SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Minggu, 15 Februari 2015

Karya 42 (Cerpen) Dibukukan

DIA ( yang tak sempurna )
Karya : Faiz Deja Ramadhan

Memiliki pengharapan yang pasti jika kesusahan akan segera hilang.
Jabur 37:9-11
Pagi menjelang, matahari masih memancarkan sinarnya dengan redup. Dinginnya kota jogja terasa menusuk masuk ke sela-sela tebalnya selimut. Danu, terbangun dari tidurnya. Melipat selimut dan membereskan kamar tidur. Mukanya dibasuh menggunakan air dingin, tak lupa dia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang memiliki jiwanya, hari ini masih diperbolehkan melihat dunia. Dengan kaki kecil yang tak sempurna, Danu mengayuh sepeda menelusuri gang-gang sempit di Kotagede, rutinitas di pagi hari. Kayuhan sepedanya tak lancar, bahkan Dia harus memegangi kemudi hanya dengan satu tangan kirinya. Danu terlahir dengan fisik tak sempurna sejak empat puluh tahun yang lalu. Masa kecilnya tak sebahagia anak-anak yang lain. Darah keluarga Danu memaksanya harus memiliki kondisi fisik seperti sekarang. Saudaranya tak memiliki penglihatan yang sempurna sejak lahir, begitu pula dengan Danu. Namun Dia tak seberuntung dengan abang dan adiknya, kaki Danu memiliki kelainan, begitu pula dengan tangan kanannya yang tumbuh tak sempurna.
Dengan pelan tapi pasti dikayuhnya sepeda yang selalu menemani selama ini. Danu menambil dagangan di loper koran yang sudah menjadi langganannya. Setiap hari Dia menjajakan koran di kios kecil beserta rokok dan minuman kemasan. Lumayan laris, banyak dari pembelinya adalah orang-orang yang sedang menunggu keluarga mereka di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Kotagede. Kondisinya yang tidak seperti kebanyakan orang tak pernah menyurutkan semangat untuk meraih rupiah dengan cara yang mulia. Berbagai informasi Dia salurkan ke setiap pembaca. Berkat kegigihannya itu, Danu tak pernah menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Kesendiriannya selama empat puluh tahun ini tak pernah membuat hidup sepi, masih ada Tuhan yang selalu menemani baginya. Keluarga yang lain memang memiliki pekerjaan yang lebih mapan dari pada Danu, tapi Dia tak pernah berkecil hati melihat keluarga yang lain lebih enak. Selalu sabar merupakan prinsip dan harga mati.
Hari minggu, berarti Dia harus menutup kiosnya lebih cepat. Danu tak pernah lupa menyempatkan waktu berdoa ke rumah Tuhan setiap hari minggu. Menyampaikan keluh kesah dan meminta berkah untuk hidup yang tak dapat diprediksi. Setelah dari gereja, barulah kios kecil yang menjadi usaha stu-satunya dibuka kembali. Bagi kebanyakan orang usahanya hanya sebuah kios koran. Kecil, dengan keuntungan tak seberapa. Tapi ada makna dibalik minimnya untung yang Dia dapat.
“ Saya tak pernah melihat untung, semua yang saya dapat adalah karunia Tuhan dan akan kembali pada Tuhan.” Kata Danu dengan bersahaja.
Tak jarang orang dapat tabah seperti Dia, bahkan dengan kondisinya yang seperti itu. Usahanya mulia dari pada mereka yang sempurna dan pintar tapi hanya membodohi orang banyak, atau mereka yang kuat secara fisik tapi meminta belas kasihan orang lain. Usahanya lebih sempurna dari pada fisiknya. Orang memandang dia sebelah mata, bahkan teman bermainnya waktu kecil. Pendidikan ditamatkan dengan bully setiap harinya, namun kegigihan sudah tergambar. Tak terlalu mencolok disisi pelajaran, namun dia termasuk pemeluk yang teguh. Mengerti firman Tuhan dengan jelas, bahkan dia juga menjadi pengajar yang baik.
Saat siang sudah tergelincir, Danu kembali menutup kios kecilnya. Tak banyak dagangan yang diambil di hari minggu. Sudah disesuaikan dengan kondisi kios yang buka tidak seharian penuh. Setelah pagi berdoa kepada Tuhan, sekarang giliran Dia harus membagi ilmu yang dipunyai kepada anak-anak yang masih lugu. Di gereja yang sama Danu menjadi pengajar bagi anak-anak di sekolah minggu. Sekedar mengajarkan firman dan melatih paduan suara, melantunkan pujian untuk Tuhan yang memberi nafas. Ini adalah sebuah pengabdian, wujud rasa syukurnya pada Sang Pencipta.
“ Pendidikan yang baik bukan dilihat dari nilai dan status sarjananya, namun seperti apa kita dapat membagi ilmu yang kita punya kepada orang lain, dan menjadikan ilmu itu menjadi berguna”, bagiku.
Baginya memberikan pengajaran tentang ilmu agama lebih bermanfaat dari pada membagi aljabar yang tak pernah dipergunakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Danu memang tak sepandai orang lain, namun kegigihan dan pengetahuan tentang agama membuat Dia disegani anak-anak yang diajarnya. Pengabdiannya kepada Tuhan.
“ Mas Danu itu pintar, apalagi kalu dia sedang membaca doa dan firman. Dengan mata yang tak sempurna, dengan kaki yang susah berjalan dan menulis dengan tangan kirinya, Dia adalah sosok sempurna untuk menggambarkan kegigihan dan kesuksesan untuk mensyukuri setiap kondisi hidupnya”, ujar Nindya yang pernah menjadi muridnya di sekolah minggu.
Hidupnya penuh dengan kekurangan, tapi hati dan jiwanya penuh dengan kelebihan. Dia gigih dan mau berbagi. Danu, tak pernah memandang fisiknya sebagai penghambat. Memang tak seorangpun wanita yang menerima fisiknya, namun kesendiriannya adalah jalan yang harus ditempuh. Usahanya tak dapat disejajarkan dari usaha yang memiliki omset tinggi, tapi semangat dibalik usahanya tak jarang ditemukan dalam kehidupan orang lain, belum juga kebaikannya membagi ilmu. Seharusnya kita iri melihat kehidupannya yang penuh dengan kekurangan namun penuh inspirasi.
Sore dilalui dengan sepeda yang masih saja dikayuh dengan pelan, menelusuri jalan yang sama, sempit dibalik bangunan tua yang eksotik. Kotagede menjadi saksi hidupnya, saat matahi menutup matanya, Danu menutup hari dengan senyum penuh makna. Malam menjelang adalah surga untuk mengistirahatkan raga yang tak memiliki kekuatan penuh. Mengumpulkan tenaga lagi, untuk esok hari yang masih panjang, menjalankan usaha, menyapa pelanggan, menyapa dunia yang bersahabat.
Baginya, “ Tuhan akan mengusap air mata setiap hambanya, tak kan ada lagi kematian, kesusahan, dan kesakitan” Wahyu 21:23,4.

Cerita ini dapat dibacva dalam Buku " Perjalanan Hidup Sang Difabel" Penerbit AE Publishing.