SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 11 November 2015

Karya 45 - 46 - 47 - 48 (Puisi) Dibukukan

Puisi Puasa
Puisi Religi_Puasa_Ya, Aku Ramadhan_ Faiz Deja Ramadhan

Ya, Aku Ramadhan

Ramadhan begitu banyak, aku kira itu latah.
mereka memanggilku Rama,
bukankah itu ada di Barathayuda, aku saja Islam.
Adakah makna?
Aku tak mau memiliki nama yang mereka miliki, banyak.
Aku muda dan aku lugu,
ya aku Ramadhan,
Sekumpulan nama dari nama baik,
dari bulan paling baik dari yang baik,
baru aku tahu setelah usia bertambah tahun,
Oh Ramadhan sekumpulan kejadian suci,
dari enggan menjadi bangga,
setidaknya aku berusaha punya Lailatul Qodar,
dijauhkan dari nafsu, atau
memiliki banyak pahala dan anugerah.
Ya, Aku Ramadhan.
Sebuah nama yang penuh makna.

Puisi Religi_Puasa_ Hei Kawan Ini Ramadhan_ Faiz Deja Ramadhan

Hei Kawan Ini Ramadhan

: Hei kawan, ini Ramadhan
bulan berkah yang Tuhan turunkan,
bulan pahala dengan iman yang diuji.

: Hei kawan, ini Ramadhan
bukan kalian mencari berkah dengan menjual sayur mahal,
atau bahan pokok yang melambung tinggi.

: Hei kawan, ini Ramadhan
Ramadan bukan karena uang,
Ramadhan itu karena Tuhan.

: Hei kawan,
kami kalian cekik rupiah kala Ramadhan tiba,
aang menggantikan Tuhan menjadi Tuhan dari Tuhan di bulan Ramadhan,
pesta suci menjadi sekumpulan duka saat harga melambung di Ramadhan,
Ramadhan hanya untuk mereka yang beruang, bukan bagi jiwa suci kami.

: Hei kawan sekumpulan tengkulak dan pengepul,
Kembalikan Ramadhan kami yang berkah, berkah karena Tuhan,
bukan berkah karena tamak.

: Hei kawan sekumpulan tuan-tuan pasar,
biarkan kami bahagia menyambut Ramadhan,
bukan bersedih karena harga beras naik.

: Hei kawan semua kawan,
Kami bicara padamu, tentang Ramadhan dan mereka cukong pasar.


Puisi Syahadat
Puisi Religi_Syahadat_ SYAHADAT_ Faiz Deja Ramadhan

SYAHADAT

Ashadualla  ilahailallah
Anugerah berbalut kata,
Doa, dalam hembusan ruh yang ditiupkan,
Dalam raga umatnya.

Ashadualla  ilahailallah
Kata penutup,
Doa, saat ruh dilenyapkan dari raga,
Hilang berbaur dalam kubur.

Ashadualla  ilahailallah,
Syahadat adalah pembuka,
Syahadat adalah penutup,
Hidup.

Puisi Zakat: Puisi Berzakat ( Ada di Buku Raditeens Publisher ;) ) Baca dan Beli Ya !

4 Puisi ini dibukukan dalam Kumpulan Puisi Religi bertema Rukun Islam oleh Raditeens Publisher :

Karya 44 (Foto) Juara Contest Kitkat Breakaway


Foto ini diambil di atas Bukit Candi Abang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi pemenang mingguan kontes lomba foto Kitkat Breakaway yang mendapatkan hadiah 1 buah Handphone LG Nexus 5 seharga sekitar Rp 3.500.000,-. pada bulan Februari tahun 2015. 


Karya 43 (Dibukukan) (Penulis Terbaik)

Rupiah dan Mimpi
oleh: Faiz Deja Ramadhan

Angin terasa  dingin, rembulan tak terlihat bertengger meski gelap belum juga hilang. Matahari seperti masih lama untuk menampakkan dirinya. Emak terlihat sibuk di dapur, ditemani Tia yang sedang mengiris-iris bumbu. Laki-laki yang lainnya nampak sibuk mempersiapkan alat berkebun. Aku pun masih saja mengusap mataku tanda mengantuk. 
"Dik, ayo bangun!  Mandi dan bersiap-siaplah ke sekolah.” Emak berseru memanggilku.
Jam empat pagi, rutinitas di mulai. Aku dan anak-anak lainnya pergi ke sungai untuk membasuh badan ini. Dengan senter di helm kepala dan senter-senter kecil yang tak terlalu terang, kami menelusuri goloran, semak-semak kebun sawit yang rimbun. Tanah becek sisa hujan semalam, beruntung sungai tak meluap, meski cokelat warnanya. Kami sudah terbiasa, bahkan gatal sudah tak terasa. Dingin terasa menusuk-nusuk, namun celoteh kami kadang membuat suasana menjadi hangat. Ada kerinduan akan air bersih yang lebih sehat. Satu-satunya air bersih di daerah tempat tinggalku ini hanyalah air hujan yang biasa ditampung dengan ember dan digunakan untuk memasak. 
Pukul lima, semua penghuni barak sudah pergi ke kebun, merawat tanaman sawit atau
memanennya. Menyisakan anak-anak kecil yang dirawat di TPA dan kami yang setia menunggu truk jemputan datang mengangkut kami ke sekolah, tentunya setelah truk itu mengantar karyawan ke kebun. Tapi pagi ini sepertinya kami harus menunggu lebih lama, pukul enam lebih truk jemputan tak kunjung datang. Hingga salah satu karyawan kebun yang bertugas di tempat kami menunggu truk jemputan sekolah pun berkata:
"Kalian jalan dulu saja ke sekolah, truknya terjebak lumpur di Echo 5." Jelasnya.  
Lalu kami pun harus berjalan kaki,  rutinitas yang sebenarnya sudah biasa kami
lakukan. Sekolah berjarak hampir delapan kilometer, tiga jam jalan kaki itu kalau normal. Kalau habis hujan, tentu ada parit yang meluap dan juga jalan akan berlumpur, maka waktu berjalan bakal lebih lama. Paling sampai sekolah sudah sangat telat dan ketinggalan pelajaran. Itu hal biasa bagi kami. Tak ada yang pandai di sekolah. Paling juga kalau lulus hanya menjadi buruh di kebun sawit, atau kalau ijazahnya tinggi hanya sebagai kerani.  .
"Hampir tiap hari kita jalan kaki, apa harus kita tinggal di sekolah saja biar tidak pernah ketinggalan pelajaran?" Tanyaku pada teman-teman.
"Hahaha, lucu kamu Dik, dikira sekolah itu penginapan." Kata salah satu temanku.
Kadang bercanda di jalan menjadi penghibur agar tidak lelah, namun sebenarnya masih ada kerisauan, bagaimana nanti pulang sekolah.
Tiga jam lebih berjalan, dan sampailah di dalam kelas. Kaki terlihat seperti badak yang bermain dalam kubangan, keringat bercucuran, beruntung tidak turun hujan. Kelas masih saja sepi, ternyata semua siswa tidak mendapatkan truk jemputan. Hanya beberapa siswa terlihat membersihkan diri di samping bangku mereka, Bu Ani pun masih sibuk menidurkan anaknya, agar tak mengganggu pelajaran. Terkadang perjuangan yang berat tak sebanding dengan ilmu yang kami dapat, hari ini saja langsung dimulai dengan pelajaran berenang. Pengambilan nilai, satu per satu siswa berenang di kolam renang panjang dan keruh, Sungai. Tentu saja kami tak dapat berenang dengan mulus, was-was jika banjir tiba. Kami juga tak begitu serius menghafal rumus-rumus atau pelajaran sejarah. Terkadang guru di kelas juga lupa akan rumus-rumus itu. Mereka bahkan tak lebih pintar dari kami, beda dengan guru-guru di Pulau Jawa. Meski aku tak pernah diajar di sana tapi bapak dan ibuku selalu menceritakan guru-guru mereka yang baik-baik berbeda jauh dengan guru-guruku di sini. Pelajaran hari ini berakhir pukul satu, kami pulang dengan truk yang sama dengan buruh-buruh berkeringat dari kebun, beberapa diantaranya adalah keluargaku. 
Sepulang dari sekolah dan ladang, rutinitas biasanya kalau tidak memancing paling juga mencari sayur di kebun. Musim hujan membuat tukang sayur jarang ke tempat kami. Memetik cabai, atau terung di sela-sela tanaman sawit yang ditutup-tutupi agar tidak ketahuan mandor. Kami bahkan jarang belajar. Buku-buku saja kami tidak punya, hanya catatan saja. Tapi sesekali kami belajar bersama, sekedar mengerjakan tugas selepas mencari sayur. Sampai di rumah, aku rasanya lelah sekali dengan kejadian hari ini hingga berkata:
"Mak, kenapa sih aku harus sekolah susah-susah, capek, dan tidak pintar-pintar juga?"
"Terus maumu apa Dik? Berhenti sekolah seperti emak dan bapakmu ini? Hanya menjadi buruh di kebun?" Jawab emak yang terlihat heran dengan pertanyaanku.
"Kan aku sekolah hanya mau cari duit kan Mak? Kenapa tidak kerja di kebun saja dari sekarang?" Jawabku lagi menentang.
"Hidup ini tidak hanya disini Dik, besok kalau kita kembali ke Jawa kamu mau jadi apa? Sekolah dasar saja tidak lulus." Ibu seperti berusaha meyakinkan.
"Apa bisa bersaing, pendidikan disini seperti apa Mak? Tidak pintar-pintar, bahkan gurunya saja mungkin tidak pintar."
"Kamu takut bersaing? Apalagi kalau kamu tidak sekolah, kamu mau mulai bersaing saja pasti tidak bisa Dik." Kata-kata Ibu terakhir sebelum aktivitasnya dilanjutkan untuk sholat.
Terkadang aku berpikir, aku dan teman-temanku, bahkan keluargaku harus susah
payah hidup di barak tengah hutan tanpa penerangan listrik yang memadai, dengan makan seadanya dan fasilitas minim. Sekolah bagi kami hanya sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah, cukup di situ saja. Kalau disuruh bersaing tentu susah. Perjuangan kami berjalan atau bahkan berdesak-desakan dengan buruh di dalam bak truk tak pernah terbayar impas dengan ilmu dan masa depan yang baik. Banyak orang-orang di kampungku yang tak terubah nasibnya sekalipun dia pintar dan bersekolah. Nasibnya hanya akan sama saja dengan mereka-mereka yang mengalami putus sekolah. Ini menjadi pembelajaranku. Aku punya banyak mimpi, begitu juga keluarga dan teman-temanku yang memiliki cita-cita. Tapi entah cita-cita itu akan seperti apa, kalau banyak orang yang melihat film seperti laskar pelangi, bahkan kami lebih parah dan belum memiliki ‘happy ending’. 
Aku tak lagi memandang masa depan itu luas, tak pernah lagi aku berangkat sekolah. Sekalipun emak dan bapak membujukku lagi dan lagi. Sekumpulan uang membuatku agak tergiur, meski usiaku masih dua belas tahun, ini bukan suatu paksaan bagiku untuk bekerja, bahkan mandor harus memalsukan dataku agar tidak dilaporkan ke atasan karena memperkerjakan anak di bawah umur.
Sekarang tinggal, adikku Tia yang masih bersekolah, dia sepertinya tak pernah mengeluh akan pendidikannya, tidak seperti dua saudaranya yang putus sekolah dan memilih menjadi buruh kebun. Setidaknya Tia tak ingin mengecewakan orang tua kami yang telah mengeluarkan Rupiah hasil pengkristalan keringat mereka, meski hasil dari sekolahnya masih angan-angan.
Tia dan teman-temannya, masih harus berjuang hanya untuk sebagian ilmu yang jauh dari harapan, terkadang aku juga termenung sendiri di tengah pekerjaan yang belum usai, sembari meneguk  air minum dari botol, mungkin lelah, atau aku merasa menyesal akan keputusanku.
Entahlah. Tapi inilah jalan yang sudah aku ambil, buah simalakama, sekolah serasa menyiksa dengan perjuangan tiada akhir bagiku dan hasil entah seperti apa nantinya. Mungkin aku yang terlalu bodoh untuk memahami itu. Namun sekolah juga selama ini tidak merubah nasib orang tuaku dan beberapa orang-orang di kampungku. Mereka hanya menamatkan sekolah lalu kembali lagi bekerja menjadi budak-budak dan buruh-buruh yang kelelahan di tengah terik panas matahari di tengah ladang sawit.
Bagi sebagian orang di daerahku bersekolah hanyalah untuk mengisi kegiatan masa depan akan pasti menjadi budak-budak kebun sawit. Namun aku juga berpikir bahwa bekerja juga seperti itu, lelahnya bukan main dan belum pantas bagiku mungkin, namun uang telah membuatku untuk memutuskan masa depanku. Paling tidak aku bertanggung jawab atas keputusanku. Aku tetap menjalani apa yang telah aku putuskan dan tidak akan pernah menyesal. Karena menbyesal hanyalah suatau hal yang sia-sia diutarakan dan dilakukan. Setidaknya ini adalah gambaran pendidikan Indonesia yang katanya sudah didesain dengan apik, kurikulum yang selalu berganti tiap menteri, pelajaran moral, kedisiplinan, kecanggihan teknologi dan informasi, modernisasi tingkah laku dengan bahasa asing tak pernah berpengaruh bagi kami yang masa depannya tergadaikan, para siswa yang bimbang untuk lanjut sekolah, atau berhenti dan menjadi buruh kebun.
Satu hal yang pasti, kami masih punya cita-cita, mimpi tentang pendidikan yang lebih baik, dan juga masa depan. Di dalam hatiku memang amsih tersirat perasaan untuk kembali bersekolah tapi apa day hal itu tidak akan mungkin aku lakukan. Namun aku masih berharap akhir cerita kami di sini menjadi indah seperti film-film motivasi.



Cerita Pendek ini menjadi salah satu dari 20 cerpen terbaik dan 100 cerpen terbaik karya putra-putri Indonesia dalam Short Story Writing Competition – Kenapa Sekolah dengan tema “Aku Ingin Sekolah”: