SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 15 April 2015

IDE HEBAT : PERANAN BANK SAMPAH SEBAGAI PELUANG USAHA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DI KOTA YOGYAKARTA


            Sampah merupakan masalah lingkungan yang paling marak ditemui dan membebani masyarakat yang hidup di dalam lingkungan tersebut. Sampah sebenarnya limbah atau output alias keluaran yang bersifat sisa atau sudah tidak memiliki nilai pakai lagi yang dapat berupa barang dan dihasilkan oleh manusia atau dibuang dari barang-narang yang digunakan oleh manusia. Sampah pada umumnya dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya yaitu sampah basah dan sampah kering atau sampah organik dan sampah anorganik. Sedangkan berdasarkan bentuknya sampah dapat berupa sampah cair dan sampah padat. Permasalahan sampah yang kerap ditemui di masyarakat tidak hanya terjadi di beberapa kondisi lingkungan atau wilayah. Wilayah perkotaan hingga pedesaan sekalipun bisa terbebani dengan problematika klasik pada lingkungan ini, sampah agaknya dapat menjadi sesuatu yang mengganggu manusia secara pribadi  alias individu atau dalam masyarakat.
Di Kota Yogyakarta sendiri menyumbang sampah sekitar 230 hingga 300 ton perhari dan 70% dari total sampah tersebut dapat dikelola, sedangkan 30% sisanya menjadi sampah yang masih menumpuk di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai penyumbang sampah terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta memang sudah mengkhawatirkan, karena volume sampah di tempat pembuangan akhir pun dipenuhi oleh sampah dari Kota Yogyakarta yaitu sekitar 70% dan 30% sisanya adalah sampah dari Kabupaten Bantul dan Sleman. Kedua kabupaten tersebut menyumbang sampah yang cukup kecil di TPA Piyungan karena memang masih memiliki daerah pedesaaan yang luas sehingga masyarakat masih dapat membuang sampah di pekarangan dengan cara dibakar ataupun ditimbun untuk sampah-sampah organiknya, meskipun cara tersebut juga masih dianggap salah karena tak jarang masyarakat di pedesaan juga menimbun sampah plastik yang tak terurai. Sangat jelas hal tersebut dapat merusak lingkungan dan ekosistem yang ada. Beda dengan daerah kota yang tidak lagi memiliki lahan pembuangan sampah, mereka harus menampungnya dan diambil oleh petugas sampah untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir. Itulah penyebab Kota Yogyakarta menyokong pasukan sampah tertinggi. Lebih parahnya lagi masyarakat kita baik kota maupun kabupaten belum mau memilah sampah mereka sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan pemisahan sampah yang pada akhirnya langsung dibuang begitu saja di TPA Piyungan, tentunya hal ini juga dapat merusak lingkungan karena tumpukan sampah yang mengandung material anorganik tidak akan terurai di kawasan pembuangan sampah, hal tersebut akan memicu kerusakan alam yang lebih parah. Belum lagi ditambah ulah penduduk kota yang membuang sampah serta limbah rumah tangga mereka ke Sungai Code maupun Sungai Winongo. Yogyakarta tinggal menunggu waktu untuk menjadi kota darurat sampah layaknya Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Pemerintah dan pihak terkait sejatinya sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan sampah, salah satunya dengan menempatkan tempat sampah organik dan anorganik di sudut-sudut kota. Sosialisasi  juga tak henti dilakukan sebagai upaya nyata agar masyarakat dapat memilah sampah sehingga memudahkan Pemkot untuk melakukan pengelolaan selanjutnya. Namun usaha tersebut terkesan belum maksimal karena dari sekian banyak sampah baru 60%. Kita masih memiliki 40% sampah yang masih mengotori kota ini maupun tempat pembuangan akhir. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat luas untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri.
Pada tahun 2013, pemerintah kota telah mencanangkan pembentukan bank sampah di setiap rukun warga dan hasilnya adalah 60% sampah dapat dikelola dengan baik. Karena dari program yang ada baru sekitar 300 RW dari 600 RW yang menerapkan sistem bank sampah. Bukan tidak mungkin jika bank sampah diturunkan  hingga tingkat Rukun Tetangga maka partisipasi masyarakat akan jauh lebih tinggi karena mereka diberi kewenangan untuk mengelola sampahnya sendiri dengan lebih maksimal. Dengan kata lain strategi dan eksekusi yang dilakukan adalah membuat suatu jaringan bank sampah yang terintegrasi dengan baik dari tingkat bawah yaitu RT kemudian dari RT akan memasok ke tingkat RW. Dari tingkat RW inilah sampah akan diambil oleh petugas bank sampah di tingkat kelurahan yang kemudian dipasok ke pengelolaan akhir yaitu tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan inilah sampah akan dikelola sebagaimana mestinya. Pemkot hanya tinggal menyediakan modal untuk memberikan sokongan alat pengelolaan sampah bagi kecamatan seperti halnya alat pengolahan kompos yang dapat digunakan untuk mengelola sampah organik oleh warga  untuk membuat pupuk kompos sehingga hasilnya pupuk tersebut dapat dijual ke pasaran, itulah salah satu ide bisnis yang baik serta dengan melengkapi truk pengangkut sampahnya. Sedangkan sampah anorganiknya akan dijual ke tengkulak agar diolah menjadi barang daur ulang atau dapat didaur ulang sendiri oleh warga dan dipisahkan sendiri ketika sampah-sampah tersebut masih berada di RT atau RW. Sampah Daur ulang dapat menjadi peluang usaha yang sungguh besar jikalau kelompok seperti ibu-ibu PKK mampu mendaur ulang tersebut menjadi bahan berguna kembali seperti pembuatan payung, tas, topi, dompet, tempat pensil dan sebagainya dari sampah anorganik seperti plastik-plastik kemasan deterjen, makanan, minuman dan lain-lain. Pengelolaan daur ulang dengan pemisahan Bank Sampah ini dapat diteledani dari berbagai contoh yang telah dilakukan di daerah-daerah lain sehingga warga Kota Yogyakarta di tingkat RT dapat menekuninya. Dari sinilah dengan ide bisnis berbasis lingkungan seperti ini, tingkat kecamatan akan memperoleh uang dan keuntungan yang kemudian menjadi saldo bagi bank-bank sampah di bawahnya. Jaringan ini memiliki sistem yang sama seperti koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Dengan demikian pengelolaan sampah yang melibatkan masyarakat ikut serta didalamnya sebagai solusi terbaik pemerintah kota untuk menanggulangi permasalahan sampah serta menjadikan solusi sebagai ide bisnis yang dapat diterapkan untuk memandirikan masyarakat. Sekarang sampah bukan hanya menjadi sesuatu yang tidak bernilai melainkan barang bernilai ekonomis dapat menjadi peluang usaha dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi warga dari tingkatan paling rendah. Hal ini juga sebagai upaya melestarikan lingkungan serta meminimalkan bermuaranya volume sampah yang terlalu banyak ke tempat pembuangan akhir maupun saluran air seperti sungai dan selokan. Dalam hal ini jika bank sampah di tingkat RT dapat berjalan dan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir, pemerintah kota juga dapat menghemat biaya sebesar 2,2 Milyar dana yang diperlukan untuk membayar retribusi sampah di Piyungan. Dengan begitu akan banyak keuntungan yang dirasakan banyak pihak dari adanya solusi permasalahan sampah di lingkungan kota Yogyakarta yaitu berupa bank sampah ini dimulai dari kebersihan yang dinikmati masyarakat, adanya peluang usaha yang dapat berjalan dan menjadi saldo pemasukan bagi anggaran di kecamatan-kecamatan dan mempermudah pengelolaan sampah serta manajemen Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh Pemerintah Kota (Pemkot).