SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Kamis, 18 Agustus 2016

Karya 51 (Cerpen) Dibukukan

KABUT PRAMBANAN
 Karya : Faiz Deja Ramadhan
Siang terasa terik hari ini, Rio tak pernah menghiraukan meski dia hanya sendiri berjalan diantara kerumunan orang lain. Baginya sendiri itu dapat menikmati lebih detail dari setiap inci tempat ini. Sejarah baginya adalah nafas yang melekat. Rio mempercepat langkahnya memasuki komplek candi Siwa, candi tertinggi diantara dua candi utama yang lainnya di Prambanan. Siwa, dewa perusak yang di puja.
Setelah berada di dalam candi Rio melihat dan membuka sebuah pintu gerbang, matanya tak henti-hentinya melirik ke kanan dan kiri tanda waspada. Hanya ada lorong panjang dengan suasana mistis di dalam sana. Satu lorong berujung di halaman tengah dan sebuah pendopo besar di belakangnya. Taman dengan kolam yang beriak kecil, di sisi kanan masih ada api yang menyala tak begitu terang. Wangi dupa dan bunga semakin menusuk di hidung. Terdengar sayup seseorang sedang membaca kidung atau semacamnya. Rio terdiam, bulu kuduknya merinding dan kakinya tak mampu lagi melangkah. Keringatnya mulai mengucur karena keasingan ini.
“Yen suwasana tintrim ngeneiki nini, angine teles.”
Bulu kuduknya semakin merinding saat mendengar suara wanita yang sedang bercakap itu. suaranya begitu pilu, namun lembut. Rio tak ingin berjalan, yang ada di pikirannya hanyalah terlelap dan kembali ke candi Siwa. Memasuki lorong lagi, lagi dan lagi. Tibalah dia di suatu bangsal yang lain. dengan suara yang semakin keras terdengar dari balik sebuah tirai putih yang bergerak perlahan. Bayang-bayang dari dua orang yang bercakap-cakap terlihat tak begitu jelas. Tiba-tiba tirai sobek menjadi dua bagian. Serpihan guci yang pecah atau semacamnya terlihat berserakan. Wanita cantik dengan baju jawa lengkap berjalan perlahan keluar dari robekan tirai yang masih tergantung. Langkahnya anggun dengan tempo yang cepat. Rio dengan sigap segera berlari kecil dan bersembunyi di balik guci, kemudian perlahan mengikuti wanita itu. Rio tiba-tiba muncul dan mengulurkan tangannya sebagai tanda jabat tangan. Namun wanita itu tak paham akan yang diinginkannya. Wanita itu semakin meninggikan keris yang dipegangnya. Kaki Rio semakin cepat bergetar. Wanita itu mendekatinya dan mulai menempelkan ujung keris ke badan Rio. Namun akhirnya wanita itu pergi meninggalkan Rio menuju suatu ruangan yang terlihat remang. Rio masih mengikutinya dari belakang hingga masuk dalam ruang itu pula. Wanita itu duduk di kursi kayu yang tidak terlihat empuk. Di depannya terdapat jendela yang langsung menatap daerah luar. Cahaya bulan yang terang dapat terlihat begitu sempurna. Dari jendela itu pula, ujung dari Candi Prambanan dapat terlihat dengan remang. Rio bersandar di dinding kamar dan kemudian tersimpuh di lantai.
“Oh. Syah Hyang Chandra, cahayamu kang nerangi athise panggalih iki.” Rara bersenandung.
“Maaf, putri ini siapa ya ?”
Rio memberanikan diri untuk bertanya dengan memotong nyanyiannya.
“Lalu kenapa kamu terlihat bersedih?”
“Aku Jonggrang.” Jawabnya.
“Astaga, kamu Rara Jonggrang? Jadi yang kamu sebut tadi Bandung Bandawasa?”
“Iya! ” Seru Rara.
“Lalu aku ada di jaman apa?” Tanya Rio kembali.
“Aku tidak mengerti kamu. Tapi sekarang kamu sedang berada di istanaku. Istana Boko.”
Apa Istana Ratu Boko? Tidak! Di jamanku istana ini sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanyalah gerbang dan beberapa bangunan yang bentuknya sudah tak dapat disempurnakan lagi. Beberapa batu sudah hilang dan sampai sekarang masih menjadi misteri tentang keberadaannya. Setiap hari banyak orang datang ke tempat itu untuk menyaksikan kemegahannya di masa lampau.” Jelas Rio yang awalnya keheranan.
“Ya, istana ini megah, damai. Aku dan keluargaku senang tinggal di sini.” Jawab Rara.
“Lalu kenapa suasananya begitu terasa sepi?” Tanya Rio masih keheranan.
“Istana ini sedang berduka. Ayahanda Ratu Boko baru saja mangkat. Bahkan perapiannya masih menyala di candi pembakaran. Dia dibunuh oleh Bandung Bandawasa karena sifat ayahku yang kejam dan suka meminta tumbal kepada penduduk untuk kesaktiannya.”
“Siapa Bandawasa?” Tanya Rio penasaran.
“Dia adalah putra Raja Pengging yang bijaksana.”
Percakapan demi percakapan terus saja berlangsung di antara keduanya. Pertanyaan tak hentinya dilontarkan Rio untuk Jonggrang. Rara Jonggrang pun dengan sabar menjawab semua pertanyan itu. Bahkan malam yang semakin larut tak menyurutkan keduanya untuk berbagi cerita. Keduanya kemudian beranjak dari duduknya, berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di samping kamar menuju tanah lapang. Tepat dibawah bulan yang bersinar terang.
“Kamu lihat bulan itu?” Tanya Jonggrang kepada Rio.
Rio menengadah memandangi bulan, Rio sebenarnya tak paham juga yang Rara Jonggrang maksud. kemudian menggeleng pelan tanda tak mengerti.
“Aku hanya memiliki waktu satu malam untuk merenung dan berpikir. Apa aku harus menerima pinangan dari Bandawasa.”
“Kenapa harus? Bukannya dia pembunuh raja?” Tanya Rio.
“Aku terlanjur benci pada Bandawasa karena telah menghakimi ayahku secara sepihak, seharusnya dia bisa lebih bijaksana seperti Raja Pengging, tapi nyatanya tidak. Bahkan aku tidak mencintainya.” Ujar Rara Jonggrang.
“Lalu kenapa putri tidak menolak?” Tanya Rio lagi.
“Menolaknya hanya akan menyebebakan kerajaan ini hancur, karena kekuatannya mampu menghancurkan kerajaan ini, tapi menerimanya akan membuat hidupku serasa mati. Bahkan dia mencintaiku tanpa mengenalku, dia hanya melihatku saat menangisi jasad ayahku tergeletak di medan perang.”
“Lalu dia bilang cinta begitu saja? ” Tanya Rio.
“Ya, tanpa rasa bersalah dia bilang cinta begitu saja dan akan kembali esok hari untuk meminangku.” Jawab Jonggrang.
Rio tak pernah paham akan cerita yang dituturkan Rara Jonggrang. Itu sungguh berbeda dengan cerita rakyat yang pernah dia dengar selama ini. Hanya tokohnya saja yang diketahuinya, namun ceritanya sungguh berbeda.
“Bolehkan aku bertanya sesuatu?” Kata Rio.
“Bertanyalah Rio, mungkin aku dapat menjawabnya.”
“Aku tak pernah mengerti dengan jalan cerita yang putri ungkapkan, setahu saya putri memang dipinang oleh Bandung Bandawasa, namun putri mengajukan syarat untuk membangun sebuah tempat ibadah dalam waktu semalam, dan di akhir cerita putri diubahnya menjadi candi ke seribu karena putri telah berbuat curang.” Jelas Rio.
“Aku sendiri tak pernah mengerti akan cerita itu. Karena aku tak pernah mengalaminya. mungkin rakyat Pengging atau para Resi yang menciptakan cerita itu untuk menutupi sejarah kelam yang mungkin tak patut diungkap.” Ujar Jongrrang.
“Lalu tentangmu dan arca yang ada di Candi Prambanan itu?” Tanya Rio bingung.
Putri hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, dia pun menjawabnya dengan panjang lebar. sedetail mungkin hingga Rio dapat memahaminya. Prambanan merupakan candi yang sudah ada jauh sebelum Rara Jonggrang itu ada. Candi itu adalah candi yang dibuat pada masa Rakai Pikatan dan dilanjutkan generasi selanjutnya, Candi Prambanan merupakan candi bagi agama Hindu Siwa sebagai tandingan Candi Budha Mahayana. Keberadaannya sangat termasyur saat itu. tak ada kaitannya dengan jin atau semacamnya. Bahkan pembangunannya pun diukur oleh ahli ahli bangunan pada masa kerajaan itu. Siang malam para Resi dan pemuka Hindu lainnya memahat batu hingga membentuk Epos Ramayana. Siwagrha adalah tempat ibadah utama agama kami sampai saat ini.
Bahkan Rio juga memberitahu kepada Rara Jonggrang bahwa Prambanan kini tak lagi utuh bentuknya, namun memiliki fungsi yang sama. Masyarakat Hindu di Pulau Jawa masih mengadakan peribadatan di tempat itu. Bahkan tempat itu juga terkenal di seantero dunia. Setiap hari banyak orang datang hanya untuk melihat kemegahannya. Sepertinya tujuan candi ini dibangun benar-benar terwujud. Selain sebagai tempat ibadah, candi ini juga sebagai bukti hebatnya negeri ini dan orang-orang yang berada di balik semua ini, termasuk Rara Jonggrang. Rio menceritakan bahwa Prambanan merupakan tempat yang indah. begitu juga dengan keraton Boko. Banyak nilai yang dapat diambil dari tempat-tempat ini dan akan semakin banyak orang yang mengenang dua tempat ini bahkan menjadi impiannya untuk dikunjungi. Sekedar mengenang engkau putri. Engkau dan kejayaan masa lalu. Setidaknya kehancuran putri Durga itu tidak benar. Bandung Bandawasa tak sepenuhnya membuat tempat ini porak-poranda. Masih ada sisa yang terkenang sampai tahun dan zaman yang akan datang.
Dari kejauhan Siwagrha yang sekarang sering disebut Prambanan semakin hilang kegarangannya. Ia tak lagi menjulang karena kabut mulai menyelimutinya. Bulan juga semakin cepat turun dari singgasana, namun di timur, belum terlihat surya terbangun dari lelapnya. Rara berlari ke arah yang tak jelas entah kemana. Rio hanya dapat mengikutinya dari belakang. Dilepasnya tali kuda dari ikatannya dan segera membawa Rio ke atas kudanya. Kuda putih yang gagah berlari begitu kencang menembus dinginnya kabut dini hari itu. Menuruni bukit menerjang lebatnya perkampungan yang masih sunyi dan hutan-hutan kecil. Sepertinya tujuan ini adalah Prambanan. Beberapa waktu kuda ini berlari. Prambanan yang remang oleh kabut itu nampak gagah dengan cahaya lampu temaram dari obor-obor yang dinyalakan para Resi. Diketuklah satu rumah Resi, Rara jonggrang memintanya membuatkan canang sari dan meminta beberapa pucuk dupa. Dengan pakaian sembahyang Rara jonggrang berjalan tergesa menuju candi Siwa. Sesekali dia menancapkan dupa di beberapa tempat. Sungguh ini Prambanan masih dalam keadaan utuh. Begitu banyak candi yang ada. Rio hanya berdecak kagum dan mencoba merekamnya baik-baik dalam ingatannya. Rio berlari mengikuti Rara Jonggrang yang telah jauh di depannya, dia tak ingin tersesat di antara seribu candi yang ada. Suasananya sungguh hening dan sakral, di sekeliling candi masih banyak pepohonan dan Sungai Opak masih terdengar gemericik airnya. Dengan langkah yang pasti Rara Jonggrang menapaki tangga menuju bilik Durga. Rio melihatnya bersimpuh, menghaturkan canang sari dan memulai berdoa. Doanya khusyu, kepulan dupa memenuhi ruangan yang mewangi. Dalam mantranya inginkan pencerahan atau bimbingan Durga. Tak berapa lama mantra-mantra itu terucap dan kepulan asap belum juga hilang, beberapa Resi mendatangi Durga yang tengah menangis dalam heningnya mantra yang dia ucap. Resi mendekat dan memegang pundak Rara jonggrang, namun betapa kagetnya resi saat mendapati tubuh Rara jonggrang telah berubah jadi lebih dingin, perlahan tubuh itu menghilang dalam dekapan dupa yang mengepul. Asap-asap itu seakan membawa jiwa dan raga Rara Jonggrang. Durga telah membawanya pulang. Moksa. Para resi kemudian berkumpul, memanjatkan mantra dan segera meninggalkan Candi Prambanan. Meninggalkan kabut putih yang mulai menipis. Rio hanya terdiam tak tahu harus melakukan apa, resi tak menyapanya sama sekali. Bahkan mereka serasa tak melihatnya, sampai Rio melihat resi itu menunggangi kudanya masing-masing dan suara hentakannya semakin jauh. Dari kejauhan api semakin berkobar dari atas sebuah bukit. Suara gaduh mulai terdengar. Beberapa orang dalam kasta Brahmana yang tinggal di sekitaran Siwagrha terbangun dan mulai menyalakan dupa dan menghaturkan bunga persembahan. Mantra mulai dialunkan pelan, api pembakaran telah dinyalakan. Pertanda Rara Jonggrang juga telah mangkat menyusul Ratu Baka. Rio semakin bingung. Dia tak pernah memahami cerita ini. Bahkan dirinya masih menganggap ini adalah mimpi aneh namun penuh dengan pembelajaran. Rio duduk termenung di pelataran candi, dalam lamunnya dia melihat Rara Jonggrang yang tersenyum, kemudian tangannya menggandeng Rio dan membawanya terbang.
Suara keras terdengar begitu menghentak, seluruh isi kelas menengok ke belakang tempat Rio tertidur di bangku kelasnya. Guru yang sedang menjelaskan di depan hanya menggeleng dan menyuruhnya segera cuci muka. Berlarilah Rio ke kamar mandi.
“Aku tahu sekarang kenapa ada cerita Rara Jonggrang. Ternyata dia tidak diubah menjadi Arca Durga, mereka adalah dua yang berbeda. Hanya saja Rara Jonggrang hilang di bilik Durga. Lalu api dan suara gaduh itu pertanda bahwa Rara Jonggrang telah mangkat, itu sebabnya ayam-ayam berkokok. Mungkin dari situlah masyarakat atau para Resi mendapat ide membuat cerita Rara Jonggrang yang sekarang beredar. Tapi selepas dari itu mimpi tadi terasa sangat nyata. Inginku segera pulang ke Yogyakarta untuk menjenguk nenek. Menikmati kota istimewa dengan segudang kebudayaanya, dan tak lupa mengunjungi candi Ratu Boko dan Candi Prambanan. Dua saksi kejayaan masa lalu, atau mungkin aku dapat bertemu dengan Rara Jonggrang yang sebenarnya.”

Di kamar mandi, Rio masih berpikir akan mimpinya. Mimpi yang membawa lamunannya terlampau jauh di masa lalu, mimpi yang membuatnya semakin memahami kejayaan Indonesia, membuatnya semakin ingin mencintai Indonesia karena keagungan dan warna-warni sejarah budayanya. Keanekaragaman yang membuat decak kagum di dunia dan kebanggaan bagi kita.

Karya ini dibukukan dalam kumpulan cerpen bertema Sejarah Penerbit Sinar Gamedia Utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar