SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Selasa, 16 Desember 2014

Mahasiswa UGM Juara Runner Up 1 – Asean Stock Challenge 2014

Setelah 3 minggu bertanding dalam memperebutkan peringkat juara pada kompetisi perdagangan saham regional, ASEAN Stock Challenge 2014 yang diselenggarakan CIMB Niaga, akhirnya pada Rabu, 3 Desember 2014 Tim Ekonomi Mahasiswa yang berasal dari Universitas Gadjah Mada mendapatkan peringkat kedua atau juara Runner Up 1 di tingkat regional Indonesia.
ASEAN Stock Challenge CIMB yang telah memasuki tahun kelima merupakan kompetisi perdagangan saham regional yang diselenggarakan setiap tahun agar mahasiswa-mahasiswa dari Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand dan Kamboja memperoleh pengetahuan dan pengalaman pada perdagangan lintas batas di empat bursa saham utama ASEAN. Hal ini dilakukan dengan cara membeli dan menjual saham di dunia nyata serta melakukan online trading sepenuhnya sebagai simulasi.
Selain itu ASEAN Stock Challenge CIMB juga dimaksudkan agar memberikan banyak ilmu baru dan pengetahuan besar kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memahami industri pasar modal, yang sampai saat ini baru dipahami kurang dari 5% dari total masyarakat Indonesia. Dengan adanya kompetisi dan para juara kompetisi ini, CIMB Niaga berharap mahasiswa mampu menyebarkan pengetahuan tentang industri keuangan pasar modal dan saham kepada seluruh penduduk Indonesia lainnya, terlebih lagi ASEAN Economy Community (AEC) telah bersiap menciptakan suasana perekonomian baru di seluruh negara anggota ASEAN mulai tahun 2015.
Tim Ekonomi Mahasiswa ini memiliki anggota yang berasal dari berbagai jurusan di UGM antara lain Ratna Utami dari Manajemen Hutan, Faiz Deja dari Geofisika, dan Afil Devita dari Ekonomi Perbankan-Sekolah Vokasi dan ketua tim yang telah berpengalaman dan terjun langsung sebagai investor dalam industri pasar modal yaitu Fuad Azhar dari Teknik Fisika, Fakultas Teknik. Tim ini dibimbing oleh Bapak Nazrul Effendy, Ph.D., Dosen Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM. (FDR)

Publikasi lain ada di:

GamaSEC, Kompetisi Social Entrepreneurship Nasional oleh BEM KM UGM

Setelah menghadapi tahap seleksi proposal online sembilan tim finalis Gadjah Mada Social Entrepreneurship Challenge (GamaSEC) akan melakukan serangkaian acara camp selama tiga hari di Kota Yogyakarta yang dimulai pada hari Sabtu 22 November 2014. Sembilan tim finalis tersebut merupakan wakil dari masing-masing universitas di seluruh Indonesia yang beranggotakan tiga orang pada setiap tim. Sembilan perwakilan universitas yang menjadi finalis tersebut berasal dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Ar-Rainy Aceh, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Jenderal Soedirman, dan 2 tim perwakilan dari Institut Pertanian Bogor.
Rangkaian acara pertama yang dijalani sembilan finalis tersebut adalah Seminar Nasional bertemakan “The Era Of Entrepreneurship” yang menghadirkan para pembicara yaitu Bapak Yoyok Heri Wahyono (Owner Warung SS), Rizal Fakhrudin (Indonesia Medika), Shiro Ngampus dan dimoderatori oleh Birul Qodriyah (Mapres UGM) serta dilengkapi sambutan dari Direktorat Kemahasiswaan UGM dan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang diwakili Kepala Disperindagkop DIY. Tidak hanya itu rangkaian acara lainnya seperti presentasi penyisihan untuk empat besar, Fieldtrip, Visit Village, Coaching, Jogja Fun Race, presentasi final 4 besar, hingga Gala Dinner dijalani peserta dengan sangat antusias dari hari pertama hingga hari ketiga.
GamaSEC yang telah menjadi kompetisi tahun ketiga, yang diselenggarakan oleh Kementreian Kewirausahaan/Ekonomi Mahasiswa BEM KM UGM dari mulai tahun 2012 hingga 2014, akhirnya mengumumkan juara GamaSEC tahun 2014 saat Gala Dinner berlangsung. Dimana anugerah juara pertama diberikan kepada Tim UIN Ar-Rainy Aceh, juara kedua kepada Tim Universitas Airlangga dan juara ketiga serta keempat dianugerahkan kepada Tim Universitas Brawijaya dan Institut Pertanian Bogor.
Rangkaian acara GamaSEC camp selama tiga hari ini dilakukan dengan tujuan agar kompetisi nasional ini dapat dimaknai tidak hanya sebagai kompetisi belaka. Namun sebuah ajang untuk memperdalam arti dari sebuah kegiatan social entrepreneurhsip. Di mana definisi social entrepreneurship sendiri merupakan bisnis yang tidak hanya memikirkan keuntungan untuk pengusahanya itu sendiri, melainkan dapat memberikan nilai lebih kepada masyarakat sekitar dengan memberdayakannya dan masyarakat tersebut mendapat keuntungannya pula.
“Kata memberdayakan mengartikan dari yg tidak berdaya, menjadi berdaya. Ini merupakan bisnis yang win-win solution.” Kata Ganjar, Mahasiswa Teknik Nuklir UGM sebagai ketua panitia GamaSEC 2014.
(F.Deja.R)

Publikasi lain ada di :

Jumat, 31 Oktober 2014

Menulis Buku ? Why Not !

Menulis, setiap orang dapat melakukan itu. Tapi menjadi penulis adalah impian yang susah untuk digapai, latihan tidak cukup satu dua kali, bahkan sepanjang hidup adalah latihan untuk menjadi penulis yang baik. Impianku sedari kecil adalah menjadi penulis yang terkenal, tidak harus seperti JK Rowling atau sastrawan Indonesia yang melegenda. Aku hanya ingin memiliki buku yang berguna dan menginspirasi bagi banyak orang. Aku mulai aktif menulis sejak akan masuk ke perguruan tinggi, tugas yang begitu padat menjadikanku berlatih kata-kata menyusun laporan praktikum atau esai untuk tugas.
Dari hal itulah keinginan melanjutkan mimpi mulai terbuka, aku berlatih dari lomba ke lomba. Tidak berharap banyak, mendapat sertifikat kontributor saja aku sudah sangat senang, apalagi mendapat piagam dengan tulisan juara, setidaknya tulisanku diakui orang lain lalu mereka terbitkan menjadi buku bersama. Aku memang belum memiliki buku utuh karyaku sendiri, namun beberapa buku sudah mencantumkan karyaku. Tidak apa bagiku karena aku menganggap diriku masih berlatih sampai saat ini.

Kelak mungkin aku akan menjadi penulis hebat, tentunya latihan saja tidak cukup. Aku juga harus aktif mempromosikan karyaku yang ada dalam buku bersama tersebut agar bukunya laku, bukan untuk mencari untung tapi memperkenalkan diri kepada pembaca. Setiap ada waktu aku dan teman seperjalananku selalu melakukan perjalanan menemukan tempat-tempat menarik yang nantinya dapat aku jadikan acuan ketika ada lomba tiba, sebagai latar cerita atau tema yang sering muncul dalam persyaratan lomba. Menjadi penulis itu tidak mudah bahkan aku masih jauh dari seorang penulis. Aku memiliki beberapa teman penulis yang sudah membubuhkan tulisannya di beberapa media, tapi aku masih bingung mencari jalan, kemana aku harus mengirimkan tulisanku, banyak orang yang masih bingung sepertiku. Dapat berkarya dan memiliki karya tapi tidak tahu harus diapakan, salah satunya hanya disertakan dalam lomba yang diterbitkan secara bersama, minimnya link ke penerbit sungguh menyusahkan bagi penulis pemula di luar sana termasuk aku. Iri rasanya ketika mendengar anak kecil yang sudah menerbitkan berbagai macam buku sedangkan aku yang sudah sebesar ini masih dengan mimpi-mimpi memiliki buku, mungkin beberapa caranya adalah menerbitkan buku secara indie pada penerbit ternama seperti penerbit Rasibook atau mungkin  memanfaatkan voucher yang didapat dari hadiah lomba menulis artikel atau semacamnya untuk menerbitkan buku sendiri, setelah itu melakukan pemasaran sendiri, hitung-hitung jadi wisrausahawan buku. Terdengar sedikit gila tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, semoga dalam lomba yang akan datang aku mendapatkan kesempatan itu dan aku tidak akan berhenti mengumpulkan bukti tulisanku serta terus membuat karya. Semangat berkarya ini yang sejatinya telah aku pelajari semenjak hobi menulisku muncul, bahwa yang aku tahu Edison tidak akan pernah mampu menghasilkan karya terbesar dan terhebatnya kalau tidak melakukan percobaan gagal selama 999 kali. (FDR)

Senin, 29 September 2014

Karya 30 Dibukukan (FTS)

PERTEMUAN-PERTEMUAN DENGAN DUKA
Karya: Faiz Deja Ramadhan 

Aku sebenarnya hanya menulis dari curhat seorang teman. Riyan, teman baruku di kota pelajar yang ku anggap sebagai kakak, saat keluarga terasa jauh di kota seberang. Aku mendapat pelajaran banyak darinya, tentang kehidupan, tentang ilmu pengetahuan, dan tentang pengorbanan. Hidupnya tak begitu mulus, bahkan tidak beruntung seperti yang lainnya, namun dia tidak pernah menyerah untuk bertahan di antara kejamnya hidup. Itulah pelajaran penting darinya yang akan aku kenang sampai nanti. Dia, di balik sosoknya yang diam, banyak cerita masa lalu yang disembunyikan.
Dia sering tertegun sendiri, bahkan merasa enggan jika orang mengatakan cinta, aku hanya diam saat dia menceritakan lebih jauh. Baginya cinta adalah anugerah yang tak pernah salah. Tapi orang lain memandang cinta adalah sesuatu yang salah dalam dirinya. Suatu kisah pertama adalah cinta yang tak terungkap dengan sahabat lamanya ketika SMP, mungkin saat itu masih disebut sebagai cinta monyet. Setiap hari Riyan hanya mengirim surat-surat kecil atau puisi di dalam laci kelas atau menempel di sepeda sang pujaan. Hal itu hanya membuat Riyan semakin di-bully . Perasaan cinta pertamanya yang ditahan sejak sekolah dasar hanya berujung sebuah caci, pertemuan dengan Bella mungkin menjadi hal manis dalam hidupnya, namun disisi lain cinta yang timbul itu adalah suatu  hal yang mustahil. Tiga tahun dengan perasaan terpendam dan bully-an yang tiada henti, dia tak pernah salah begitu pula dengan cintanya. Riyan hanya diam ketika hujatan menerpa, belajar tetap menjadi prioritas dikala duka dalam perasannya, prestasi tetap yang utama.
Kisah itu selalu menjadi bayangan hingga kini. Kisah yang berulang lagi saat duduk di bangku SMA. Sosok yang lain, Dias adalah pengisi hati berikutnya. Ini pertemuan yang diharap tidak berujung duka lagi. Lebih nyaman selama tiga tahun hubungan dengan Dias, bahkan sesekali Dias menyatakan cinta dalam nada bercandanya. Dia tahu itu tidak serius, namun Riyan tetap dalam posisinya yang tak enak. Teman-teman juga mengetahui kedekatan mereka, bully-an juga tak terelakkan. Riyan bahkan tak menganggap itu, sudah cukup kebal dilatih dengan bullyan selama tiga tahun di kisahnya yang lalu. Lagi-lagi dia menanggung apa yang seharusnya menjadi bahagianya, apalagi saat Dias menggandeng pujaan hatinya, Riyan memilih menjauh dengan perasaan yang dikuburnya dalam-dalam. Duka ini berakhir dalam tahun ke tiga, saat Dias juga menghembuskan nafas terakhirnya.
Riyan, hidupnya penuh dengan bully-an dari kisah pertemuannya dengan orang yang terkasih. Bahkan dia diasingkan ke pedalaman Kalimantan karena pertemuannya dengan orang-orang setelah Dias. Cinta dan dunianya adalah pertemuan penuh duka, rasa cinta yang selalu kandas. Bagi Riyan yang merasakan cinta, dengan siapapun dan dalam kondisi apapun adalah anugerah yang harus dihormati dan bukan sesuatu yang dijadikan ejekan terlebih ketika status sosial tak serasi. Hal indah yang aku pelajari dari sosok teman, Riyan mengisahkan tentang pertemuan yang penuh pelajaran, duka di akhir adalah pukulan saat perpisahan yang tidak manis. Namun ada hikmah, hikmah untuk saling menghargai dan tidak memandang orang lain dari pandangan kita, tapi jadilah orang tersebut. Jika diperbolehkan mengutip dari Trie Utami, “Bolehkan dia marah pada Tuhan? Mengapa dalam cinta Dia dipertemukan, tetapi untuk bersama, dia tidak diperkenankan.” Terimakasih Riyan, pelajaran hidupmu akan aku kenang.

Buku ini dapat dibaca pada Buku Pertemuan Kita Part 1 terbitan Antologi Penerbit Mafaza Media.


Minggu, 14 September 2014

Ironi Kota Budaya, Banyak Museum sepi pengunjung

YOGYAKARTA (kabarkota.com) - Yogyakarta selama ini terkenal sebagai Kota Budaya. Salah satu ciri

khasnya, karena di kota ini banyak terdapat tempat-tempat bersejarah, sekaligus museum-museum

yang tersebar di berbagai tempat. Sayangnya, dari puluhan museum yang ada di DIY rata-rata sepi

pengunjung.


Salah seorang petugas museum Perjuangan Yogyakarta yang enggan disebut namanya membenarkan, jika selama ini tingkat kunjungan masyarakat ke museum tersebut sangat sedikit.

"Kami tidak bisa menentukan rata-rata pengunjung per harinya, tapi bisa kurang dari 10 orang," kata petugas kepada wartawan, Minggu (17/8).

Meski sepi pengunjung, museum yang terletak di Jalan Kolonel Sugiono Yogyakarta ini ditutup untuk umum, setiap hari Sabtu dan Minggu.

Pengamat Museum di Yogyakarta, Joe Marbun menganggap, minimnya antusiasme masyarakat untuk mengunjungi museum, tidak lepas dari peran dunia pendidikan, dan pengelolaan yang tidak profesional.

"Dunia pendidikan belum sepenuhnya mendorong anak didik untuk memiliki kepekaan sosial," ujar Joe saat ditemui kabarkota.com di Dinas Kebudayaan DIY.

Tidak adanya kepekaan sosial itu, jelas dia juga menjadi penyebab mengapa stimulan-stimulan, seperti museum yang disediakan pemerintah banyak diabaikan. Meski pun telah ada sejumlah program yang dicetuskan oleh pemerintah, seperti Gerakan Cinta Museum, dan Duta Museum.

Selain itu, dari sisi pengelolaan, rata-rata museum yang ada di DIY dikelola secara tidak profesional, dan cenderung mengedepankan manajemen kekeluargaan. Ia mencontohkan ketika terjadi kehilangan benda koleksi benda bersejarah di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, banyak dari pihak-pihak yang akhirnya tidak bisa dimintai keterangan.

Persoalan promosi yang masih sangat minim, juga menjadi penyebab sepinya pengunjung ke tempat penyimpanan benda-benda bersejarah tersebut. Misalnya, pada saat momentum peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang jatuh pada 17 Agustus atau hari ini, semestinya pihak museum bisa berbenah diri untuk bisa menarik perhatian pengunjung dengan membuat agenda kegiatan yang berhubungan dengan peringatan tersebut.

Joe juga berpendapat bahwa interaksi antara museum dengan masyarakat juga harus selalu ada. Dengan begitu, para pengunjung bisa benar-benar merasakan asmosfernya. Termasuk, ketersediaan fasilitas kritik dan saran bagi para pengunjung.

"Komunitas pecinta museum juga banyak, mengapa tidak dioptimalkan perannya?" tanya dia.

Faiz Deja Ramadhan, salah satu mahasiswa di Yogyakarta, juga menilai bahwa dari sisi pengelolaan dan pelayanan museum di DIY masih perlu untuk ditingkatkan.

"Saya sering kecewa ketika hendak berkunjung ke museum ternyata tidak ramah," ungkap Faiz.

Padahal menurutnya, museum itu ibarat summary dari tempat wisata yang semestinya layak untuk dikunjungi.

Mahasiswa asal Jakarta ini juga berharap, museum-museum yang ada dapat dikembangkan dengan High technology sehingga tampilannya lebih menarik.

Kemudahan akses bagi masyarakat umum untuk masuk ke museum-museum khusus, seperti museum kedirgantaraan juga penting sehingga pengunjung tidak lagi merasa enggan untuk datang. (tria/aif) .

Artikel ini diambil dari : 

Kamis, 11 September 2014

Karya 29 Dibukukan (Paper)

Paper “Pancasila Sebagai Pemersatu Keanekaragaman Budaya Asli Bangsa Indonesia yang Kian Pudar Tergerus Program Budaya Asing di Media Televisi” dibukukan dalam Buku Prociding Kongres Pancasila VI di Universitas Patimura Ambon sebagai Peserta Lolos Call For Paper oleh Pusat Studi Pancasila UGM.

Berikut abstrak dari Papernya: 


Pancasila Sebagai Pemersatu Keanekaragaman Budaya Asli Bangsa Indonesia yang
Kian Pudar Tergerus Program Budaya Asing di Media Televisi
FAIZ DEJA RAMADHAN
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Prodi Geofisika
rfaiz15@yahoo.co.id

Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak kebudayaan. Kebudayaan daerah yang
majemuk di Indonesia sangat rentan terhadap pergesekan masalah berdasarkan perbedaan
kebudayaan yang timbul dari karakteristik geografis maupun sosial tempat kebudayaan tersebut
terbentuk. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan goyahnya persatuan dan kesatuan yang
mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu setelah Indonesia merdeka
dibentuklah Pancasila yang dapat merangkul perbedaan yang ada di Indonesia termasuk kebudayaan
di dalamnya dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Namun seiring perkembangan Indonesia,
Pancasila seakan tergeser kedudukannya. Pergeseran Pancasila sebagai landasan negara yang
mempersatukan budaya itu dipengaruhi pula oleh masuknya kebudayaan asing yang begitu cepat,
mengingat posisi Indonesia sebagai jalur perdagangan hingga teknologi informasi yang mempercepat
masuknya budaya baru. Budaya baru lebih digemari oleh generasi muda Indonesia yang semakin
mempercepat pengurangan peran Pancasila dan menipisnya pelestarian budaya Indonesia. Bukan
tidak mungkin perlahan kebudayaan asli milik Indonesia akan hilang bahkan diambil negara lain,
serta Pancasila semakin hilang peran dan pemahamannya. Oleh karena itu perlu diadakan suatu
program yang mengharuskan setiap jaringan komunikasi, terutama televisi yang dianggap lebih
menjangkau semua lapisan masyarakat memiliki program tentang budaya dan Pancasila yang dapat
mendidik dan menanamkan nilai budaya serta Pancasila ke dalam semua lapisan masyarakat di
Indonesia,terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Suatu program yang diharap pula sebagai
jembatan penghubung antara kebudayaan asing atau kebudayaan baru yang masuk di Indonesia agar
sesuai dengan kebudayaan asli Indonesia.

Abstract
Indonesia is an archipelago that has a lot of culture . Diverse local culture in Indonesia is very
vulnerable to friction problems based on cultural differences that arise from the geographical and
social characteristics of the culture where they are formed . This problem can cause shaky unity and
oneness that threaten the survival of the nation and state . Therefore, after the independence of
Indonesia established Pancasila can embrace the differences that exist in Indonesia, including the
culture in which the motto Unity in Diversity . But with the development of Indonesia, Pancasila as
displaced position . Shifting Pancasila as the foundation that unites the country 's culture is also
influenced by the influx of foreign culture so quickly , considering Indonesia's position as a trade
route to the information technology that accelerates the entry of a new culture . The new culture is
more favored by the young Indonesian Pancasila further accelerate the reduction of the role of cultural
preservation and depletion of Indonesia . It is not impossible slowly Indonesia's indigenous culture
will be taken away even other countries , as well as Pancasila increasingly lost the role and
understanding . Therefore there should be a program that requires each network communications ,
especially television, which is considered to better reach all walks of life have on culture and
Pancasila programs that can educate and inculcate Pancasila values and culture into all walks of life in
Indonesia , especially the younger generation as successor nation . A program is also expected as a
bridge between foreign cultures or entering a new culture in Indonesia consistent with the original

culture of Indonesia.



Karya 28 (Kata Mutiara Inspiratif)

Karya 28

“Bagi orang yang mau memaafkan dan berbagi, Idul Fitri 

tidak datang setahun sekali, namun setiap hari.”


Kata Mutiara ini menjadi Juara 1 Lomba Cipta Kata Mutiara bertema Ramadhan dan Idul Fitri
yang lombanya diselenggarakan oleh FAM Indonesia.



Karya 26-27 Dibukukan (Gagasan)

26.   JUMAT HIJAU DAN KAMPUS BEBAS ASAP KENDARAAN BERMOTOR SEBAGAI LANGKAH LANJUT KAMPANYE HARI BUMI DI UNIVERSITAS GADJAH MADA” dalam halaman 25 pada Buku Pelangi Untuk Bumi, Gagasan Saintis untuk Bumi Hijau, buku terbitan KM FMIPA UGM.


27. “KOMUNITAS DUTA BUMI HIJAU DAN DEPARTEMEN BUMI HIJAU
DI KAMPUS” dalam halaman 30 pada Buku Pelangi Untuk Bumi, Gagasan Saintis untuk Bumi

Hijau, buku terbitan KM FMIPA UGM.


Esai gagasan dan buku tersebut dapat dibaca di link berikut ini : 

Rabu, 10 September 2014

Karya 25 Dibukukan (Cerpen)

Hidayah-Nya
Karya: Faiz Deja Ramadhan

Agama, kata orang agama adalah tiang kehidupan. Agama adalah petunjuk arah dan pegangan hidup agar kita selalu ingat akan Tuhan. Tuhan yang mana saja. Aku yang kecil waktu itu diam saja ketika Pak Ustadz atau yang lainnya membicarakan agama. Aku menganggap agamaku adalah Islam, suatu agama yang diberikan turun temurun dari keluargaku. Aku tidak pernah mendapatkan pendidikan agama yang lengkap. Masa kecil dihabiskan tanpa kasih sayang orang tua dan keluarga yang lengkap. Aku bertahan dalam kesendirian masa kecil, jangankan belajar mengaji, bermain saja hampir tidak ada waktu. Bukannya sibuk, namun memang waktu lebih banyak  aku habiskan di rumah. Itupun terbawa hingga sekarang aku beranjak besar. Sejak SD hingga SMA nilai agamaku selalu terendah, baca Al-Quran hanya sebatas kata-kata yang terbata, tak memahami bacaan shalat. Namun aku tak pernah menyerah, aku tetap shalat dan membaca Al-Quran sebisaku. Hal ini yang paling berdosa adalah aku selalu membohongi guru agamaku demi sebuah nilai yang bagus, aku selalu mencatat kata demi kata dalam Al-Quran agar lancar saat membaca di depan guru. Dengan seperti itu nilaiku akan lebih baik daripada harus mengulang lagi, itu mencederai kesempurnaan nilaiku yang lain. Beruntungnya guru tak pernah mengetahui hal itu, hingga aku jujur dalam tulisan ini.
SD dan SMP aku masih diam saja tentang agama, aku masih menerima agamaku dengan suka cita. Menjalankan semua tuntunan agama meski dalam keterbatasan. Mungkin aku menjalankannya lebih baik daripada teman seusiaku yang paham agama. Dari kelas satu SMP hingga kelas 1 SMA, aku selalu menjalankan shalat wajib lima waktu dengan dua sunah pengiringnya, Shalat Tahajud dan Dhuha, belum lagi puasa Senin-Kamis yang tak pernah ketinggalan. Di dalam ibadah itu ada harapan agar aku menjadi insan yang lebih baik lagi dan dapat mempertahankan prestasiku. Tuhan memang tak pernah tidur, aku selalu mendapatkan kemudahan dalam segala hal saat aku dekat dengannya, prestasi sekolah selalu terbaik, belum lagi berbagai event lomba selalu dapat aku ikuti dengan lancar. Aku mulai terkenal diantara anak-anak di sekolahku. Lulus dengan nilai yang cukup tinggi, dan akhirnya aku dan keluargaku terselamatkan dari bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada tanggal 26 Mei 2006 lalu. Kami terselamatkan karena Shalat Subuh menuntun kami untuk beranjak dari tempat tidur dan segera berkegiatan, dari situlah kami tidak tersentuh oleh gempa. Rumah dan bangunan yang lainnya roboh, namun tak melukai kami sedikitpun. Rasa syukurku pada Tuhan begitu hebat, aku bangga masih memeluk Islam yang selalu memberi berkah dan hidayah yang tak pernah diduga.
Masa-masa gempa menjadi hal tersulit, iman mulai tergoyah ketika pertanyaan dalam hati menghantui, orang-orang yang dekat dengan Tuhan sekalipun menjadi sasaran bencana yang kebanyakan orang menganggap ini ujian. Aku masih bersyukur karena terselamatkan, namun tak memiliki rumah seakan membuat diriku terpukul. Kami sudah hidup dalam kesulitan, namun Tuhan memberi ujian lagi. Keimanan seakan tak ada gunanya saat Tuhan menguji sepeti ini. Aku menjalaninya untuk tetap bersabar dan berserah diri pada-Nya, berharap hidayah itu semakin besar datang padaku untuk mengetahui kebesarannya. Prinsip itu aku bawa hingga aku duduk di bangku SMA.
Saat inilah tantangan yang baru dimulai. Aku bertemu dengan banyak orang dari banyak kalangan, rasa ingin tahu akan hal baru membawaku dalam arus yang lebih deras lagi. Pertanyaan lama yang selalu terpendam kini muncul kembali. Akankah aku beragama hanya mengikuti apa yang orang tuaku jalani, bahkan mereka pun tak mengasuhku dari kecil. Anak yang lahir dari keluarga Islam harus menjadi seorang muslim juga? Bukankah beragama adalah pilihan dari setiap individu. Aku menjadi orang yang lalim, apalagi nilaiku semakin turun di awal-awal sekolahku. Aku meninggalkan shalat bahkan menjajal agama yang lain sebagai pedoman hidupku. Aku mulai mengenal ajaran agama lain dan meninggalkan shalat serta agama yang aku bangun selama ini, belum sah benar, karena memang aku masih mengikuti pelajaran agama Islam dan mencantumkan nilainya dalam rapor. Aku masih diam-diam meski kebanyakan orang mengetahuinya. Menjadi lalim membuat niilaiku semakin meningkat, aku menjadi bagian dari orang-orang pintar di sekolahku. Berprestasi dan selalu dielu-elukan. Namun di balik semua itu aku menyimpan kebohongan yang besar akan agamaku dan agama yang aku anut. Hal itu berlanjut hingga aku lulus sekolah dengan nilai yang lumayan bagus. Tak buruk untuk orang sepertiku. Kemiskinan, kebodohan mungkin telah membawaku ke dalam tonggak yang melupakan siapa Tuhan yang telah menyelamatkanku dan keluargaku, serta siapa Tuhan yang telah membimbingku hingga sekarang. Disaat seperti itu terkadang aku berpikir untuk kembali memeluk Islam, namun kadang aku takut akan amarah Tuhan yang begitu hebat karena aku telah menduakannya. Aku malah semakin gila dengan mencoba mempelajari ajaran agama yang lain, ada tiga agama yang pernah aku jalani. Islam sebagai agama indukku, dan agama-agama lain menjadi agama singkatku saat aku beranjak dewasa.
Waktu terus berlanjut dalam kehidupan ini. Terkadang aku termenung dalam kesendirian, saat orang lain berbondong-bondong ke masjid atau tempat peribadatan lain aku malah semakin terpuruk dalam kebingungan ini. Terkadang orang tua atau orang terdekatku menanyakan keyakinanku yang sebenarnya, namun aku tak dapat menjawabnya dengan mantap, karena aku tak ingin melukai perasaan mereka. Perjalanan panjang dari seorang pemeluk teguh yang sekarang lalim, terpuruk dan mencari pencerahan, lama hingga aku temukan seorang teman yang dengan tulus membimbingku menemukan hidayahnya, mengajariku untuk mengambil air wudhu lagi, bersujud dalam doa, menengadah memohon padanya, Shalat Jumat. Membaca syahadat dan kembali memeluk Islam, entah dosa apa yang telah aku lalui, namun katanya Tuhan adalah Maha Pengampun apapun dosa kita, asal kita mau meminta ampunannya, agamanya masih terbuka luas bagi siapapun yang mau bertobat. Bagi orang bodoh sepertiku, mungkin akan merasa sayang menghapus amal perbuatanku selama bertahun-tahun jika memeluk agama lain, namun beragama bukanlah masalah pahala, tapi keyakinan dan iman kepada Allah, aku mempercayai Allah itu ada seperti aku mempercayai bahwa di kepalaku ada sebuah otak, meski aku tak melihatnya. Aku kembali ke jalan Islam setelah hidayah itu datang dari seorang teman yang menyadarkanku, setelah sekian lama aku terpuruk. Subhanallah.
Cerpen “Hidayah-Nya” ini dapat pula dibaca di dalam Buku Antologi Cerpen Para Pencari Hidayah oleh Pena Indis.

Karya 23-24 Juara dan Dipublikasi

Karya 23 :
 “Sebuah Cerita” sebagai Juara 3 Lomba Cerpen Nasional Xpressi Jurnal dan Politeknik Negeri Jakarta

SEBUAH CERITA
tentang aku, kampungku, dan masa lalu
 Karya : Faiz Deja Ramadhan

Siang di awal kelas,
Entah hanya perasaanku atau memang cuaca terasa gerah. Pendingin ruangan sudah maksimal pada angka 16 derajat sedari tadi, tapi aku masih saja mengipas-ngipaskan buku tulisku untuk menghentikan keringat yang mencucur perlahan.  Jam masih saja lama menuju angka dua tanda bel pulang sekolah. Satu-persatu teman aku amati nampak serius mendengarkan presentasi yang sedang berlangsung di depan kelas. Baru sampai nomor urut ke enam, namun aku semakin gugup saja. Menengok ke arah Dilan, dengan santainya dia mendengarkan sambil sesekali membuka lembaran kertas pegangannya. Lita, gadis pintar itu nampak antusias mendengarkan, nampaknya dia sudah siap dengan flash disk di tangannya. Aku? Masih saja kebingungan, tulisan yang aku buat saja belum sepenuhnya hafal. Sedangkan isi power pointku juga hanya foto-foto pendukung ceritaku saja. Pelajaran Bahasa Indonesia di jam terakhir yang membuat perutku mual tak karuan. Aku malu akan ceritaku yang mungkin cuma sederhana. Dino mempresentasikan suasana liburan saat di Singapura dengan keluarganya. Rio, dengan bangganya memamerkan foto-foto saat dia berkunjung ke Raja Ampat. Begitu pula dengan Deni, Fatmi, dan Cahyo. Apalah arti liburan yang aku tulis ini? Terkadang sekolah di tempat elit membuat kebanggan tersendiri. Dianggap pintar atau beruntung oleh kebanyakan orang, namun tekanan batin selalu aku rasakan, ya seperti saat-saat seperti ini contohnya. Aku punya banyak teman di sekolah ini, tapi aku juga punya banyak malu di sini. Minder lebih tepatnya. Setelah ini giliran Ajeng, lalu aku harus menyampaikan cerita masa liburanku. Pasti ini tidak menarik sama sekali.
Sempurna, sekarang giliranku menyampaikan apa yang sudah aku alami dengan gambar-gambar yang mungkin akan membosankan bagi mereka. Aku mengawali ceritaku dari perjalanan kakiku yang terasa berat meninggalkan bangku menuju depan kelas. Wajahku mungkin jadi pucat, keringat masih saja membasahi.
“ Rian sudah siap?”
“ Sudah kok Bu.”
“ Kamu nampak pucat?”
“ Ah tidak apa-apa, sedikit kurang yakin aja dengan cerita Rian, Bu.”
“ Cobalah sampaikan!
Memulai percakapan dengan guru mata pelajaran setidaknya melatih agar lidah tak kaku saat aku mulai bercerita tadi. Ini liburanku, ini ceritaku, dan inilah aku. Memandang seisi kelas yang nampak masih antusias mendengarkan kisah liburan di tempat-tempat menarik. Aku menganggap semuanya patung. Aku hanya berbicara sendiri di ruang kelasku.
Di awal presentasi aku putar sebuah video gabungan dari hasil jepretanku, aku pampang gambar kerbau yang gemuk, ayam-ayam, sungai bahkan persawahan yang masih hijau. Ya sedikit membuat mereka keheranan, apa yang bakal aku sampaikan. Tetapi inilah cerita yang aku sampaikan.
Hai, aku ingin bercerita tentang hariku dalam dua minggu kemarin. Aku tak seberuntung kalian yang dapat menginjakkan kaki ke pulau-pulau indah di luar sana, atau berbelanja dan menikmati wisata di negara asing. Bagiku itu hanya mitos. Aku ingin bercerita tentang alam yang indah, alam yang penuh kenangan turut serta membesarkanku dan memberiku pelajaran akan rasa syukurku. Aku pernah mengalami semua itu. Aku tak pernah kemana-kemana, namun aku baru menyadari jika kampung halamanku adalah sejarah hidupku yang mungkin mengalahkan keelokan tempat-tempatyang kalian kunjungi. Aku juga terlalu sibuk seperti kalian, belajar, mengerjakan laporan, atau praktikum dan kegiatan ekskul lainnya, sehingga membuat aku melupakan lingkungan kampung halamanku. Aku baru menyadarinya kemarin saat Bu Ane menugaskan kita untuk membuat cerita singkat tentang liburan kita.
Kampungku, aku awali dengan perjalananku di pematang yang luas. Aku masih dapat melihat areal persawahan yang hijau dengan selang-seling warna muda dan tua, dengan jalur-jalur jalan setapak yang terbuat dari tanah. Aku bahkan dapat menangis merasakan ini. terakhir aku menginjakkan kaki di persawahan adalah saat masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Aku termenung menatap gardu kecil yang bentuknya masih sama, dengan parit kecil yang ternyata masih ada ikan kecil dengan ekor warna-warninya. Dulu aku dan teman-teman sebayaku menangkap ikan-ikan itu dengan anyaman bambu, orang Jawa bilang itu besek. Tempat nasi yang biasa dipake kalau lagi ada hajat. Lalu kami menaruhnya dalam ember kecil sebelum nanti dipindah ke dalam ember tanah liat, atau sering di sebut maron. Bukan Maroon Five. Kami tidak cukup uang untuk membeli ikan hias atau aquarium saat itu, namun kebersamaan itu terasa sangat mengharukan. Alam masih menjaga ikan kecil ini hingga aku masih bisa melihatnya kemarin saat harus membuat tulisan ini. hanya saja tak lagi ada kebun tebu di samping parit kecil. Aku tak bisa mengambil batang tebu dan mengunyahnya hingga sari pati gula itu habis aku hisap. Aku membayangkan kenangan itu dalam gardu kecil penuh kenangan. Suasana persawahan yang sepoi di kampungku. Memandang dengan lega hamparan kesejukan. Di balik hijaunya masih saja ada gerumbul tanaman yang tinggi, ditengah petak persawahan itu pohon kedondong menjulang tinggi. Biasanya kami juga mencuri kedondong di tempat itu. Pohonnya pun masih ada saat ini. perasaan membawaku terbang beberapa tahun yang lalu, sekarang tak ku lihat anak-anak kecil mondar-mandir di sawah. Mungkin orang tua melarang mereka dan menyuruhnya untuk belajar atau membiarkan anak-anak mereka sibuk dengan dunia maya. Aku juga tak sempat melihat upacara Gagakan, upacara petani jawa yang mempersembahkan makanan kepada Dewi Sri, pertanda terima kasih telah memberikan tanaman yang subur. Maklumlah sekarang belum saatnya panen. Berjalan di tengah pematang sawah membuat batin ini merasa lebih tenang meski panas terik menyorot kulit. Setidaknya aku belajar mengingat masa lalu, belajar bersyukur memiliki kenangan yang indah. Belum tentu remaja seusiaku dapat tinggal di kampung sepertiku dengan sejuta kenangan tentang persawahan.
Sedikit menghela nafas, jeda sejenak untuk menampilkan gambar kedua sebelum melanjutkan ceritaku. Seisi kelas nampaknya masih memperhatikan ceritaku.
“ Apa kalian bosan dengan ceritaku?”
“ Sama sekali tidak Rian, aku justru suka. Aku belum pernah merasakan persawahan secara nyata. Aku bahkan tidak pernah pergi ke kampung. Apakah kampung halamanmu nyaman?”
“ Nyaman, kalau kita dapat merasakan yang seharusnya.”
Nah, yang berikutnya ini adalah sungai yang biasa kami gunakan untuk bermain air. Mungkin kalian sedikit berpikir bahwa kami ini jorok. Tapi cerita yang seharusnya tidak seperti itu, dulunya sungai dalam foto itu berair sedang. Tidak jernih, tidak juga sekeruh itu. Alirannya lumayan deras. Tak ada sampah seperti yang di gambar. Kami banyak menghabiskan waktu di tempat itu, bermain kapal yang kami susun dari batang-batang pohon pisang. Atau memancing ikan dari atas jembatan gantung yang sekarang sudah tidak ada lagi. Katanya kena banjir sekitar tujuh tahun yang lalu. Banjir bandang yang lumayan besar hingga meluap hingga masjid dan sekolah di kampungku. Sejak saat ini sungai mulai berubah fungsi yang bentuknya seperti dalam gambar. Banjir membawa air luapan dari kota yang tak tertampung dan sampah yang hanyut di sungai, buangan dari orang-orang kota pula. Sungai jadi lebih kotor, orang kampungku malah jadi ikut-ikutan membuang sampah ke sungai pula karena melihat sungai mereka sudah kotor.
“ Kok sungai membawa sampah dan luapan air dari kota Rian?”
“ Ya, secara geografis kampung halamanku terletak di bagian selatan provinsi ini. secara tidak langsung hujan yang mengguyur terus-menerus di puncak akan turun ke kota dan membawa sampah-sampah yang menumpuk di sungai-sumgai dalam kota kemudian berakhir di sungai daerah selatan, termasuk sungai yang mengalir di kampung halamanku.”
Petani di kampungku sangat tertolong dengan adanya sungai ini untuk pengairan, namun tidak untuk anak-anak kecil saat ini.sungainya sudah tak sehat. Beda jauh dengan jamanku dulu. Ternyata perubahan jaman membawa pengaruh yang sangat besar. Tapi aku tak sekecewa itu. Aku masih dapat menyaksikan deretan pohon kepuh atau dalam bahasa ilmiahnya sterculia foetida yang masih berdiri sampai sekarang. Tidak begitu besar tapi jumlahnya masih sama seperti saat aku tanam dengan kakakku waktu itu. Mungkin dia kurang berkembang karena terhalang tanaman bambu atau yang lainnya. Setidaknya masih bisa bertahan sampai saat ini. semoga bisa sebagai penyangga daerah aliran sungai sehingga kampungku tak terancam bahaya erosi.
“ Inilah pohon yang aku maksud.
 Pohon itu dari biji yang masih kecil. Biji yang berkembang menjadi tanaman kecil di plastik putih yang aku korek dari tempat sampah jaman dulu. Plastik baru masih susah didapat, tak seperti sekarang ini. sungai sudah sedikit rusak bahkan tercemar, namun sungai mengingatkanku akan masa kecilku di kampung halaman yang penuh keceriaan. Belajar berenang di sungai, bermain kapal dengan batang pohon pisang, dan berkemah di samping sungai dengan api unggun kecil dan ubi bakar yang di dapat dari ladang. Sekarang aku hanya bisa tersenyum geli mengingatnya, bahkan aku terbahak-bahak di pinggir sungai saat mengambil gambar yang sekarang kalian lihat. Di sanalah aku dipukuli sama orang tuaku karena mandi di sungai sampai lupa pergi pramuka. Sedikit bangga juga, aku, kakaku dan teman-temanku sedikit berjasa melestarikan alam meski hanya menanam lima pohon saja. Suatu awal mungkin, yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana menyadarkan masyarakat kampung agar tidak membuang sampah ke sungai. Agar kampung halamanku menjadi bersih lagi, dengan sanitasi yang bersih pula.
“ Aku sadar ceritaku tak seindah Raja Ampat atau cerita kalian dari luar negeri, namun aku bangga memiliki kampung yang dapat aku bagi dengan kalian.”
Itu tadi adalah dua tempat yang tak bisa dipisahkan dari kampung halamanku. Ada sungai yang membelah kampungku menjadi dua dan persawahan yang masih menghijau dan sesekali terlihat burung kuntul atau bangau sawah yang mencari katak. Burung-burung pemakan padi juga masih banyak berterbangan disana, atau saat musim kepompong tiba. Kepompong akan menetas dan ratusan kupu-kupu menghiasi langit kampungku.
“ Lalu ada apa lagi?” Sahut Fatma yang duduk di pojok kelas.
Banyak, kalian dapat melihat dari urutan gambar di layar presentasiku.halaman yang tak luas itu sering digunakan untuk berlatih tarian tradisional, yaitu Kuda Kepang, Jathilan masyarakat kami menyebutnya. Dulu halaman itu luas. Aku sering menghabiskan waktu di tempat itu pula, sekedar bermain kelereng, lompat tali, congklak, dan permainan kampung lainnya. Bahkan saat purnama datang kami masih saja menghabiskan waktu di halaman, menikmati rembulan, bermain petak umpet, jejamuran dan sebagainya. Masa kecil kami begitu riang dengan nyanyian anak-anak, celoteh dan tawa riang, bahkan cerita horor yang sering kami bagi di saat malam purnama sampai kencing di celana karena menahan takut dari cerita itu. Sekarang aku tak melihatnya lagi, halaman yang sudah semakin sempit dan anak-anak lebih memilih bermain dengan televisi atau permainan yang lebih modern. Mungkin sekarang bukan jamannya permainan tradisional lagi. Bahkan aku hanya bisa melihatnya di museum dan angan-anganku saja tentang masa laluku di kampung tercintaku.
Mungkin kalian masih bingung dan membayangkan bagaimana wujud kampungku. Sebenarnya sering kampungku muncul di berbagai serial televisi. Meski hanya sebagai latar persawahan atau rumah-rumahnya yang masih tradisional, namun sekarang sudah banyak rumah yang di bongkar dan menjadi lebih modern. Budaya kota sudah mulai merasuki. Kalau kalian mau melihat, bisa datang ke kampung wisata di dekat kampung halamanku. Kalian bisa bermain  di sawah, memanen padi, membajak sawah dengan kerbau, atau memainkan permainan tradisional yang pernah aku mainkan dulu. Sambil belajar kalian dapat menghargai alam dan budaya yang mulai ditinggalkan. Aku berharap semoga kisahku tak akan hilang, semoga masih ada alam yang indah dan udara segar di kampung halamanku dan kampung-kampung yang lainnya, bahkan kampung kalian semua yang tak pernah ada sawah atau kerbau atau yang ada juga gedung.
Entah apa yang aku rasakan,
pengulangan sejarah tentang masa yang telah lalu,
meski sekarang sudah sedikit berubah, namun kampung halamanku,
memberi warna dalam hidupku, saksi pembelajaran tentang hidup,
aku masih dapat merasakan indahnya kampungku, aku beruntung,
dari mereka yang tak pernah melihat sawah,
dari mereka yang tak merasakan air sungai,
dari mereka yang bermain di petak-petak sempit gang perumahan,
mungkin kampung halamanku akan segera memudar,
tapi tak sepudar semangatku untuk membanggakan kampungku yang telah berjasa,
untukku.

Tepuk tangan riuh terdengar begitu semarak di dalam kelas, Bu Ane maju dan merangkulku. Teman-teman tersenyun tanda puas mendengar ceritaku.
Aku ingin cerita yang lebih panjang sebenarnya Rian, tapi nanti yang lain tidak dapat kesempatan untuk menceritakan liburannya.” Seru Bu Ane.
“Ah ibu bisa saja, Rian hanya cerita seadanya saja, yang Rian sendiri tak pernah menyadari kalau lingkungan tempat tinggal Rian begitu berubah. Rian tak pernah memperhatikan Bu.”
“Ya, dan kita bisa belajar dari Rian untuk tetap mencintai kampung halaman kita apapun keadaanya dan dimanapun kampung halaman itu berada, entah di pedesaan atau di kota. Iya kan Rian?”
Aku hanya tersenyum menyambut kesimpulan dari Bu Ane, aku melangkah kembali ke bangku dengan bangga, ternyata kampung halaman yang begitu kecil dengan kondisi seadanya dapat menarik perhatian seperti halnya cerita teman-temanku yang lain saat mereka menghabiskan banyak uang untuk membuat cerita mereka menjadi wah. Terimakasih kampung halamanku, terimakasih kawan, dan terima kasih masa laluku. (FDR)




Karya 24: 1.      Cerpen “Kacang Juga Akan Rindu Kulitnya” (Dipublikasi pada Maret 2014 dalam website karya.xpressijurnal.com) http://karya.xpressijurnal.com/2014/03/cerpen-kacang-juga-akan-rindu-kulitnya-2.html)