SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Kamis, 18 Agustus 2016

Karya 52 (Dibukukan)

PROLOG
Karya : Faiz Deja Ramadhan
Menulis kisah tentang teman, ku ambil dari kisah nyatanya.
Untuknya Awan.
Aku menceritakan apa yang ku rasa, ku alami, dan aku pikirkan.
Tentang cinta, tentang kesendirian.

Sudah lama rasanya aku lulus dari bangku sekolah menengah atas. Setumpuk pekerjaan terlalu menyita waktuku. Aku hampir tak dapat menikmati hidup atau bermain seperti kebanyakan remaja seusiaku, 22 tahun. Sepulang kerja, tak seperti biasanya. Aku duduk termenung menghadap meja yang penuh dengan buku bacaan, laptop yang masih terbuka sisa pekerjaanku semalam belum sempat aku beresi. Rasanya sangat penat, tubuh lunglai dan ingin merebahkan diri di atas kasur yang tak empuk lagi. Hampir seperti tumpukan sampah, kamarku super berantakan. Aku kumpulkan semangat yang masih tersisa, mengambil nafas dalam-dalam dan mulai menyusun buku-buku ke dalam rak. Mengganti sprei kasur dan membereskan baju yang berserakan. Sedikit demi sedikit mulai terlihat kalau ini adalah kamar remaja tampan. Tampan? Setidaknya tampan bagi orang tuaku, tapi tidak dengan yang lain. Sampai usiaku yang sekarang pacaran hanya putus nyambung terus seperti layang-layang.
“Ini baju bersih, yang ini kotor, bersih lagi, bersih, bersih, kotor, kotor, kotor. Banyak banget yang kotor.”
Mulai melipat baju bersih dan memasukkannya ke dalam almari kecil di sudut kamar, mataku sudah tak tahan lagi, badan lengket tak dihiraukan lagi. Ingin segera memejamkan mata. Ternyata mata belum juga diperbolehkan terpejam, di dalam almari masih saja ada setumpuk buku yang tidak rapi.
“Apa-apaan ini lemari juga penuh dengan buku. Duh duh Awan, kamu kemana saja kamar jadi berantakan seperti ini.”
Aku mengobrol dengan diriku sendiri, menghibur diri dan membuat lelucon agar mata tak semakin berat. Ku ambil satu buku dari tumpukan di almari. Memilah-milahnya.
“Buang, tidak, tidak, buang, buang.”
Buku lama, jaman SMA dan buku bacaan yang sudah kadaluarsa. Beberapa masih dapat ku ingat. Deretan rumus aljabar, dan kumpulan metode karya ilmiah. Membacanya sedikit mengingat pelajaran semasa sekolah. Membuka halaman dan mencermati kalimat yang membentuk paragraf.
“Apa ini?”
Secarik kertas terjatuh dari halaman buku yang aku baca.
“Hari ini aku bahagia, salamku disampaikan oleh dua babi kecilku. Sayang lup-lup.”
Diari dalam secarik kertas, seperti tak mampu saja membeli buku yang dikhususkan untuk menampung curhatku. Aku mulai tertarik dengan isi kertas itu, rasa kantuk dan lelah tak ku pedulikan lagi. Mengeluarkan semua buku yang ada di almari paling bawah itu dan membuat kamar berantakan lagi, penuh dengan buku yang tak jelas. Aku mencari sebuah buku tulis warna pink dengan sampul bergambar kucing di dalam tong sampah. Mengutak-atik tak ketemu juga. Hampir saja putus asa. Aku merebahkan badan diantara tumpukan buku. Mata kembali mengantuk dan terpejam.
***
Aku terengah, saat pagi sudah menyapa. Kulit terasa lengket, ketiduran tanpa membasuh muka bahkan mandi terlebih dahulu. Badanku terasa pegal semalaman tidur dalam tumpukan buku yang hendak aku sortir. Beruntung hari ini libur kerja. Aku basuh muka yang masih lengket dengan air dingin, biar segar dan tak mengantuk lagi. Sekalian mandi enak juga, pikirku. Ku buat sereal sekedar pengganjal perut. Melintas di depan kamar, kamarku tak jadi rapi. Gara-gara buku yang ku obrak-abrik.
“Libur malah bikin masalah sendiri.” Gumamku.
Satu per satu buku aku masukkan kantong dan rak, mana yang masih layak simpan, mana yang layak jual. Di tumpukan terakhir yang akan aku sortir, nyatanya masih tersimpan buku merah muda itu. Senyum kecil, meraih buku dan membuka halaman paling depan.
“Teruntuknya De, “
Ah rasanya pikiran ini melayang kembali ke jaman sekolah dulu. Saat cintaku bergejolak akan sosok De yang menjadi idola. Setiap hari aku menitipkan salamku kepadanya lewat dua sahabat baikku. Selama tiga tahun aku hanya menjadi pengamat, memendam rasa dan menulis rasa dalam buku yang masih aku simpan sampai sekarang. Kumpulan puisi yang aku berikan saat kelulusan tiba, namun memang aku tak harus menjadi pacarnya. Tetap menjomblo dan menjadi pengagumnya sudah cukup membuatku bahagia, setidaknya ini menjadi prolog bagiku. Suatu awal belajar bersabar untuk mrncintai seseorang, yang nyata-nyata acuhkanku dan berpaling kepada yang lain. Mungkin dia tak tahu kalau aku mencintainya. Tapi aku pernah memberi buku merah muda ini, buku yang berisi puisi tentang curhatku padanya. Hanya kembali dengan hampa, tak satu kalimat pun ditulisnya kecuali sekedar kalimat “Maaf aku sudah ada yang punya“. Suatu pukulan untukku, tetap menjomblo dikala yang lain sudah memiliki gandengan semasa sekolah. Pilihan yang tepat daripada sekolah keteteran.
Aku masih membaca-baca buku diariku itu, buku yang sedari malam ingin aku baca. Ingatan tentang masa lalu. Tapi aku cukup bahagia menjadi seorang jomblo. Setidaknya aku dapat fokus belajar dan meningkatkan nilai serta popularitas dikalangan siswa dan guru, nilaiku melejit dari peringkat terbawah menjadi sepuluh besar. Karena aku fokus belajar dan tak direcoki masalah dengan pacar. Putus, cemburu, atau marahan. Aku hanya menjadi pengamat teman-temanku yang saling kasmaran di sekolah. Aku bebas, meski sedikit mengganjal saat hati hanya sebagai pengagum. Sesekali merasa iri dengan teman yang berjalan dengan bergandengan tangan, atau makan berduaan di kantin, belai-belai rambut di dalam kelas. Tapi kadang aku juga bilang kalau hal itu NORAK. Dengan iseng melaporkan mereka ke guru konseling, agar ditindak dan mengunakan fasilitas sekolah dengan semestinnya. Bukannya aku sirik, tapi mencoba membenarkan keadaan. Sekolah tempat menuntut ilmu, bukan untuk bermesraan. Parah. Kalau sampai ada tindakan asusila di sekolah, gempar nanti seperti di berita-berita nasional. Jomblo jadi pahlawan.
***
Ku buka pintu kamar dan mengeluyur keluar, hanya dengan kaus oblong dan boxer saja. menengok halaman yang sepi. Anak-anak masih sibuk di sekolah, tak ada yang bermain bola. Hanya ada Iyan yang nongkrong di depan kamar kosnya.
“Yan, sendiri aja?” teriakku dari seberang.
“ Iya, kamu kagak kerja?”
“ Libur, main sini lah. Kita cerita-cerita.”
“ Cerita apa?”
“ Cerita sesama jomblo!“ Dengan semangat sambil berteriak lantang.
“ Halah kamu ini.”
Bilang halah, tapi datang juga Iyan ke kontrakanku.
“Tumben sepi sekali kosmu Wan?”
“Pada mudik kali, anak-anak kampung juga tak main bola di halaman.”
“Jadi tambah sepi saja hidupmu kalau seperti ini.”
“Alamak, jomblo bukan berarti kesepian Yan.”
Aku dan Iyan hanya membicarakan masalah tak penting. Obrolannya kesana kemari. Mengenang masa lalu, meski kadang juga berpikir tentang hari esok. Aku merasa kesendiriankun ini penuh arti. Selepas sekolah, tak lagi aku menemukan siapa itu De, dimana itu De. Bagiku itu masa lalu yang suram. Hanya pemanis di kala aku menjomblo. Aku terlalu sibuk dengan dunia kerjaku kini. Meski hanya sebagai buruh serabutan, tapi cukup menyita waktu. Bahkan aku tak pernah melirik perempuan yang berlalu-lalang. Pernah beberapa kali pacaran dengan teman yang kemudian menjadi cinta. Berawal dari jejaring sosial, ketemu, cocok, deal, pacaran. Seperti jargon iklan di dunia maya.
“Deal sih deal, cocok sih cocok, tapi hanya sesaat saja.”
“Cinta monyet?” Seru Iyan dengan semangat meledekku.
 “Bukan menurutku, karena aku sudah terlalu besar untuk merasakan cinta monyet.”
“Monyet galau.” Lagi-lagi kena ledek dari si Iyan.
 Saling tukar cerita akan masa-masa pacaran dan jomblo dengan Iyan membuat libur ini lebih seru. Dia juga menjomblo, hampir sama denganku. Hanya sekali saja dia berpacaran. Itupun tak berlangsung lama pula. Dari obrolan inilah aku dan dia jadi tahu kisah jomblo masing-masing. Ada benarnya juga dia sendiri, ingin fokus kuliah, sepertiku dulu yang ingin fokus sekolah. Jomblo bukan berarti tak laku, tapi sibuk dengan karir atau pendidikan, jangan salah persepsi kau orang berpasang-pasangan.
“Berapa lama kamu pacaran Wan?”
“Pacaran paling lama adalah satu bulan dan paling pendek satu minggu saja.”
 Rekor yang bagus menurutku. Selepasnya aku lebih senang menggoda orang di jejaring sosial. Memberi harapan palsu dan melemparkan gombalan. Entah kegilaan apa yang menaungiku. Aku lebih merasa bahwa jombloku ini menyenangkan daripada berpacaran. Setiap detik ada saja pesan masuk, “lagi apa, dengan siapa, udah makan belom, jangan lupa makan ya .“
Aku justru tertawa terbahak-bahak bersama Iyan sambil lempar pandangan, tak bisa ku menahan tawa saat pikiran ini memutar lagi kenangan itu. Pacaran.
“Dikira aku ini anak kecil harus dipantau setiap kali.“
“Mending, mending aku jomblo saja “. 
Pacaran itu ribet. Ribet di semua hal. Emakku saja jarang sekali seperti itu padaku.  Tapi terkadang sebel juga kalau ditanya macem-macem sama teman kerja. “Hei Awan, mana pacar kamu? Tak pernah dikenalkan ke kita. Kapan kamu nikah? Teman-temanmu sudah pada nikah. kamu homo ya Wan? Kagak laku-laku.” Ledek Iyan lagi dan lagi.
“Ah aku hanya tersenyum ketika mereka bilang seperti itu.” Jawabku.
“Kamu tak jawab apa-apa Wan?”
“Ya jawab lah Yan! Terserah aku lah, aku masih menikmati masa jombloku, kenapa kalian yang sewot.” Jawabku dengan tegas.
***
Obrolanku dengan Iyan melupakanku dengan sarapan dan makan siang. Asyiknya saat dua jomblo lagi berbagi pengalaman tentang kesendirian dan kemunafikan berpacaran. Bilangnya cinta, bilangnya kangen tapi selingkuh juga. Bilang tidak apa-apa tapi di hati dongkol. Entah apa yang mereka lakukan, nyatanya dua hati jadi satu. Belahan jiwa tapi banyak yang ditutup-tutupi, tapi banyak kebohongannya. Bagi Iyan jomblo itu menyenangkan, tak ada beban selain memikirkan praktikum, UTS, atau ujian semester. Cukup digalaukan dengan nilai saja dan tidak dengan pacaran. “Hemat uang juga” katanya. Mending uang yang disisihkan untuk membayar kuliah atau backpackeran, lebih membuat tahu dunia luas daripada dihamburkan untuk hal-hal yang belum jelas, pacaran. Kalau bagiku, jomblo adalah prolog, awal mempelajari karakter. Apa karakter orang berpacaran, apa yang harus dilakukan dan yang tidak. Putus nyambung juga suatu prolog bagi diriku, awal belajar berpacaran dan menyimpulkan, kalau aku belum siap untuk berdua. Bagiku jomblo itu bahagia, bahagia dengan dunianya. Menggoda pasangan orang-orang di jejaring sosial atau di dunia nyata. Daripada pacaran putus nyambung membuat galau dan pekerjaan berantakan, mending sendiri tanpa beban pikiran. Besok juga akan berpasangan jika proses belajarku sudah selesai, selesai menyelesaikan prolog dan melanjutkan hidup kedalam pendahulan dan isi hingga kesimpulan yang happy ending dengan pasangan.
“Obrolanmu itu loh Wan.”
“Kenapa to, benar kan tapi?”
“Ya deh, ngikut. Yuk main bola! Anak-anak sudah pada pulang sekolah tu.”

Jomblo itu suatu awalan, prolog
Lalu berpacaran adalah pendahuluan,
Berumah tangga adalah isi,

Kesimpulannya, memiliki anak dan hidup bahagia.

Cerpen ini dibukukan dalam Buku Sekuntum Melati Pada Event HUT Penerbit Kaifa Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar