SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Jumat, 30 Januari 2015

Karya 39, 40, 41 (Artikel) Dipublikasikan

Candi Sukuh, Peninggalan Sejarah Bercorak Suku Maya 
Jika kita mengingat berita-berita populer di tahun 2012, nama Suku Maya seakan menjadi topik paling ramai di berbagai media. Ramalannya tentang hari kiamat menjadi ketakutan tersendiri. Di balik ramalan tersebut sebenarnya terdapat peninggalan yang bernilai tinggi, termasuk candi yang berada jauh di Benua Amerika. Bentuknya yang unik membedakan Candi Suku Maya dengan candi-candi di belahan dunia lain, seperti India dan Indonesia. - 

See more at: http://www.siperubahan.com/read/705/Candi-Sukuh-Peninggalan-Sejarah-Bercorak-Suku-Maya

SOLO, RIWAYATMU KINI


Solo. Bagi pecinta jalan-jalan dan pebisnis, mungkin kota budaya sekelas Solo sudah tidak asing lagi di telinga. Kota yang merombak habis tatanannya pada masa kepemimpinan Jokowi ini semakin cantik dan mengokohkan dirinya sebagai kota budaya berbasis modern. Tak salah memang jika kota ini menganggap dirinya sebagai Spirit Of Java. Mengingat budaya yang masih terasa kental dapat berbaur dengan modernisasi dan pembangunan yang berbau multikulturalisme.


BABUKUNG, RITUAL KEMATIAN DARI TANAH BORNEO

Indonesia begitu luas dengan pulau-pulaunya, keadaan geografis tersebut juga menyebabkan ragam budaya yang semakin banyak karena hubungan satu dengan yang lainnya terkendala jarak dan waktu pada jaman dahulu. Banyak daerah memiliki kebudayaan unik yang terilhami dari alam dan kepercayaan mereka.
Salah satu kebudu\ayaan yang hanya ada di indonesia dan dapat dinikmati sampai saat ini adalah upacara Bukung atau sering juga disebut Babukung. Bagi masyarakat Dayak Kaharingan atau sebagian besar Dayak yang tinggal di pulau Kalimantan, hal tersebut tentunya bukan sesuatu yang aneh, namun bagi masyarakat Indonesia secara luas tentu akan menjadi hal baru yang dapat dinikmati serta dipelajari, pengalaman ini penulis dapatkan dari cerita teman yang melihat langsung upacara tersebut beberapa waktu lalu saat dia harus tinggal di pedalaman Kalimantan tengah.

Selasa, 27 Januari 2015

Karya 38 (Foto Selfie) Juara


Foto ini menjadi Juara 2 Lomba Foto Selfie dalam ajang Gebyar Museum oleh Brahamus DIY 2014, dan mendapatkan plakat, sertifikat dan uang sesuai gambar di bawah ini :

Karya 37 (Puisi) Ditampilkan


Rabu Malam
karya : Faiz Deja

Rabu malam yang ku nanti
Hiburan ringan di organisasi
Ditengah banyaknya laporan
Namun keluarga EM ialah hiburan

Haha hihiitu selalu hadir
Di line obrolan penuh bully
kerap sekali terjadi

Saat Ganjar ngeles bakal jadi calon menteri
Padahal Afil udah cinta mati
Omi saja sudah ngurus konsumsi
Ketik Fitri bayar sana-sini
Tapi Pilar cuma kirim stiker gosok gigi

Kangen-rindu Azka-Iwan juga dinanti
Dan Ana selalu memberi informasi
Dengan Ratna yang menyebarkan informasi
Tiwi, Aldo kok jarang muncul sih ?
Padahal Faiz masih bertahan disini...

Di EM sudah semakin heppiii
Ada Viktor, Tio, Tiar, Satrio, Rizal dan Andini
Semoga Mas Fuad langgeng sama mbak-mbak ekonomi
Juga doakan kami.....

supaya
Senyum EM bisa selalu di hati dan dinanti :)

[Puisi ini Dibacakan ketika Upgrading Kementerian Kewirausahaan BEM KM UGM 2014]

Jumat, 23 Januari 2015

Karya 36 Dibukukan (Cerpen)


Budaya Pengabdian Sang Abdi Keraton

 Karya : Faiz Deja Ramadhan

Nalika srengenge wus muncul, Bathara Surya anggawa sinar swarga, agawe teranging jagad.
(Ketika matahari terbit, Tuhan memancarkan sinar surga membuat terang dunia).

"Le, bangun le. Sudah pagi ! Jangan mau kalah sama ayam jago. Ayo mandi, sarapan, terus berangkat sekolah." Kakek Rizky membangunkannya.

Matahari sebenarnya belum penuh betul menerpa Bumi, sudah kebiasaan bagi keluarganya untuk bangun  pagi, sholat subuh sebagai awal kegiatan hari ini. Di dapur yang kecil, Ibu Rizky nampak mengepulkan asapnya, memasak untuk sarapan keluarga. Rizky kecil menyandang handuknya siap untuk mandi. Membasuh dengan air hangat yang sudah disiapkan kakeknya tadi sebelum membangunkannya. Bapaknya nampak sibuk menyiapkan peralatan kerja untuk hari ini. Keluarga kecil yang penuh keharmonisan.

Pagi belum juga menunjukkan pukul enam, Rizky sudah dibonceng kakeknya yang berseragam merah putih. Duduk di belakang dengan tempat duduk rotan kecil yang diikat pada dudukan sepeda ontel. Menyusuri jalan kota Jogja yang padat dengan kendaraan, sesekali berpapasan dengan tukang sayur dengan keranjang penuh sayuran yang hendak dijualnya ke pasar. Semangat benar mereka. Kakeknya, Cermo Wicoro mengayuh sepeda dengan pelan namun pasti. Memakai baju kebesaran seorang abdi, dengan bangga melintasi ramainya kota di pagi hari. Tak lama mereka sampai di TK Pamardisiwi.
"Belajar yang benar ya le, jangan main terus !  Nanti siang biar dijemput pakdemu kalo mau menyusul kakek di Keraton." Kata Kakek Rizky.
"Iya kek.” Jawab Rizky.
 Setelah mencium tangan kakeknya, Rizky berbaur dengan kawan yang lain, siap menerima ilmu, menghapal angka, huruf, dan warna yang kelak disusunnya menjadi kata, kalimat, bahkan paragraf untuk merubah Indonesia jika sudah besar nanti. Dia, Rizky Kuncoro Manik, usianya yang masih 5 tahun tak pernah mematahkan semangatnya untuk belajar. Bahkan dibalik senyumnya yang masih polos itu.

Kayuhan sepeda kakeknya semakin kencang untuk mengejar waktu. Dia bergegas ke kantornya, di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu kerajaan yang masih aktif di Nusantara. Warisan budaya yang tak ada duanya setelah perdebatan panjang menggoyahkan posisinya dalam ketetapan Undang-Undang Keistimewaan. Sekarang para abdi dan warga Jogja dapat tersenyum lega, provinsinya sudah menjadi istimewa kembali, dengan Keraton dan kebudayaan yang ada di dalamnya. Semua itu tidak lepas dari perjuangan bersama, termasuk Cermo Wicoro, Kakek Rizky yang sudah berusia 76 tahun itu.

Setelah sampai di regol keraton, dia langsung memarkirkan sepedanya berjajar dengan kendaraan milik abdi dalem yang lain. Ia langsung memulai aktivitas di kerajaan. Tergantung dengan pos masing-masing. Beberapa abdi nampak sibuk memasang sesaji, menyiapkan kemenyan, ada pula yang membersihkan kandang kuda, atau membersihkan halaman keraton hingga sudut-sudut ruangan. Sedangkan Kakek Cermo membersihkan area pedalangan, termasuk tempat yang digunakan untuk berlatih tari setiap minggunya.

Setelah tugas utamanya dikerjakan, para abdi juga menjadi seorang pemandu bagi wisatawan yang datang ke keraton, memberikan keterangan tentang sejarah, tentang budaya, segala hal seisi keraton. Dibalik sosok mereka yang hanya seperti pembantu atau cleaning service, sejatinya abdi dalem adalah pahlawan kebudayaan, saksi serta pelestari budaya Jawa yang masih hidup. Termasuk Kakek Cermo Wicoro, yang sebenarnya tak ternilai pengabdian beliau.
Siang semakin terik,  arus wisatawan tak pernah terbendung. Termasuk aku yang harus berbagi tempat dengan wisatawan lain di halaman keraton yang sejuk. Bangunan tua bersejarah dengan ornamen  Jawa kental. Sedikit terpengaruh arsitektur  Belanda, namun  masih terasa Jawa. Bapak-bapak mengenakan baju biru,  lengkap dengan blangkon  Jogja dan kain. Saling berbincang dengan bahasa Jawa yang tak aku mengerti, sebagian menjelaskan kepada wisatawan lain dengan bahasa Inggris yang lancar. Hebat, dibalik perannya yang hanya sekedar abdi dalem.
Pukul sepuluh, Rizky pulang dari pendidikannya di Taman Kanak-kanak. Tak seperti teman yang lainnya. Pulang sekolah, Ia langsung menemui kakeknya di area keraton Yogyakarta. Dengan diantar pamannya dengan penuh antusias dia mengikuti jejak kakeknya. Panas terik  siang itu tak menyurutkan tekatnya, dengan baju adat Jawa lengkap kini dia bertugas sebagai abdi dalem keraton sesungguhnya. Seorang abdi cilik, penerus dan pelestari budaya Jawa.

Aku melihatnya, di balik kerumunan wisatawan yang hendak berfoto dengannya. Tak terlihat lelah di raut wajahnya meski usianya masih sekecil itu. Tak jarang dia mendapatkan snack dari pengunjung, atau teman kakeknya sesama abdi dalem. Namun bukan itu yang dicari. Dia seperti sudah tau arti sebuah pengabdian. Ketulusan berkorban demi kerajaan tercinta. Mungkin dia tak pernah berpikir untuk bermain seperti teman sebayanya yang sibuk dengan gadget atau jalan-jalan ke mall, dia justru turut berperan menjaga budaya Jawa.

Aku berkesempatan untuk menyapanya, disela-sela perbincangan dengan sesama abdi, aku memotong sebentar.
"Monggo-monggo, mau foto sama Rizky?" Tanya Kakeknya.
"Iya pak, sekalian mau ngobrol-ngobrol sebentar." Jawabku.
"Foto dulu, foto dulu, senyum le senyum, tangannya ngapu rancang, jangan liat ke mana-mana." Perintah kakeknya ketika aku dan Rizky hendak berfoto.
Dengan sigap Rizky memposisikan diri, senyum dan gerik tubuhnya membuat primadona baru. Dia pun nampak senang melihat-lihat hasil jepretan di kameraku, sembari berbincang asyik dengan kakeknya. Dia nampak tak mau banyak bicara, senyum lebih sering menggambarkan suasana hatinya yang ceria. Sementara aku dan kakeknya Rizky, Cermo Wicoro asyik berbincang.
"Rizky itu sudah dari umur satu setengah tahun ikut saya mengabdi disini, saya tidak  pernah mengajaknya. Tapi dia sendiri yang meminta untuk ikut kakeknya di keraton, lama-kelamaan ya seneng tapi dia tetep sekolah dulu, baru sepulang sekolah kesini." Jelas kakeknya menceritakan kebiasaan Rizky.
"Lalu Rizky sendiri kegiatannya di sini apa pak?"
"Ya cuma menemani saya dulu,  sambil belajar, wong dia juga belum bisa apa-apa. Kan yang penting menanam rasa memiliki dulu sambil belajar kebudayaan Jawa."
"Kalau Bapak?"
"Ya kalau saya banyak kerjaannya, kebetulan pengagengnya adalah GBPH Yudoningrat. Tugasnya ya di pedalangan. Kalau saya sudah lama jadi abdi dalem."
"Awal mula mengabdi seperti apa pak? Apa karena tertarik seperti Rizky? "
"Iya, saya tertarik dengan pekerjaan bapak saya dulu. Tapi usianya tidak sekecil Rizky. Awalnya cuma bantuin cari rumput untuk kuda keraton saja, malah keterusan sampai sekarang mengabdinya."
"Ada pekerjaan lain bapak selain mengabdi ?"
" Cuma cari rongsokan aja, barang-barang bekas buat dijual ke pengepul."
Perbincangan terus saja berlanjut, terkadang terpotong karena Rizky dan kakenya harus melayani wisatawan lain, atau aku jadi tukang foto dadakan bagi mereka yang ingin berfoto bersama Rizky. Rizky masih saja nampak serius dengan kameraku.
"Ini gambar bapak ada di sini." Seru rizky yang memanggil kakeknya dengan sebutan bapak, sambil menunjukan sebuah foto di kamera ke kakeknya yang duduk di sebelahku. Dia pun kembali melihat-lihat, diulang dari awal serasa tak pernah puas melihat gambar dirinya. Lalu aku melanjtkan perbincangan kembali.
"Senang bapak jadi abdi dalem?"
"Senang, tapi kesenangan  seorang abdi itu bukan dinilai dari materi atau duniawi agar menjadi keluarga keraton atau apapun. Tapi menjadi abdi adalah kepuasan batin,  ketulusan, dan pengabdian penuh dengan cinta kasih. Bisa dibayangkan Dik, seorang abdi itu cuma mendapat gaji 2000 rupiah setiap bulan, atau bahkan 2000 setiap ada acara kirab. Setahun saja cuma 3 kali kirab."
"Berarti ada abdi yang cuma mendapat bayaran 6000 rupiah saja per tahun?"
"Banyak, tapi kami kan tidak mencari itu. Bahkan gaji dari keraton tidak pernah kami pergunakan untuk memenuhi hidup. Melainkan disimpan sebagai tanda jasa atau timbal balik dari keraton. Bisa juga sebagai pelangenan. Bukan  jimat loh, itu musryik. Hanya disimpan saja sebagai tanda jasa."
"Sampai segitunya pak?"
"Kami dapat melayani keraton saja sudah cukup senang, apalagi digaji. Meski cuma sedikit tapi itu sudah penghargaan bagi kami. Makanya saat keistimewaan Jogja terusik, kami juga sempat protes, bahkan membentuk barisan mempertahankan  keistimewaan.  Mereka itu tau apa tentang Jogja, mau seenaknya merubah-rubah tatanan."
Obrolan berlangsung cukup seru dan panjang, tak ingat waktu berbincang dengan pahlawan budaya ini. Hingga jam di tangan menunjukkan pukul 12.30. Inilah saatnya keraton di tutup untuk umum, dan para abdi harus pulang, begitu juga dengan Rizky. Banyak hal yang aku dapat dari kunjungan ini. Dibalik sosoknya yang terkadang renta, dengan bangga mereka berjalan mengenakan baju kebesaran, baju adat Jawa.  Berjalan penuh makna dan penghormatan terhadap raja dan keluarganya. Melayani dan melestarikan salah satu kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, demi menjaga kehidupan Indonesia yang tetap berbudaya dengan semboyan ke-bhinekaannya. Sejatinya kita dapat belajar tentang pengabdian para abdi dalem. Ketulusan tanpa mengharap imbalan besar. Bukan ingin diberi imbalan layaknya mereka yang haus akan kekuasaan dan materi.

Panasnya  Jogja, terasa redup di bawah pimpinan keraton, dengan abdi dalem yang senantiasa mengabdi, menjaga Negeri Ngayojokarta Hadiningrat. Dengan sepedanya kakek Cermo berpacu dengan waktu, mengejar  waktu  agar dia dapat mencari rongsok untuk menyambung hidup, membuat dapur tetap mengepul,  agar dapat mengabdi sampai kekuatannya tak penuh lagi. Rizky yang nampak lelah  bersandar di kursi boncengan rotan kecilnya. Menikmati alunan sepeda yang berjalan pelan di bawah terik matahari, dan deru kendaraan kota.

Wong urip iku, mung pengabdian, ngabdi marang sing kuasa, ngabdi marang raja, lan negara. Ra usah mikirke  bati, anangin mikirke kesejahteraaning kabeh.
(Hidup itu cuma pengabdian, mengabdi pada Tuhan, pemimpin, dan negara. Tidak usah memikirkan untung, tetapi memikirkan kesejahteraan bersama).

Kebudayaan memang harus dilestarikan namun aktor pelestari kebudayaan seperti para pengabdi keraton Yogyakarta yang selalu ikhlas mengabdi juga merupakan kebudayaan yang tak boleh punah dan bahkan harus selalu kita teladani. Budaya mengabdi dengan tulus serta setia kepada negara menjadi hal yang paling penting untuk patut kita contoh dari seorang abdi dalem, agar Indonesia tetap berbudaya dan agar kita tetap memiliki Wonderful Indonesian Culture

NB: Pengageng=pimpinan; pelangenan=benda kesayangan; regol= pintu gerbang.
Rizky Kuncoro Manik dan Kakeknya, Cermo Kuncoro (di belakang)

Cerita ini adalah salah satu kontributor pada event "Wonderful Indonesian Culture" oleh Sastra SMAN 3 Bantul, DIY.

Karya 35 (Surat untuk Presma) Juara 1

Yogyakarta, 1 Oktober 2014

Yth.
Presiden Mahasiswa / Ketua BEM KM 2014
Universitas Gadjah Mada
di Tempat

Dengan Hormat,
            Teriring salam dan rasa hormat saya kepada Saudara dan semoga Saudara  senantiasa dalam lindungan dan hidayah Tuhan YME.
            Melalui surat ini, saya sebagai salah satu mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan saya kebetulan juga merupakan anggota kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada atau BEM KM UGM yang aktif pada dua setengah tahun atau dua periode kabinet terakhir, ingin menyampaikan beberapa saran baik dari saya pribadi maupun aspirasi-aspirasi yang saya terima dari beberapa teman di kalangan civitas akademika UGM. Sebelumnya saya ingin mengapresiasi kesanggupan Saudara terlebih dahulu setelah menjalankan masa kepemimpinan sebagai Presiden Mahasiswa atau Ketua BEM KM UGM hingga setengah tahun ini. Saya tahu betapa banyak usaha yang telah Saudara lakukan dan kendala yang menghadang selama ini, ketika Saudara memimpin. Sangat sulit untuk menjadi seorang pemimpin yang berpredikat sebagai presiden dalam memimpin seluruh mahasiswa di universitas terbesar dan nomor satu di Indonesia seperti UGM. Sebab saya mengetahui bahwa amanah sebagai Presiden Mahasiswamerupakan amanah yang meskipun berlatarbelakang politis akan tetapi kerja keras Saudara harus selalu menunjukan hasil nyata untuk seluruh mahasiswa tanpa pandang buluh.
            Saya ingin menyampaikan beberapa hal yang sebaiknya Saudara lakukan pada bulan-bulan terakhir masa kepemimpinan kabinet Saudara tahun ini. Agaknya hal-hal tersebut penting untuk Saudara perhatikan dan lakukan agar tampuk kepemimpinan BEM KM UGM setiap periode kabinetnya tetap menjalankan konsistensi sikap dan kebermanfaatan bagi seluruh mahasiswaUGM.Pada saat-saat terakhir periode kabinet Saudara sebaiknya melakukan transisi kepengurusan dengan cara membuat target-target yang dapat dicapai di akhir tahun sedangkan target yang tidak dapat tercapai pada periode kabinet Saudara, dapat menjadi draft target untuk kabinet selanjutnya. Sebab yang saya lihat antar periode kabinetnya, BEM KM UGM yang meskipun melanjutkan program kerja dari periode satu ke periode berikutnya, akan tetapi program kerja tersebut berubah dengan konsep-konsep yang berbeda sehingga tujuan dan pencapaian BEM KM UGM dari tahun ke tahun menjadi berbeda pula. Pencapaian yang berbeda itu tak terlepas dari kondisi politik pada kabinet BEM KM UGM yang berubah dari tahun ke tahun. Dimana kandidat yang memenangkan Pemilihan Raya mahasiswa UGM seakan seperti halnya politisi di Indonesia yang akan menempatkan orang-orang kepercayaan yang berasal dari partai yang mendukung kandidat tersebut di pemilihan, serta menjauhkan orang-orang yang berasal dari partai rival ketika pemilihan walaupun mereka memiliki kemampuan. Seharusnya budaya politik yang seperti itu dihilangkan karena demokrasi di kalangan mahasiswa sebaiknya memberikan contoh dengan budaya kepemimpinan dan politik yang mengayomi semua.
            Selain itu yang saya lihat adalah kurangnya peran BEM KM UGM khususnya Presiden Mahasiswa sebagai organisasi dan pemimpin sentral yang memimpin seluruh keluarga mahasiswa UGM dalam menyatukan tali silaturahmi seluruh organisasi mahasiswa di UGM. Persatuan tersebut telah terlihat pada Forum Komunikasi atau Forkom UKM yang mewadahi aspirasi seluruh UKM di UGM dan bersama BEM KM UGM selalu menjalankan koordinasi. Komunikasi yang terjalin juga sudah cukup baik antar ketua BEM, LEM, LM atau Dewan Mahasiswa di setiap fakultas dengan Presiden Mahasiswa. Koordinasi tersebut akan sangat berguna pada beberapa event besar seperti ketika acara Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB) UGM yang diadakan di universitas dan masing-masing fakultas setiap tahun disertai dengan pengisi acara yaitu seluruh UKM yang ada. Tak hanya koordinasi dengan UKM dan ketua organisasi setiap fakultas, saya juga mengharapkan bahwa ada komunikasi yang dilakukan Presiden Mahasiswa dan BEM KM UGM sebagai organisasi sentral dalam menjalin silaturahmi dengan seluruh himpunan mahasiswa atau keluarga mahasiswa baik di tingkat jurusan atau program studi di seluruh fakultas. Memang komunikasi seperti ini terbilang sulit karena UGM terdiri dari ratusan jurusan dan prodi, namun bukan tidak mungkin apabila Presiden Mahasiswa melakukan komunikasi di awal, tengah dan akhir tahun masa kepemimpinannnya dengan mengundang seluruh ketua himpunan mahasiswa atau keluarga mahasiswa. Sebagai organisasi sentral sebaiknya BEM KM UGM ketika membuat acara besar juga melibatkan perwakilan UKM, organisasi fakultas dan bahkan himpunan jurusan yang berhubungan dengan acara tersebut untuk bekerja sama. Contohnya bila diadakan sebuah seminar tentang bencana alam sebaiknya melibatkan beberapa himpunan yang berada di jurusan dan prodi kebumian serta UKM pecinta alam yang ada di UGM. Dengan begitu peran BEM KM UGM akan semakin terlihat dengan program kerja yang jelas mempersatukan kebersamaan seluruh keluarga mahasiswa UGM dari berbagai organisasi.
            Dan yang terpenting adalah perlunya banyak publikasi BEM KM UGM terutama Presiden Mahasiswa tentang perannya sebagai penyambung lidah antara mahasiswa dengan pihak pimpinan universitas atau rektorat. Sebab yang saya ketahui sekarang bahwa masih banyak mahasiswa yang belum memahami tugas, perandan fungsi Presiden Mahasiswa, BEM KM UGM dan Senat KM UGM sebagai organisasi internal kampus, yang notabene merupakan organisasi penyampai aspirasi mahasiswa kepada rektorat.

Demikian surat yang saya sampaikan semoga beberapa saran tersebut dapat membantu transisi kepemimpinan Saudara sehingga Saudara dapat menyelesaikan masa kepemimpinan dengan baik dan dilanjutkan dengan kepemimpinan berikutnya yang lebih baik. Terimakasih.

Hormat Saya,




            Faiz Deja Ramadhan
12/331197/PA/14494

Prodi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA UGM

Surat ini menjadi juara 1 pada lomba menulis surat untuk Presiden Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Senat KM UGM tahun 2014 dan surat tersebut akan dibacakan pada KOngres KM UGM tahun 2015.
Penyerahan Hadiah Oleh Ketua Senat KM UGM 2014