CERITA TENTANG RENO
Faiz Deja Ramadhan
Aku masih ingat cerita
dari Reno, beberapa tahun lalu saat dia masih kecil waktu itu. Selepas SMP
dengan mantap dia memasukkan berkas nilainya ke salah satu SMA favorit di
kotanya. Tak memperdulikan uang atau rumahnya yang sudah hancur karena gempa
Yogyakarta. Hingga siang dia masih sabar menunggu, dengan kekhawatiran yang
terpancar di raut mukanya. Sesekali dia meneguk air dalam botolnya, sambil mencoba
menenangkan diri. Namanya selalu turun dari posisi awal, semakin ada dalam
posisi kurang aman. Reno mulai bingung antara mau lanjut atau mencabut
berkasnya dan melempar ke sekolah lain yang standarnya lebih rendah. Nekad.
Itulah kata yang sesuai dengan usahanya saat itu. Hingga pendaftaran ditutup dia harus puas berada di posisi
sepuluh terbawah. Hal yang paling gila menurutku, dia berada di sekolah dengan
kerumunan orang yang lebih pintar darinya. Perjuangannya sudah tergambar.
Antara drop out atau nilainya selalu
pas-pasan.
Perjalanan kelas satu memang seperti siswa
yang tak dianggap. Beruntung nilainya masih bisa membawanya naik ke kelas dua
meski penuh pertimbangan. Siang yang terik, Reno hanya bermain dengan buku. Membuka-buka
halaman hanya mencari gambar-gambar menarik di buku panduan. Kelas begitu sepi.
Dari bangku terdepan Reno dapat melihat teman-teman seperti asyik mengobrol di
lobi depan. Sedangkan dia lebih memilih di dalam kelas. Tak pernah menghabiskan
waktu istirahat di halaman atau memperbincangkan hal yang dianggap tidak penting. Teman-teman menganggapnya
serius dan dalam sosok yang pendiam.
Lebih tepatnya tak mau kecolongan lagi, nilai ujiannya di kelas satu
benar-benar hancur. Hampir semua mata pelajaran harus mengulang. Itu sebabnya
dia mulai menata hari-harinya di kelas yang baru. Serius dan tekun belajar. Reno
menyibukkan dirinya dengan buku di perpus atau dengan tugas-tugas yang selalu
dikerjakan tepat waktu. Tak seperti teman yang lain. Reno mulai menancapkan
taring saat menjadi salah satu kandidat lomba debat APBN tingkat regional
DIY-Jateng. Mulai saat itu teman menganggapnya ada. Setiap ada tugas
berduyun-duyun mereka ingin menjadi bagian dari kelompoknya. Dia cenderung
pemilih, merangkul mereka yang bernilai rendah dan mudah di atur. Baginya, dapat
mengajari mereka agar nilainya naik sepertinya adalah kewajiban. Dia tidak
pernah melihat kesempurnaan itu dari nilai, meski nilai sangat penting untuk
menentukan kelulusannya nanti. sosoknya lebih sering membagi tugas agar satu
kelompok dapat mengerti tugas apa yang sedang mereka kerjakan, agar mereka
dapat menjelaskan dengan benar saat presentasi nanti.
Keberadaannya mulai
terkenal di kalangan siswa dan guru. Memiliki banyak teman dari tingkat bawah
hingga kakak kelas. Itu tak lepas pula dari keaktifan dalam organisasi di
sekolah. Kelas dua adalah transformasi hidup. Dari nol hingga menjadi siswa
yang diperhitungkan di sekolah. Beberapa kali Reno menjadi bagian dari tim
pembuat soal untuk ujian praktek kelas tiga. Padahal posisinya masih menjadi
siswa. Banyak guru yang suka dengannya, meminta bantuan untuk tugas-tugasnya.
Mungkin sebagian dari mereka sudah lupa akan jasanya. Tapi baginya, sudah
pernah menjadi bagian hidup seseorang, dilupakan atau dikenang adalah keindahan
tersendiri. Suatu bentuk pengabdian yang tulus dari hati, saat hati ini bicara
lakukanlah dan jangan mengharap imbalan. Dari prinsip itulah dia jadi sering
dimanfaatkan teman sekelasnya, bahkan lintas kelas. Seringkali waktu belajarnya
tersita hanya untuk mengerjakan makalah teman atau tugas yang lain. Meski dia
juga pelit contekan saat ujian. Ujian adalah pembuktian dari usaha kita, tak
ada kompromi dan main perasaan lagi. Teman adalah lawan, tugas masih bisa
dikompromikan tapi tidak dengan ujian. Hal itu juga yang dibawa hingga ujian
nasional dilangsungkan. Yakin dengan kemampuannya. Mungkin beberapa orang
menilainya arogan, tapi itu adalah prinsip. Keteguhan hati yang harus
dipertahankan.
Masa kelulusan adalah
hal yang tak bisa dilupakan, harus berpisah dengan teman seperjuangan. Tak lagi
bisa berbagi ilmu atau membantu mereka mengerjakan tugasnya lagi, atau seharian
di ruang guru untuk turut andil merancang soal ujian. Puas melihat nilai yang
cukup baginya. Namun kelulusan baginya juga suatu kekhawatiran. Saat yang lain
sibuk mempersiapkan diri untuk ke jenjang berikutnya, Reno justru tak ada
gambaran. Dia tak mampu lagi melanjutkan mimpinya. Hari berikutnya disibukkan
dengan pekerjaan yang menopang hidupnya. Ini mungkin jalan hidup yang harus ditempuh.
Namun ia tak pernah berkecil hati, setiap hari dan waktu adalah pembelajaran untuk
diri yang lebih baik lagi. Terbukti. Kepandaiannya masih dianggap oleh sebagian
teman. Mereka masih sering meminta bantuan mengerjakan tugas ospek atau tugas
kuliah mereka. Makalah, esay dan yang lainnya masih saja sering dihadapinya.
Meski itu bukan lagi bidangnya, namun kebaikan dan keteguhan untuk tidak
berhenti belajar terus mendorongnya belajar dan berbuat lebih. Tapi itu hanya
di awal-awal saja. Semakin tahun berjalan sosoknya mulai terlupakan. Tak ada
lagi Reno yang dulu. Dia hanya sibuk dengan pekerjaanya dan keluarga yang dia
topang. Masih berusaha agar menjadi insan yang lebih baik lagi, meski dia tak
pernah menyandang gelar. Saat teman-teman yang dulu ia bantu sudah mulai lulus
kuliah, bahkan menjadi orang sukses, Reno tetap dalam sosoknya yang sederhana, pendiam,
dan disiplin. Aku sendiri merasakannya saat beberapa kali masih meminta
bantuannya. Dengan senang hati dan tulus dia masih mau membantu siapa saja yang
meminta bantuan padanya.
Reno, sosok kebaikannya
tak pernah dapat dilupakan bagi mereka yang memang memiliki hati. Namun
karakter orang Indonesia itu, susah untuk mengingat kebaikan orang lain. Sudah
tercermin dari cerita rakyat yang melegenda. Kini sosoknya bertambah semakin
dewasa, aku belum lama mengenalnya dari jejaring sosial yang kemudian menjadi
sahabat akrab di dunia nyata. Masa kuliahku juga tak lepas dari sosoknya yang
selalu membantuku dalam segala hal, termasuk tugas. Meski dia tak mengenyam
pendidikan tinggi namun masih bisa diandalkan. Termasuk salah satu sahabat
lamanya yang juga masih mengandalkannya. Eka, adik kelas yang selalu menitipkan
tugas padanya. Dengan sabar Reno mengerjakan tugas-tugas itu. Sebagai kakak
kelas dia lebih mengerti bagaimana tugasnya dikerjakan dengan benar. Selepas
SMA, Eka juga masih menitipkan tugas kuliah kepadanya. Meski berbeda ilmu,
namun tugas itu lancar dikerjakan dan membawa Eka meraih nilai tertinggi di
semester awal, dengan IPK 4,0. Baginya itu adalah kebanggan, saat orang yang
dia bantu dapat memperoleh hal yang diinginkan. Tak hanya itu saja, Reno juga
mengajarkannya untuk lebih tegar dan mandiri hingga Eka menjadi sosok yang
lebih mandiri. Jarang tugasnya diserahkan lagi ke kakak kelasnya itu. Apalagi
saat mereka hilang komunikasi karena Reno harus ke Kalimantan. Jarak itu
membuat Eka semakin harus bekerja keras. Kesibukannya kuliah membuat dia lebih
mandiri lagi. Dalam dirinya masih ada sosok Reno yang selalu menyemangatinya. Hampir dua tahun
mereka berpisah. Sibuk dengan dunia masing-masing. Suatu hari yang tak
direncanakan, pesan di Facebooknya penuh dengan ucapan terimakasih.
“Mas, tadi aku selesai mentoring.
Kami istirahat sambil menceritakan masa-masa sekolah. Entah kenapa yang keluar
dalam benakku adalah sosokmu. Kakakku yang selalu ceria dan dengan sabar
membimbingku serta mengerjakan tugas-tugasku. Hatiku benar-benar terenyuh.
Sudah lama rasanya kita tak bersua. Aku sudah hampir skripsi kemudian wisuda.
Semua itu tak lepas dari doa dan bantuanmu, aku dapat menangis saat
menceritakan sosokmu kepada teman-temanku. Kau lah orang pertama yang akan ku
kabari, saat aku sudah lulus nanti. Bahkan lebih awal dari kedua orang tuaku.
Karena kamulah salah satu sumber ilmu dan insipariku yang sabar hingga saat ini
membantuku. Dari hatiku yang paling dalam, aku ingin sekali berterimakasih kepadamu.”
Reno hanya sanggup meneteskan air mata saat membaca
pesan itu. Dari sekian lama dia membantu orang, baru satu orang benar-benar
manganggapnya ada. Jarak dan waktu mungkin menjadi penghalang, pikiran dapat
dimanipulasi, namun saat hati berbicara itu adalah kejujuran yang tak ternilai.
Terimakasih Reno, kaulah sahabat dan insipirasi.
Cerpen ini dibukukan Penerbit Gemamedia Wonosobo dalam Tema "Sahabat Istimewa"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar