman dahulu. Banyak daerah memiliki kebudayaan unik yang terilhami dari alam dan kepercayaan mereka.
Salah satu kebudu\ayaan yang hanya ada di indonesia dan dapat dinikmati sampai saat ini adalah upacara Bukung atau sering juga disebut Babukung. Bagi masyarakat Dayak Kaharingan atau sebagian besar Dayak yang tinggal di pulau Kalimantan, hal tersebut tentunya bukan sesuatu yang aneh, namun bagi masyarakat Indonesia secara luas tentu akan menjadi hal baru yang dapat dinikmati serta dipelajari, pengalaman ini penulis dapatkan dari cerita teman yang melihat langsung upacara tersebut beberapa waktu lalu saat dia harus tinggal di pedalaman Kalimantan tengah.

Selasa, 27 Januari 2015

Karya 38 (Foto Selfie) Juara


Foto ini menjadi Juara 2 Lomba Foto Selfie dalam ajang Gebyar Museum oleh Brahamus DIY 2014, dan mendapatkan plakat, sertifikat dan uang sesuai gambar di bawah ini :

Karya 37 (Puisi) Ditampilkan


Rabu Malam
karya : Faiz Deja

Rabu malam yang ku nanti
Hiburan ringan di organisasi
Ditengah banyaknya laporan
Namun keluarga EM ialah hiburan

Haha hihiitu selalu hadir
Di line obrolan penuh bully
kerap sekali terjadi

Saat Ganjar ngeles bakal jadi calon menteri
Padahal Afil udah cinta mati
Omi saja sudah ngurus konsumsi
Ketik Fitri bayar sana-sini
Tapi Pilar cuma kirim stiker gosok gigi

Kangen-rindu Azka-Iwan juga dinanti
Dan Ana selalu memberi informasi
Dengan Ratna yang menyebarkan informasi
Tiwi, Aldo kok jarang muncul sih ?
Padahal Faiz masih bertahan disini...

Di EM sudah semakin heppiii
Ada Viktor, Tio, Tiar, Satrio, Rizal dan Andini
Semoga Mas Fuad langgeng sama mbak-mbak ekonomi
Juga doakan kami.....

supaya
Senyum EM bisa selalu di hati dan dinanti :)

[Puisi ini Dibacakan ketika Upgrading Kementerian Kewirausahaan BEM KM UGM 2014]

Jumat, 23 Januari 2015

Karya 36 Dibukukan (Cerpen)


Budaya Pengabdian Sang Abdi Keraton

 Karya : Faiz Deja Ramadhan

Nalika srengenge wus muncul, Bathara Surya anggawa sinar swarga, agawe teranging jagad.
(Ketika matahari terbit, Tuhan memancarkan sinar surga membuat terang dunia).

"Le, bangun le. Sudah pagi ! Jangan mau kalah sama ayam jago. Ayo mandi, sarapan, terus berangkat sekolah." Kakek Rizky membangunkannya.

Matahari sebenarnya belum penuh betul menerpa Bumi, sudah kebiasaan bagi keluarganya untuk bangun  pagi, sholat subuh sebagai awal kegiatan hari ini. Di dapur yang kecil, Ibu Rizky nampak mengepulkan asapnya, memasak untuk sarapan keluarga. Rizky kecil menyandang handuknya siap untuk mandi. Membasuh dengan air hangat yang sudah disiapkan kakeknya tadi sebelum membangunkannya. Bapaknya nampak sibuk menyiapkan peralatan kerja untuk hari ini. Keluarga kecil yang penuh keharmonisan.

Pagi belum juga menunjukkan pukul enam, Rizky sudah dibonceng kakeknya yang berseragam merah putih. Duduk di belakang dengan tempat duduk rotan kecil yang diikat pada dudukan sepeda ontel. Menyusuri jalan kota Jogja yang padat dengan kendaraan, sesekali berpapasan dengan tukang sayur dengan keranjang penuh sayuran yang hendak dijualnya ke pasar. Semangat benar mereka. Kakeknya, Cermo Wicoro mengayuh sepeda dengan pelan namun pasti. Memakai baju kebesaran seorang abdi, dengan bangga melintasi ramainya kota di pagi hari. Tak lama mereka sampai di TK Pamardisiwi.
"Belajar yang benar ya le, jangan main terus !  Nanti siang biar dijemput pakdemu kalo mau menyusul kakek di Keraton." Kata Kakek Rizky.
"Iya kek.” Jawab Rizky.
 Setelah mencium tangan kakeknya, Rizky berbaur dengan kawan yang lain, siap menerima ilmu, menghapal angka, huruf, dan warna yang kelak disusunnya menjadi kata, kalimat, bahkan paragraf untuk merubah Indonesia jika sudah besar nanti. Dia, Rizky Kuncoro Manik, usianya yang masih 5 tahun tak pernah mematahkan semangatnya untuk belajar. Bahkan dibalik senyumnya yang masih polos itu.

Kayuhan sepeda kakeknya semakin kencang untuk mengejar waktu. Dia bergegas ke kantornya, di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu kerajaan yang masih aktif di Nusantara. Warisan budaya yang tak ada duanya setelah perdebatan panjang menggoyahkan posisinya dalam ketetapan Undang-Undang Keistimewaan. Sekarang para abdi dan warga Jogja dapat tersenyum lega, provinsinya sudah menjadi istimewa kembali, dengan Keraton dan kebudayaan yang ada di dalamnya. Semua itu tidak lepas dari perjuangan bersama, termasuk Cermo Wicoro, Kakek Rizky yang sudah berusia 76 tahun itu.

Setelah sampai di regol keraton, dia langsung memarkirkan sepedanya berjajar dengan kendaraan milik abdi dalem yang lain. Ia langsung memulai aktivitas di kerajaan. Tergantung dengan pos masing-masing. Beberapa abdi nampak sibuk memasang sesaji, menyiapkan kemenyan, ada pula yang membersihkan kandang kuda, atau membersihkan halaman keraton hingga sudut-sudut ruangan. Sedangkan Kakek Cermo membersihkan area pedalangan, termasuk tempat yang digunakan untuk berlatih tari setiap minggunya.

Setelah tugas utamanya dikerjakan, para abdi juga menjadi seorang pemandu bagi wisatawan yang datang ke keraton, memberikan keterangan tentang sejarah, tentang budaya, segala hal seisi keraton. Dibalik sosok mereka yang hanya seperti pembantu atau cleaning service, sejatinya abdi dalem adalah pahlawan kebudayaan, saksi serta pelestari budaya Jawa yang masih hidup. Termasuk Kakek Cermo Wicoro, yang sebenarnya tak ternilai pengabdian beliau.
Siang semakin terik,  arus wisatawan tak pernah terbendung. Termasuk aku yang harus berbagi tempat dengan wisatawan lain di halaman keraton yang sejuk. Bangunan tua bersejarah dengan ornamen  Jawa kental. Sedikit terpengaruh arsitektur  Belanda, namun  masih terasa Jawa. Bapak-bapak mengenakan baju biru,  lengkap dengan blangkon  Jogja dan kain. Saling berbincang dengan bahasa Jawa yang tak aku mengerti, sebagian menjelaskan kepada wisatawan lain dengan bahasa Inggris yang lancar. Hebat, dibalik perannya yang hanya sekedar abdi dalem.
Pukul sepuluh, Rizky pulang dari pendidikannya di Taman Kanak-kanak. Tak seperti teman yang lainnya. Pulang sekolah, Ia langsung menemui kakeknya di area keraton Yogyakarta. Dengan diantar pamannya dengan penuh antusias dia mengikuti jejak kakeknya. Panas terik  siang itu tak menyurutkan tekatnya, dengan baju adat Jawa lengkap kini dia bertugas sebagai abdi dalem keraton sesungguhnya. Seorang abdi cilik, penerus dan pelestari budaya Jawa.

Aku melihatnya, di balik kerumunan wisatawan yang hendak berfoto dengannya. Tak terlihat lelah di raut wajahnya meski usianya masih sekecil itu. Tak jarang dia mendapatkan snack dari pengunjung, atau teman kakeknya sesama abdi dalem. Namun bukan itu yang dicari. Dia seperti sudah tau arti sebuah pengabdian. Ketulusan berkorban demi kerajaan tercinta. Mungkin dia tak pernah berpikir untuk bermain seperti teman sebayanya yang sibuk dengan gadget atau jalan-jalan ke mall, dia justru turut berperan menjaga budaya Jawa.

Aku berkesempatan untuk menyapanya, disela-sela perbincangan dengan sesama abdi, aku memotong sebentar.
"Monggo-monggo, mau foto sama Rizky?" Tanya Kakeknya.
"Iya pak, sekalian mau ngobrol-ngobrol sebentar." Jawabku.
"Foto dulu, foto dulu, senyum le senyum, tangannya ngapu rancang, jangan liat ke mana-mana." Perintah kakeknya ketika aku dan Rizky hendak berfoto.
Dengan sigap Rizky memposisikan diri, senyum dan gerik tubuhnya membuat primadona baru. Dia pun nampak senang melihat-lihat hasil jepretan di kameraku, sembari berbincang asyik dengan kakeknya. Dia nampak tak mau banyak bicara, senyum lebih sering menggambarkan suasana hatinya yang ceria. Sementara aku dan kakeknya Rizky, Cermo Wicoro asyik berbincang.
"Rizky itu sudah dari umur satu setengah tahun ikut saya mengabdi disini, saya tidak  pernah mengajaknya. Tapi dia sendiri yang meminta untuk ikut kakeknya di keraton, lama-kelamaan ya seneng tapi dia tetep sekolah dulu, baru sepulang sekolah kesini." Jelas kakeknya menceritakan kebiasaan Rizky.
"Lalu Rizky sendiri kegiatannya di sini apa pak?"
"Ya cuma menemani saya dulu,  sambil belajar, wong dia juga belum bisa apa-apa. Kan yang penting menanam rasa memiliki dulu sambil belajar kebudayaan Jawa."
"Kalau Bapak?"
"Ya kalau saya banyak kerjaannya, kebetulan pengagengnya adalah GBPH Yudoningrat. Tugasnya ya di pedalangan. Kalau saya sudah lama jadi abdi dalem."
"Awal mula mengabdi seperti apa pak? Apa karena tertarik seperti Rizky? "
"Iya, saya tertarik dengan pekerjaan bapak saya dulu. Tapi usianya tidak sekecil Rizky. Awalnya cuma bantuin cari rumput untuk kuda keraton saja, malah keterusan sampai sekarang mengabdinya."
"Ada pekerjaan lain bapak selain mengabdi ?"
" Cuma cari rongsokan aja, barang-barang bekas buat dijual ke pengepul."
Perbincangan terus saja berlanjut, terkadang terpotong karena Rizky dan kakenya harus melayani wisatawan lain, atau aku jadi tukang foto dadakan bagi mereka yang ingin berfoto bersama Rizky. Rizky masih saja nampak serius dengan kameraku.
"Ini gambar bapak ada di sini." Seru rizky yang memanggil kakeknya dengan sebutan bapak, sambil menunjukan sebuah foto di kamera ke kakeknya yang duduk di sebelahku. Dia pun kembali melihat-lihat, diulang dari awal serasa tak pernah puas melihat gambar dirinya. Lalu aku melanjtkan perbincangan kembali.
"Senang bapak jadi abdi dalem?"
"Senang, tapi kesenangan  seorang abdi itu bukan dinilai dari materi atau duniawi agar menjadi keluarga keraton atau apapun. Tapi menjadi abdi adalah kepuasan batin,  ketulusan, dan pengabdian penuh dengan cinta kasih. Bisa dibayangkan Dik, seorang abdi itu cuma mendapat gaji 2000 rupiah setiap bulan, atau bahkan 2000 setiap ada acara kirab. Setahun saja cuma 3 kali kirab."
"Berarti ada abdi yang cuma mendapat bayaran 6000 rupiah saja per tahun?"
"Banyak, tapi kami kan tidak mencari itu. Bahkan gaji dari keraton tidak pernah kami pergunakan untuk memenuhi hidup. Melainkan disimpan sebagai tanda jasa atau timbal balik dari keraton. Bisa juga sebagai pelangenan. Bukan  jimat loh, itu musryik. Hanya disimpan saja sebagai tanda jasa."
"Sampai segitunya pak?"
"Kami dapat melayani keraton saja sudah cukup senang, apalagi digaji. Meski cuma sedikit tapi itu sudah penghargaan bagi kami. Makanya saat keistimewaan Jogja terusik, kami juga sempat protes, bahkan membentuk barisan mempertahankan  keistimewaan.  Mereka itu tau apa tentang Jogja, mau seenaknya merubah-rubah tatanan."
Obrolan berlangsung cukup seru dan panjang, tak ingat waktu berbincang dengan pahlawan budaya ini. Hingga jam di tangan menunjukkan pukul 12.30. Inilah saatnya keraton di tutup untuk umum, dan para abdi harus pulang, begitu juga dengan Rizky. Banyak hal yang aku dapat dari kunjungan ini. Dibalik sosoknya yang terkadang renta, dengan bangga mereka berjalan mengenakan baju kebesaran, baju adat Jawa.  Berjalan penuh makna dan penghormatan terhadap raja dan keluarganya. Melayani dan melestarikan salah satu kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, demi menjaga kehidupan Indonesia yang tetap berbudaya dengan semboyan ke-bhinekaannya. Sejatinya kita dapat belajar tentang pengabdian para abdi dalem. Ketulusan tanpa mengharap imbalan besar. Bukan ingin diberi imbalan layaknya mereka yang haus akan kekuasaan dan materi.

Panasnya  Jogja, terasa redup di bawah pimpinan keraton, dengan abdi dalem yang senantiasa mengabdi, menjaga Negeri Ngayojokarta Hadiningrat. Dengan sepedanya kakek Cermo berpacu dengan waktu, mengejar  waktu  agar dia dapat mencari rongsok untuk menyambung hidup, membuat dapur tetap mengepul,  agar dapat mengabdi sampai kekuatannya tak penuh lagi. Rizky yang nampak lelah  bersandar di kursi boncengan rotan kecilnya. Menikmati alunan sepeda yang berjalan pelan di bawah terik matahari, dan deru kendaraan kota.

Wong urip iku, mung pengabdian, ngabdi marang sing kuasa, ngabdi marang raja, lan negara. Ra usah mikirke  bati, anangin mikirke kesejahteraaning kabeh.
(Hidup itu cuma pengabdian, mengabdi pada Tuhan, pemimpin, dan negara. Tidak usah memikirkan untung, tetapi memikirkan kesejahteraan bersama).

Kebudayaan memang harus dilestarikan namun aktor pelestari kebudayaan seperti para pengabdi keraton Yogyakarta yang selalu ikhlas mengabdi juga merupakan kebudayaan yang tak boleh punah dan bahkan harus selalu kita teladani. Budaya mengabdi dengan tulus serta setia kepada negara menjadi hal yang paling penting untuk patut kita contoh dari seorang abdi dalem, agar Indonesia tetap berbudaya dan agar kita tetap memiliki Wonderful Indonesian Culture

NB: Pengageng=pimpinan; pelangenan=benda kesayangan; regol= pintu gerbang.
Rizky Kuncoro Manik dan Kakeknya, Cermo Kuncoro (di belakang)

Cerita ini adalah salah satu kontributor pada event "Wonderful Indonesian Culture" oleh Sastra SMAN 3 Bantul, DIY.