SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Rabu, 10 September 2014

Karya 23-24 Juara dan Dipublikasi

Karya 23 :
 “Sebuah Cerita” sebagai Juara 3 Lomba Cerpen Nasional Xpressi Jurnal dan Politeknik Negeri Jakarta

SEBUAH CERITA
tentang aku, kampungku, dan masa lalu
 Karya : Faiz Deja Ramadhan

Siang di awal kelas,
Entah hanya perasaanku atau memang cuaca terasa gerah. Pendingin ruangan sudah maksimal pada angka 16 derajat sedari tadi, tapi aku masih saja mengipas-ngipaskan buku tulisku untuk menghentikan keringat yang mencucur perlahan.  Jam masih saja lama menuju angka dua tanda bel pulang sekolah. Satu-persatu teman aku amati nampak serius mendengarkan presentasi yang sedang berlangsung di depan kelas. Baru sampai nomor urut ke enam, namun aku semakin gugup saja. Menengok ke arah Dilan, dengan santainya dia mendengarkan sambil sesekali membuka lembaran kertas pegangannya. Lita, gadis pintar itu nampak antusias mendengarkan, nampaknya dia sudah siap dengan flash disk di tangannya. Aku? Masih saja kebingungan, tulisan yang aku buat saja belum sepenuhnya hafal. Sedangkan isi power pointku juga hanya foto-foto pendukung ceritaku saja. Pelajaran Bahasa Indonesia di jam terakhir yang membuat perutku mual tak karuan. Aku malu akan ceritaku yang mungkin cuma sederhana. Dino mempresentasikan suasana liburan saat di Singapura dengan keluarganya. Rio, dengan bangganya memamerkan foto-foto saat dia berkunjung ke Raja Ampat. Begitu pula dengan Deni, Fatmi, dan Cahyo. Apalah arti liburan yang aku tulis ini? Terkadang sekolah di tempat elit membuat kebanggan tersendiri. Dianggap pintar atau beruntung oleh kebanyakan orang, namun tekanan batin selalu aku rasakan, ya seperti saat-saat seperti ini contohnya. Aku punya banyak teman di sekolah ini, tapi aku juga punya banyak malu di sini. Minder lebih tepatnya. Setelah ini giliran Ajeng, lalu aku harus menyampaikan cerita masa liburanku. Pasti ini tidak menarik sama sekali.
Sempurna, sekarang giliranku menyampaikan apa yang sudah aku alami dengan gambar-gambar yang mungkin akan membosankan bagi mereka. Aku mengawali ceritaku dari perjalanan kakiku yang terasa berat meninggalkan bangku menuju depan kelas. Wajahku mungkin jadi pucat, keringat masih saja membasahi.
“ Rian sudah siap?”
“ Sudah kok Bu.”
“ Kamu nampak pucat?”
“ Ah tidak apa-apa, sedikit kurang yakin aja dengan cerita Rian, Bu.”
“ Cobalah sampaikan!
Memulai percakapan dengan guru mata pelajaran setidaknya melatih agar lidah tak kaku saat aku mulai bercerita tadi. Ini liburanku, ini ceritaku, dan inilah aku. Memandang seisi kelas yang nampak masih antusias mendengarkan kisah liburan di tempat-tempat menarik. Aku menganggap semuanya patung. Aku hanya berbicara sendiri di ruang kelasku.
Di awal presentasi aku putar sebuah video gabungan dari hasil jepretanku, aku pampang gambar kerbau yang gemuk, ayam-ayam, sungai bahkan persawahan yang masih hijau. Ya sedikit membuat mereka keheranan, apa yang bakal aku sampaikan. Tetapi inilah cerita yang aku sampaikan.
Hai, aku ingin bercerita tentang hariku dalam dua minggu kemarin. Aku tak seberuntung kalian yang dapat menginjakkan kaki ke pulau-pulau indah di luar sana, atau berbelanja dan menikmati wisata di negara asing. Bagiku itu hanya mitos. Aku ingin bercerita tentang alam yang indah, alam yang penuh kenangan turut serta membesarkanku dan memberiku pelajaran akan rasa syukurku. Aku pernah mengalami semua itu. Aku tak pernah kemana-kemana, namun aku baru menyadari jika kampung halamanku adalah sejarah hidupku yang mungkin mengalahkan keelokan tempat-tempatyang kalian kunjungi. Aku juga terlalu sibuk seperti kalian, belajar, mengerjakan laporan, atau praktikum dan kegiatan ekskul lainnya, sehingga membuat aku melupakan lingkungan kampung halamanku. Aku baru menyadarinya kemarin saat Bu Ane menugaskan kita untuk membuat cerita singkat tentang liburan kita.
Kampungku, aku awali dengan perjalananku di pematang yang luas. Aku masih dapat melihat areal persawahan yang hijau dengan selang-seling warna muda dan tua, dengan jalur-jalur jalan setapak yang terbuat dari tanah. Aku bahkan dapat menangis merasakan ini. terakhir aku menginjakkan kaki di persawahan adalah saat masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Aku termenung menatap gardu kecil yang bentuknya masih sama, dengan parit kecil yang ternyata masih ada ikan kecil dengan ekor warna-warninya. Dulu aku dan teman-teman sebayaku menangkap ikan-ikan itu dengan anyaman bambu, orang Jawa bilang itu besek. Tempat nasi yang biasa dipake kalau lagi ada hajat. Lalu kami menaruhnya dalam ember kecil sebelum nanti dipindah ke dalam ember tanah liat, atau sering di sebut maron. Bukan Maroon Five. Kami tidak cukup uang untuk membeli ikan hias atau aquarium saat itu, namun kebersamaan itu terasa sangat mengharukan. Alam masih menjaga ikan kecil ini hingga aku masih bisa melihatnya kemarin saat harus membuat tulisan ini. hanya saja tak lagi ada kebun tebu di samping parit kecil. Aku tak bisa mengambil batang tebu dan mengunyahnya hingga sari pati gula itu habis aku hisap. Aku membayangkan kenangan itu dalam gardu kecil penuh kenangan. Suasana persawahan yang sepoi di kampungku. Memandang dengan lega hamparan kesejukan. Di balik hijaunya masih saja ada gerumbul tanaman yang tinggi, ditengah petak persawahan itu pohon kedondong menjulang tinggi. Biasanya kami juga mencuri kedondong di tempat itu. Pohonnya pun masih ada saat ini. perasaan membawaku terbang beberapa tahun yang lalu, sekarang tak ku lihat anak-anak kecil mondar-mandir di sawah. Mungkin orang tua melarang mereka dan menyuruhnya untuk belajar atau membiarkan anak-anak mereka sibuk dengan dunia maya. Aku juga tak sempat melihat upacara Gagakan, upacara petani jawa yang mempersembahkan makanan kepada Dewi Sri, pertanda terima kasih telah memberikan tanaman yang subur. Maklumlah sekarang belum saatnya panen. Berjalan di tengah pematang sawah membuat batin ini merasa lebih tenang meski panas terik menyorot kulit. Setidaknya aku belajar mengingat masa lalu, belajar bersyukur memiliki kenangan yang indah. Belum tentu remaja seusiaku dapat tinggal di kampung sepertiku dengan sejuta kenangan tentang persawahan.
Sedikit menghela nafas, jeda sejenak untuk menampilkan gambar kedua sebelum melanjutkan ceritaku. Seisi kelas nampaknya masih memperhatikan ceritaku.
“ Apa kalian bosan dengan ceritaku?”
“ Sama sekali tidak Rian, aku justru suka. Aku belum pernah merasakan persawahan secara nyata. Aku bahkan tidak pernah pergi ke kampung. Apakah kampung halamanmu nyaman?”
“ Nyaman, kalau kita dapat merasakan yang seharusnya.”
Nah, yang berikutnya ini adalah sungai yang biasa kami gunakan untuk bermain air. Mungkin kalian sedikit berpikir bahwa kami ini jorok. Tapi cerita yang seharusnya tidak seperti itu, dulunya sungai dalam foto itu berair sedang. Tidak jernih, tidak juga sekeruh itu. Alirannya lumayan deras. Tak ada sampah seperti yang di gambar. Kami banyak menghabiskan waktu di tempat itu, bermain kapal yang kami susun dari batang-batang pohon pisang. Atau memancing ikan dari atas jembatan gantung yang sekarang sudah tidak ada lagi. Katanya kena banjir sekitar tujuh tahun yang lalu. Banjir bandang yang lumayan besar hingga meluap hingga masjid dan sekolah di kampungku. Sejak saat ini sungai mulai berubah fungsi yang bentuknya seperti dalam gambar. Banjir membawa air luapan dari kota yang tak tertampung dan sampah yang hanyut di sungai, buangan dari orang-orang kota pula. Sungai jadi lebih kotor, orang kampungku malah jadi ikut-ikutan membuang sampah ke sungai pula karena melihat sungai mereka sudah kotor.
“ Kok sungai membawa sampah dan luapan air dari kota Rian?”
“ Ya, secara geografis kampung halamanku terletak di bagian selatan provinsi ini. secara tidak langsung hujan yang mengguyur terus-menerus di puncak akan turun ke kota dan membawa sampah-sampah yang menumpuk di sungai-sumgai dalam kota kemudian berakhir di sungai daerah selatan, termasuk sungai yang mengalir di kampung halamanku.”
Petani di kampungku sangat tertolong dengan adanya sungai ini untuk pengairan, namun tidak untuk anak-anak kecil saat ini.sungainya sudah tak sehat. Beda jauh dengan jamanku dulu. Ternyata perubahan jaman membawa pengaruh yang sangat besar. Tapi aku tak sekecewa itu. Aku masih dapat menyaksikan deretan pohon kepuh atau dalam bahasa ilmiahnya sterculia foetida yang masih berdiri sampai sekarang. Tidak begitu besar tapi jumlahnya masih sama seperti saat aku tanam dengan kakakku waktu itu. Mungkin dia kurang berkembang karena terhalang tanaman bambu atau yang lainnya. Setidaknya masih bisa bertahan sampai saat ini. semoga bisa sebagai penyangga daerah aliran sungai sehingga kampungku tak terancam bahaya erosi.
“ Inilah pohon yang aku maksud.
 Pohon itu dari biji yang masih kecil. Biji yang berkembang menjadi tanaman kecil di plastik putih yang aku korek dari tempat sampah jaman dulu. Plastik baru masih susah didapat, tak seperti sekarang ini. sungai sudah sedikit rusak bahkan tercemar, namun sungai mengingatkanku akan masa kecilku di kampung halaman yang penuh keceriaan. Belajar berenang di sungai, bermain kapal dengan batang pohon pisang, dan berkemah di samping sungai dengan api unggun kecil dan ubi bakar yang di dapat dari ladang. Sekarang aku hanya bisa tersenyum geli mengingatnya, bahkan aku terbahak-bahak di pinggir sungai saat mengambil gambar yang sekarang kalian lihat. Di sanalah aku dipukuli sama orang tuaku karena mandi di sungai sampai lupa pergi pramuka. Sedikit bangga juga, aku, kakaku dan teman-temanku sedikit berjasa melestarikan alam meski hanya menanam lima pohon saja. Suatu awal mungkin, yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana menyadarkan masyarakat kampung agar tidak membuang sampah ke sungai. Agar kampung halamanku menjadi bersih lagi, dengan sanitasi yang bersih pula.
“ Aku sadar ceritaku tak seindah Raja Ampat atau cerita kalian dari luar negeri, namun aku bangga memiliki kampung yang dapat aku bagi dengan kalian.”
Itu tadi adalah dua tempat yang tak bisa dipisahkan dari kampung halamanku. Ada sungai yang membelah kampungku menjadi dua dan persawahan yang masih menghijau dan sesekali terlihat burung kuntul atau bangau sawah yang mencari katak. Burung-burung pemakan padi juga masih banyak berterbangan disana, atau saat musim kepompong tiba. Kepompong akan menetas dan ratusan kupu-kupu menghiasi langit kampungku.
“ Lalu ada apa lagi?” Sahut Fatma yang duduk di pojok kelas.
Banyak, kalian dapat melihat dari urutan gambar di layar presentasiku.halaman yang tak luas itu sering digunakan untuk berlatih tarian tradisional, yaitu Kuda Kepang, Jathilan masyarakat kami menyebutnya. Dulu halaman itu luas. Aku sering menghabiskan waktu di tempat itu pula, sekedar bermain kelereng, lompat tali, congklak, dan permainan kampung lainnya. Bahkan saat purnama datang kami masih saja menghabiskan waktu di halaman, menikmati rembulan, bermain petak umpet, jejamuran dan sebagainya. Masa kecil kami begitu riang dengan nyanyian anak-anak, celoteh dan tawa riang, bahkan cerita horor yang sering kami bagi di saat malam purnama sampai kencing di celana karena menahan takut dari cerita itu. Sekarang aku tak melihatnya lagi, halaman yang sudah semakin sempit dan anak-anak lebih memilih bermain dengan televisi atau permainan yang lebih modern. Mungkin sekarang bukan jamannya permainan tradisional lagi. Bahkan aku hanya bisa melihatnya di museum dan angan-anganku saja tentang masa laluku di kampung tercintaku.
Mungkin kalian masih bingung dan membayangkan bagaimana wujud kampungku. Sebenarnya sering kampungku muncul di berbagai serial televisi. Meski hanya sebagai latar persawahan atau rumah-rumahnya yang masih tradisional, namun sekarang sudah banyak rumah yang di bongkar dan menjadi lebih modern. Budaya kota sudah mulai merasuki. Kalau kalian mau melihat, bisa datang ke kampung wisata di dekat kampung halamanku. Kalian bisa bermain  di sawah, memanen padi, membajak sawah dengan kerbau, atau memainkan permainan tradisional yang pernah aku mainkan dulu. Sambil belajar kalian dapat menghargai alam dan budaya yang mulai ditinggalkan. Aku berharap semoga kisahku tak akan hilang, semoga masih ada alam yang indah dan udara segar di kampung halamanku dan kampung-kampung yang lainnya, bahkan kampung kalian semua yang tak pernah ada sawah atau kerbau atau yang ada juga gedung.
Entah apa yang aku rasakan,
pengulangan sejarah tentang masa yang telah lalu,
meski sekarang sudah sedikit berubah, namun kampung halamanku,
memberi warna dalam hidupku, saksi pembelajaran tentang hidup,
aku masih dapat merasakan indahnya kampungku, aku beruntung,
dari mereka yang tak pernah melihat sawah,
dari mereka yang tak merasakan air sungai,
dari mereka yang bermain di petak-petak sempit gang perumahan,
mungkin kampung halamanku akan segera memudar,
tapi tak sepudar semangatku untuk membanggakan kampungku yang telah berjasa,
untukku.

Tepuk tangan riuh terdengar begitu semarak di dalam kelas, Bu Ane maju dan merangkulku. Teman-teman tersenyun tanda puas mendengar ceritaku.
Aku ingin cerita yang lebih panjang sebenarnya Rian, tapi nanti yang lain tidak dapat kesempatan untuk menceritakan liburannya.” Seru Bu Ane.
“Ah ibu bisa saja, Rian hanya cerita seadanya saja, yang Rian sendiri tak pernah menyadari kalau lingkungan tempat tinggal Rian begitu berubah. Rian tak pernah memperhatikan Bu.”
“Ya, dan kita bisa belajar dari Rian untuk tetap mencintai kampung halaman kita apapun keadaanya dan dimanapun kampung halaman itu berada, entah di pedesaan atau di kota. Iya kan Rian?”
Aku hanya tersenyum menyambut kesimpulan dari Bu Ane, aku melangkah kembali ke bangku dengan bangga, ternyata kampung halaman yang begitu kecil dengan kondisi seadanya dapat menarik perhatian seperti halnya cerita teman-temanku yang lain saat mereka menghabiskan banyak uang untuk membuat cerita mereka menjadi wah. Terimakasih kampung halamanku, terimakasih kawan, dan terima kasih masa laluku. (FDR)




Karya 24: 1.      Cerpen “Kacang Juga Akan Rindu Kulitnya” (Dipublikasi pada Maret 2014 dalam website karya.xpressijurnal.com) http://karya.xpressijurnal.com/2014/03/cerpen-kacang-juga-akan-rindu-kulitnya-2.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar