SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Kamis, 18 Agustus 2016

Karya 54 (Cerpen) Dibukukan

CERITA TENTANG RENO
Faiz Deja Ramadhan

Aku masih ingat cerita dari Reno, beberapa tahun lalu saat dia masih kecil waktu itu. Selepas SMP dengan mantap dia memasukkan berkas nilainya ke salah satu SMA favorit di kotanya. Tak memperdulikan uang atau rumahnya yang sudah hancur karena gempa Yogyakarta. Hingga siang dia masih sabar menunggu, dengan kekhawatiran yang terpancar di raut mukanya. Sesekali dia meneguk air dalam botolnya, sambil mencoba menenangkan diri. Namanya selalu turun dari posisi awal, semakin ada dalam posisi kurang aman. Reno mulai bingung antara mau lanjut atau mencabut berkasnya dan melempar ke sekolah lain yang standarnya lebih rendah. Nekad. Itulah kata yang sesuai dengan usahanya saat itu. Hingga pendaftaran  ditutup dia harus puas berada di posisi sepuluh terbawah. Hal yang paling gila menurutku, dia berada di sekolah dengan kerumunan orang yang lebih pintar darinya. Perjuangannya sudah tergambar. Antara drop out atau nilainya selalu pas-pasan.
 Perjalanan kelas satu memang seperti siswa yang tak dianggap. Beruntung nilainya masih bisa membawanya naik ke kelas dua meski penuh pertimbangan. Siang yang terik, Reno  hanya bermain dengan buku. Membuka-buka halaman hanya mencari gambar-gambar menarik di buku panduan. Kelas begitu sepi. Dari bangku terdepan Reno dapat melihat teman-teman seperti asyik mengobrol di lobi depan. Sedangkan dia lebih memilih di dalam kelas. Tak pernah menghabiskan waktu istirahat di halaman atau memperbincangkan hal yang  dianggap tidak penting. Teman-teman menganggapnya serius dan  dalam sosok yang pendiam. Lebih tepatnya tak mau kecolongan lagi, nilai ujiannya di kelas satu benar-benar hancur. Hampir semua mata pelajaran harus mengulang. Itu sebabnya dia mulai menata hari-harinya di kelas yang baru. Serius dan tekun belajar. Reno menyibukkan dirinya dengan buku di perpus atau dengan tugas-tugas yang selalu dikerjakan tepat waktu. Tak seperti teman yang lain. Reno mulai menancapkan taring saat menjadi salah satu kandidat lomba debat APBN tingkat regional DIY-Jateng. Mulai saat itu teman menganggapnya ada. Setiap ada tugas berduyun-duyun mereka ingin menjadi bagian dari kelompoknya. Dia cenderung pemilih, merangkul mereka yang bernilai rendah dan mudah di atur. Baginya, dapat mengajari mereka agar nilainya naik sepertinya adalah kewajiban. Dia tidak pernah melihat kesempurnaan itu dari nilai, meski nilai sangat penting untuk menentukan kelulusannya nanti. sosoknya lebih sering membagi tugas agar satu kelompok dapat mengerti tugas apa yang sedang mereka kerjakan, agar mereka dapat menjelaskan dengan benar saat presentasi nanti.
Keberadaannya mulai terkenal di kalangan siswa dan guru. Memiliki banyak teman dari tingkat bawah hingga kakak kelas. Itu tak lepas pula dari keaktifan dalam organisasi di sekolah. Kelas dua adalah transformasi hidup. Dari nol hingga menjadi siswa yang diperhitungkan di sekolah. Beberapa kali Reno menjadi bagian dari tim pembuat soal untuk ujian praktek kelas tiga. Padahal posisinya masih menjadi siswa. Banyak guru yang suka dengannya, meminta bantuan untuk tugas-tugasnya. Mungkin sebagian dari mereka sudah lupa akan jasanya. Tapi baginya, sudah pernah menjadi bagian hidup seseorang, dilupakan atau dikenang adalah keindahan tersendiri. Suatu bentuk pengabdian yang tulus dari hati, saat hati ini bicara lakukanlah dan jangan mengharap imbalan. Dari prinsip itulah dia jadi sering dimanfaatkan teman sekelasnya, bahkan lintas kelas. Seringkali waktu belajarnya tersita hanya untuk mengerjakan makalah teman atau tugas yang lain. Meski dia juga pelit contekan saat ujian. Ujian adalah pembuktian dari usaha kita, tak ada kompromi dan main perasaan lagi. Teman adalah lawan, tugas masih bisa dikompromikan tapi tidak dengan ujian. Hal itu juga yang dibawa hingga ujian nasional dilangsungkan. Yakin dengan kemampuannya. Mungkin beberapa orang menilainya arogan, tapi itu adalah prinsip. Keteguhan hati yang harus dipertahankan.
Masa kelulusan adalah hal yang tak bisa dilupakan, harus berpisah dengan teman seperjuangan. Tak lagi bisa berbagi ilmu atau membantu mereka mengerjakan tugasnya lagi, atau seharian di ruang guru untuk turut andil merancang soal ujian. Puas melihat nilai yang cukup baginya. Namun kelulusan baginya juga suatu kekhawatiran. Saat yang lain sibuk mempersiapkan diri untuk ke jenjang berikutnya, Reno justru tak ada gambaran. Dia tak mampu lagi melanjutkan mimpinya. Hari berikutnya disibukkan dengan pekerjaan yang menopang hidupnya. Ini mungkin jalan hidup yang harus ditempuh. Namun ia tak pernah berkecil hati, setiap hari dan waktu adalah pembelajaran untuk diri yang lebih baik lagi. Terbukti. Kepandaiannya masih dianggap oleh sebagian teman. Mereka masih sering meminta bantuan mengerjakan tugas ospek atau tugas kuliah mereka. Makalah, esay dan yang lainnya masih saja sering dihadapinya. Meski itu bukan lagi bidangnya, namun kebaikan dan keteguhan untuk tidak berhenti belajar terus mendorongnya belajar dan berbuat lebih. Tapi itu hanya di awal-awal saja. Semakin tahun berjalan sosoknya mulai terlupakan. Tak ada lagi Reno yang dulu. Dia hanya sibuk dengan pekerjaanya dan keluarga yang dia topang. Masih berusaha agar menjadi insan yang lebih baik lagi, meski dia tak pernah menyandang gelar. Saat teman-teman yang dulu ia bantu sudah mulai lulus kuliah, bahkan menjadi orang sukses, Reno  tetap dalam sosoknya yang sederhana, pendiam, dan disiplin. Aku sendiri merasakannya saat beberapa kali masih meminta bantuannya. Dengan senang hati dan tulus dia masih mau membantu siapa saja yang meminta bantuan padanya.
Reno, sosok kebaikannya tak pernah dapat dilupakan bagi mereka yang memang memiliki hati. Namun karakter orang Indonesia itu, susah untuk mengingat kebaikan orang lain. Sudah tercermin dari cerita rakyat yang melegenda. Kini sosoknya bertambah semakin dewasa, aku belum lama mengenalnya dari jejaring sosial yang kemudian menjadi sahabat akrab di dunia nyata. Masa kuliahku juga tak lepas dari sosoknya yang selalu membantuku dalam segala hal, termasuk tugas. Meski dia tak mengenyam pendidikan tinggi namun masih bisa diandalkan. Termasuk salah satu sahabat lamanya yang juga masih mengandalkannya. Eka, adik kelas yang selalu menitipkan tugas padanya. Dengan sabar Reno mengerjakan tugas-tugas itu. Sebagai kakak kelas dia lebih mengerti bagaimana tugasnya dikerjakan dengan benar. Selepas SMA, Eka juga masih menitipkan tugas kuliah kepadanya. Meski berbeda ilmu, namun tugas itu lancar dikerjakan dan membawa Eka meraih nilai tertinggi di semester awal, dengan IPK 4,0. Baginya itu adalah kebanggan, saat orang yang dia bantu dapat memperoleh hal yang diinginkan. Tak hanya itu saja, Reno juga mengajarkannya untuk lebih tegar dan mandiri hingga Eka menjadi sosok yang lebih mandiri. Jarang tugasnya diserahkan lagi ke kakak kelasnya itu. Apalagi saat mereka hilang komunikasi karena Reno harus ke Kalimantan. Jarak itu membuat Eka semakin harus bekerja keras. Kesibukannya kuliah membuat dia lebih mandiri lagi. Dalam dirinya masih ada sosok Reno  yang selalu menyemangatinya. Hampir dua tahun mereka berpisah. Sibuk dengan dunia masing-masing. Suatu hari yang tak direncanakan, pesan di Facebooknya penuh dengan ucapan terimakasih.
“Mas, tadi aku selesai mentoring. Kami istirahat sambil menceritakan masa-masa sekolah. Entah kenapa yang keluar dalam benakku adalah sosokmu. Kakakku yang selalu ceria dan dengan sabar membimbingku serta mengerjakan tugas-tugasku. Hatiku benar-benar terenyuh. Sudah lama rasanya kita tak bersua. Aku sudah hampir skripsi kemudian wisuda. Semua itu tak lepas dari doa dan bantuanmu, aku dapat menangis saat menceritakan sosokmu kepada teman-temanku. Kau lah orang pertama yang akan ku kabari, saat aku sudah lulus nanti. Bahkan lebih awal dari kedua orang tuaku. Karena kamulah salah satu sumber ilmu dan insipariku yang sabar hingga saat ini membantuku. Dari hatiku yang paling dalam, aku ingin sekali berterimakasih kepadamu.”

Reno  hanya sanggup meneteskan air mata saat membaca pesan itu. Dari sekian lama dia membantu orang, baru satu orang benar-benar manganggapnya ada. Jarak dan waktu mungkin menjadi penghalang, pikiran dapat dimanipulasi, namun saat hati berbicara itu adalah kejujuran yang tak ternilai. Terimakasih Reno, kaulah sahabat dan insipirasi.  

Cerpen ini dibukukan Penerbit Gemamedia Wonosobo dalam Tema "Sahabat Istimewa"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar