KABUT PRAMBANAN
Karya : Faiz Deja Ramadhan
Siang
terasa terik hari ini, Rio tak pernah menghiraukan meski dia hanya sendiri
berjalan diantara kerumunan orang lain. Baginya sendiri itu dapat menikmati
lebih detail dari setiap inci tempat ini. Sejarah baginya adalah nafas yang
melekat. Rio mempercepat langkahnya memasuki komplek candi Siwa, candi
tertinggi diantara dua candi utama yang lainnya di Prambanan. Siwa, dewa perusak yang di puja.
Setelah berada di dalam candi Rio
melihat dan membuka sebuah pintu gerbang, matanya
tak henti-hentinya melirik ke kanan dan kiri tanda waspada. Hanya ada lorong
panjang dengan suasana mistis di dalam sana. Satu lorong berujung di halaman
tengah dan sebuah pendopo besar di belakangnya. Taman dengan kolam yang beriak
kecil, di sisi kanan masih ada api yang menyala tak begitu terang. Wangi dupa
dan bunga semakin menusuk di hidung. Terdengar sayup seseorang sedang membaca
kidung atau semacamnya. Rio terdiam, bulu kuduknya merinding dan kakinya tak
mampu lagi melangkah. Keringatnya mulai mengucur karena keasingan ini.
“Yen suwasana tintrim ngeneiki nini,
angine teles.”
Bulu kuduknya semakin merinding saat
mendengar suara wanita yang sedang bercakap itu. suaranya begitu pilu, namun
lembut. Rio tak ingin berjalan, yang ada di pikirannya hanyalah terlelap dan
kembali ke candi Siwa. Memasuki lorong lagi, lagi dan lagi. Tibalah dia di
suatu bangsal yang lain. dengan suara yang semakin keras terdengar dari balik
sebuah tirai putih yang bergerak perlahan. Bayang-bayang dari dua orang yang
bercakap-cakap terlihat tak begitu jelas. Tiba-tiba tirai sobek menjadi dua
bagian. Serpihan guci yang pecah atau semacamnya terlihat berserakan. Wanita
cantik dengan baju jawa lengkap berjalan perlahan keluar dari robekan tirai
yang masih tergantung. Langkahnya anggun dengan tempo yang cepat. Rio dengan
sigap segera berlari kecil dan bersembunyi di balik guci, kemudian perlahan
mengikuti wanita itu. Rio
tiba-tiba muncul dan mengulurkan
tangannya sebagai tanda jabat tangan. Namun wanita itu tak paham akan yang
diinginkannya. Wanita itu semakin meninggikan keris yang dipegangnya. Kaki Rio
semakin cepat bergetar. Wanita itu mendekatinya dan mulai menempelkan ujung
keris ke badan Rio. Namun akhirnya
wanita itu pergi meninggalkan Rio menuju suatu ruangan yang terlihat remang. Rio
masih mengikutinya dari belakang hingga masuk dalam ruang itu pula. Wanita itu
duduk di kursi kayu yang tidak terlihat empuk. Di depannya terdapat jendela
yang langsung menatap daerah luar. Cahaya bulan yang terang dapat terlihat
begitu sempurna. Dari jendela itu pula, ujung dari Candi Prambanan dapat
terlihat dengan remang. Rio bersandar di dinding kamar dan kemudian tersimpuh
di lantai.
“Oh. Syah Hyang Chandra, cahayamu kang nerangi
athise panggalih iki.” Rara bersenandung.
“Maaf, putri ini siapa ya ?”
Rio memberanikan diri untuk bertanya
dengan memotong nyanyiannya.
“Lalu kenapa kamu terlihat bersedih?”
“Aku Jonggrang.” Jawabnya.
“Astaga, kamu Rara Jonggrang? Jadi yang kamu sebut tadi
Bandung Bandawasa?”
“Iya! ” Seru Rara.
“Lalu aku ada di jaman apa?” Tanya Rio
kembali.
“Aku tidak mengerti kamu. Tapi sekarang kamu
sedang berada di istanaku. Istana Boko.”
“Apa
Istana
Ratu Boko? Tidak! Di jamanku istana ini sudah tidak ada lagi, yang tersisa
hanyalah gerbang dan beberapa bangunan yang bentuknya sudah tak dapat disempurnakan
lagi. Beberapa batu sudah hilang dan sampai sekarang masih menjadi misteri
tentang keberadaannya. Setiap hari banyak orang datang ke tempat itu untuk
menyaksikan kemegahannya di masa lampau.” Jelas Rio yang awalnya keheranan.
“Ya, istana ini megah, damai. Aku dan
keluargaku senang tinggal di sini.” Jawab Rara.
“Lalu kenapa suasananya begitu terasa
sepi?” Tanya Rio masih keheranan.
“Istana ini sedang berduka. Ayahanda
Ratu Boko baru saja mangkat. Bahkan perapiannya masih menyala di candi
pembakaran. Dia dibunuh oleh Bandung Bandawasa karena sifat ayahku yang kejam
dan suka meminta tumbal kepada penduduk untuk kesaktiannya.”
“Siapa Bandawasa?” Tanya Rio penasaran.
“Dia adalah putra Raja Pengging yang
bijaksana.”
Percakapan demi percakapan terus saja
berlangsung di antara keduanya. Pertanyaan tak hentinya dilontarkan Rio untuk
Jonggrang. Rara Jonggrang pun dengan sabar menjawab semua pertanyan itu. Bahkan
malam yang semakin larut tak menyurutkan keduanya untuk berbagi cerita. Keduanya
kemudian beranjak dari duduknya, berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di
samping kamar menuju
tanah lapang. Tepat dibawah bulan yang bersinar terang.
“Kamu lihat bulan itu?” Tanya Jonggrang
kepada Rio.
Rio menengadah memandangi bulan, Rio sebenarnya
tak paham juga yang Rara Jonggrang maksud. kemudian menggeleng pelan tanda tak
mengerti.
“Aku hanya memiliki waktu satu malam
untuk merenung dan berpikir. Apa aku harus menerima pinangan dari Bandawasa.”
“Kenapa harus? Bukannya dia pembunuh
raja?” Tanya Rio.
“Aku terlanjur benci pada Bandawasa
karena telah menghakimi ayahku secara sepihak, seharusnya dia bisa lebih
bijaksana seperti Raja Pengging, tapi nyatanya tidak. Bahkan aku tidak
mencintainya.” Ujar Rara Jonggrang.
“Lalu kenapa putri tidak menolak?” Tanya
Rio lagi.
“Menolaknya hanya akan menyebebakan
kerajaan ini hancur, karena kekuatannya mampu menghancurkan kerajaan ini, tapi
menerimanya akan membuat hidupku serasa mati. Bahkan dia mencintaiku tanpa
mengenalku, dia hanya melihatku saat menangisi jasad ayahku tergeletak di medan
perang.”
“Lalu dia bilang cinta begitu saja? ”
Tanya Rio.
“Ya, tanpa rasa bersalah dia bilang
cinta begitu saja dan akan kembali esok hari untuk meminangku.” Jawab
Jonggrang.
Rio tak pernah paham akan cerita yang
dituturkan Rara Jonggrang. Itu sungguh berbeda dengan cerita rakyat yang pernah
dia dengar selama ini. Hanya tokohnya saja yang diketahuinya, namun ceritanya
sungguh berbeda.
“Bolehkan aku bertanya sesuatu?” Kata
Rio.
“Bertanyalah Rio, mungkin aku dapat
menjawabnya.”
“Aku tak pernah mengerti dengan jalan
cerita yang putri ungkapkan, setahu saya putri memang dipinang oleh Bandung Bandawasa,
namun putri mengajukan syarat untuk membangun sebuah tempat ibadah dalam waktu
semalam, dan di akhir cerita putri diubahnya menjadi candi ke seribu karena
putri telah berbuat curang.” Jelas Rio.
“Aku sendiri tak pernah mengerti akan
cerita itu. Karena aku tak pernah mengalaminya. mungkin rakyat Pengging atau
para Resi yang menciptakan cerita itu untuk menutupi sejarah kelam yang mungkin
tak patut diungkap.” Ujar Jongrrang.
“Lalu tentangmu dan arca yang ada di
Candi Prambanan itu?” Tanya Rio bingung.
Putri hanya tersenyum mendengar
pertanyaan itu, dia pun menjawabnya dengan panjang lebar. sedetail mungkin
hingga Rio dapat memahaminya. Prambanan merupakan candi yang sudah ada jauh
sebelum Rara Jonggrang itu ada. Candi itu adalah candi yang dibuat pada masa
Rakai Pikatan dan dilanjutkan generasi selanjutnya, Candi Prambanan merupakan
candi bagi agama Hindu Siwa sebagai tandingan Candi Budha Mahayana. Keberadaannya
sangat termasyur saat itu. tak ada kaitannya dengan jin atau semacamnya. Bahkan
pembangunannya pun diukur oleh ahli ahli bangunan pada masa kerajaan itu. Siang
malam para Resi dan pemuka Hindu lainnya memahat batu hingga membentuk Epos Ramayana.
Siwagrha adalah tempat ibadah utama agama kami sampai saat ini.
Bahkan Rio juga memberitahu kepada Rara
Jonggrang bahwa Prambanan kini tak lagi utuh bentuknya, namun memiliki fungsi
yang sama. Masyarakat Hindu di Pulau Jawa masih mengadakan peribadatan di tempat
itu. Bahkan tempat itu juga terkenal di seantero dunia. Setiap hari banyak
orang datang hanya untuk melihat kemegahannya. Sepertinya tujuan candi ini
dibangun benar-benar terwujud. Selain sebagai tempat ibadah, candi ini juga
sebagai bukti hebatnya negeri ini dan orang-orang yang berada di balik semua
ini, termasuk Rara Jonggrang. Rio
menceritakan bahwa Prambanan merupakan tempat yang
indah. begitu juga dengan keraton Boko.
Banyak nilai yang dapat diambil dari tempat-tempat ini dan akan semakin banyak
orang yang mengenang dua tempat ini bahkan menjadi impiannya untuk dikunjungi.
Sekedar mengenang engkau putri. Engkau dan kejayaan masa lalu. Setidaknya kehancuran
putri Durga itu tidak benar. Bandung Bandawasa tak sepenuhnya membuat tempat
ini porak-poranda. Masih
ada sisa yang terkenang sampai tahun dan zaman yang akan datang.
Dari kejauhan Siwagrha
yang sekarang sering disebut Prambanan semakin hilang kegarangannya. Ia tak
lagi menjulang karena kabut mulai menyelimutinya. Bulan juga semakin cepat
turun dari singgasana, namun di timur, belum terlihat surya terbangun dari
lelapnya. Rara berlari ke arah yang tak jelas entah kemana. Rio hanya dapat
mengikutinya dari belakang. Dilepasnya tali kuda dari ikatannya dan segera
membawa Rio ke atas kudanya. Kuda putih yang gagah berlari begitu kencang
menembus dinginnya kabut dini hari itu. Menuruni bukit menerjang lebatnya
perkampungan yang masih sunyi dan hutan-hutan kecil. Sepertinya tujuan ini
adalah Prambanan. Beberapa waktu kuda ini berlari. Prambanan yang remang oleh
kabut itu nampak gagah dengan cahaya lampu temaram dari obor-obor yang
dinyalakan para Resi. Diketuklah satu rumah Resi, Rara jonggrang memintanya
membuatkan canang sari dan meminta beberapa pucuk dupa. Dengan pakaian
sembahyang Rara jonggrang berjalan tergesa menuju candi Siwa. Sesekali dia
menancapkan dupa di beberapa tempat. Sungguh ini Prambanan masih dalam keadaan
utuh. Begitu banyak candi yang ada. Rio hanya berdecak kagum dan mencoba
merekamnya baik-baik dalam ingatannya. Rio berlari mengikuti Rara Jonggrang
yang telah jauh di depannya, dia tak ingin tersesat di antara seribu candi yang
ada. Suasananya sungguh hening dan sakral, di sekeliling candi masih banyak
pepohonan dan Sungai Opak masih terdengar gemericik airnya. Dengan langkah yang
pasti Rara Jonggrang menapaki tangga menuju bilik Durga. Rio melihatnya
bersimpuh, menghaturkan canang sari dan memulai berdoa. Doanya khusyu, kepulan
dupa memenuhi ruangan yang mewangi. Dalam mantranya inginkan pencerahan atau
bimbingan Durga. Tak berapa lama mantra-mantra itu terucap dan kepulan asap
belum juga hilang, beberapa Resi mendatangi Durga yang tengah menangis dalam
heningnya mantra yang dia ucap. Resi mendekat dan memegang pundak Rara jonggrang,
namun betapa kagetnya resi saat mendapati tubuh Rara jonggrang telah berubah
jadi lebih dingin, perlahan tubuh itu menghilang dalam dekapan dupa yang
mengepul. Asap-asap itu seakan membawa jiwa dan raga Rara Jonggrang. Durga
telah membawanya pulang. Moksa. Para resi kemudian berkumpul, memanjatkan
mantra dan segera meninggalkan Candi Prambanan. Meninggalkan kabut putih yang
mulai menipis. Rio hanya terdiam tak tahu harus melakukan apa, resi tak
menyapanya sama sekali. Bahkan mereka serasa tak melihatnya, sampai Rio melihat
resi itu menunggangi kudanya masing-masing dan suara hentakannya semakin jauh.
Dari kejauhan api semakin berkobar dari atas sebuah bukit. Suara gaduh mulai
terdengar. Beberapa orang dalam kasta Brahmana yang tinggal di sekitaran Siwagrha
terbangun dan mulai menyalakan dupa dan menghaturkan bunga persembahan. Mantra
mulai dialunkan pelan, api pembakaran telah dinyalakan. Pertanda Rara Jonggrang
juga telah mangkat menyusul Ratu Baka. Rio semakin bingung. Dia tak pernah
memahami cerita ini. Bahkan dirinya masih menganggap ini adalah mimpi aneh namun
penuh dengan pembelajaran. Rio
duduk termenung di pelataran candi, dalam lamunnya dia melihat Rara Jonggrang
yang tersenyum, kemudian tangannya menggandeng Rio dan membawanya terbang.
Suara keras terdengar
begitu menghentak, seluruh isi kelas menengok ke belakang tempat Rio tertidur
di bangku kelasnya. Guru
yang sedang menjelaskan di depan hanya menggeleng dan menyuruhnya segera cuci
muka. Berlarilah Rio ke kamar mandi.
“Aku tahu sekarang kenapa ada cerita
Rara Jonggrang. Ternyata dia tidak diubah menjadi Arca Durga, mereka adalah dua
yang berbeda. Hanya saja Rara Jonggrang hilang di bilik Durga. Lalu api dan
suara gaduh itu pertanda bahwa Rara Jonggrang telah mangkat, itu sebabnya
ayam-ayam berkokok. Mungkin dari situlah masyarakat atau para Resi mendapat ide
membuat cerita Rara Jonggrang yang sekarang beredar. Tapi selepas dari itu mimpi
tadi terasa sangat nyata. Inginku segera pulang ke Yogyakarta untuk menjenguk
nenek. Menikmati kota istimewa dengan segudang kebudayaanya, dan tak lupa
mengunjungi candi Ratu Boko dan Candi Prambanan. Dua saksi kejayaan masa lalu,
atau mungkin aku dapat bertemu dengan Rara Jonggrang yang sebenarnya.”
Di
kamar mandi, Rio masih berpikir akan mimpinya. Mimpi yang membawa lamunannya
terlampau jauh di masa lalu, mimpi yang membuatnya semakin memahami kejayaan
Indonesia, membuatnya semakin ingin mencintai Indonesia karena keagungan dan warna-warni
sejarah budayanya.
Keanekaragaman yang membuat decak kagum di dunia dan kebanggaan bagi kita.
Karya ini dibukukan dalam kumpulan cerpen bertema Sejarah Penerbit Sinar Gamedia Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar