PROLOG
Karya : Faiz Deja Ramadhan
Menulis
kisah tentang teman, ku ambil dari kisah nyatanya.
Untuknya Awan.
Aku menceritakan apa
yang ku rasa, ku alami, dan aku pikirkan.
Tentang cinta, tentang
kesendirian.
Sudah lama rasanya aku lulus dari
bangku sekolah menengah atas. Setumpuk pekerjaan terlalu menyita waktuku. Aku
hampir tak dapat menikmati hidup atau bermain seperti kebanyakan remaja
seusiaku, 22 tahun. Sepulang kerja, tak seperti biasanya. Aku duduk termenung
menghadap meja yang penuh dengan buku bacaan, laptop yang masih terbuka sisa
pekerjaanku semalam belum sempat aku beresi. Rasanya sangat penat, tubuh
lunglai dan ingin merebahkan diri di atas kasur yang tak empuk lagi. Hampir
seperti tumpukan sampah, kamarku super berantakan. Aku kumpulkan semangat yang
masih tersisa, mengambil nafas dalam-dalam dan mulai menyusun buku-buku ke
dalam rak. Mengganti sprei kasur dan membereskan baju yang berserakan. Sedikit
demi sedikit mulai terlihat kalau ini adalah kamar remaja tampan. Tampan?
Setidaknya tampan bagi orang tuaku, tapi tidak dengan yang lain. Sampai usiaku
yang sekarang pacaran hanya putus nyambung terus seperti layang-layang.
“Ini baju bersih, yang ini kotor,
bersih lagi, bersih, bersih, kotor, kotor, kotor. Banyak banget yang kotor.”
Mulai melipat baju bersih dan
memasukkannya ke dalam almari kecil di sudut kamar, mataku sudah tak tahan
lagi, badan lengket tak dihiraukan lagi. Ingin segera memejamkan mata. Ternyata
mata belum juga diperbolehkan terpejam, di dalam almari masih saja ada setumpuk
buku yang tidak rapi.
“Apa-apaan ini lemari juga penuh
dengan buku. Duh duh Awan, kamu kemana saja kamar jadi berantakan seperti ini.”
Aku mengobrol dengan diriku
sendiri, menghibur diri dan membuat lelucon agar mata tak semakin berat. Ku
ambil satu buku dari tumpukan di almari. Memilah-milahnya.
“Buang, tidak, tidak, buang,
buang.”
Buku lama, jaman SMA dan buku
bacaan yang sudah kadaluarsa. Beberapa masih dapat ku ingat. Deretan rumus
aljabar, dan kumpulan metode karya ilmiah. Membacanya sedikit mengingat
pelajaran semasa sekolah. Membuka halaman dan mencermati kalimat yang membentuk
paragraf.
“Apa ini?”
Secarik kertas terjatuh dari
halaman buku yang aku baca.
“Hari ini aku bahagia, salamku
disampaikan oleh dua babi kecilku. Sayang lup-lup.”
Diari dalam secarik kertas, seperti
tak mampu saja membeli buku yang dikhususkan untuk menampung curhatku. Aku
mulai tertarik dengan isi kertas itu, rasa kantuk dan lelah tak ku pedulikan
lagi. Mengeluarkan semua buku yang ada di almari paling bawah itu dan membuat
kamar berantakan lagi, penuh dengan buku yang tak jelas. Aku mencari sebuah
buku tulis warna pink dengan sampul bergambar kucing di dalam tong sampah.
Mengutak-atik tak ketemu juga. Hampir saja putus asa. Aku merebahkan badan
diantara tumpukan buku. Mata kembali mengantuk dan terpejam.
***
Aku terengah, saat pagi sudah
menyapa. Kulit terasa lengket, ketiduran tanpa membasuh muka bahkan mandi
terlebih dahulu. Badanku terasa pegal semalaman tidur dalam tumpukan buku yang
hendak aku sortir. Beruntung hari ini libur kerja. Aku basuh muka yang masih
lengket dengan air dingin, biar segar dan tak mengantuk lagi. Sekalian mandi
enak juga, pikirku. Ku buat sereal sekedar pengganjal perut. Melintas di depan
kamar, kamarku tak jadi rapi. Gara-gara buku yang ku obrak-abrik.
“Libur malah bikin masalah
sendiri.” Gumamku.
Satu per satu buku aku masukkan
kantong dan rak, mana yang masih layak simpan, mana yang layak jual. Di
tumpukan terakhir yang akan aku sortir, nyatanya masih tersimpan buku merah
muda itu. Senyum kecil, meraih buku dan membuka halaman paling depan.
“Teruntuknya De, “
Ah rasanya pikiran ini melayang
kembali ke jaman sekolah dulu. Saat cintaku bergejolak akan sosok De yang
menjadi idola. Setiap hari aku menitipkan salamku kepadanya lewat dua sahabat
baikku. Selama tiga tahun aku hanya menjadi pengamat, memendam rasa dan menulis
rasa dalam buku yang masih aku simpan sampai sekarang. Kumpulan puisi yang aku
berikan saat kelulusan tiba, namun memang aku tak harus menjadi pacarnya. Tetap
menjomblo dan menjadi pengagumnya sudah cukup membuatku bahagia, setidaknya ini
menjadi prolog bagiku. Suatu awal belajar bersabar untuk mrncintai seseorang,
yang nyata-nyata acuhkanku dan berpaling kepada yang lain. Mungkin dia tak tahu
kalau aku mencintainya. Tapi aku pernah memberi buku merah muda ini, buku yang
berisi puisi tentang curhatku padanya. Hanya kembali dengan hampa, tak satu
kalimat pun ditulisnya kecuali sekedar kalimat “Maaf aku sudah ada yang punya“.
Suatu pukulan untukku, tetap menjomblo dikala yang lain sudah memiliki
gandengan semasa sekolah. Pilihan yang tepat daripada sekolah keteteran.
Aku masih membaca-baca buku diariku
itu, buku yang sedari malam ingin aku baca. Ingatan tentang masa lalu. Tapi aku
cukup bahagia menjadi seorang jomblo. Setidaknya aku dapat fokus belajar dan
meningkatkan nilai serta popularitas dikalangan siswa dan guru, nilaiku melejit
dari peringkat terbawah menjadi sepuluh besar. Karena aku fokus belajar dan tak
direcoki masalah dengan pacar. Putus, cemburu, atau marahan. Aku hanya menjadi
pengamat teman-temanku yang saling kasmaran di sekolah. Aku bebas, meski
sedikit mengganjal saat hati hanya sebagai pengagum. Sesekali merasa iri dengan
teman yang berjalan dengan bergandengan tangan, atau makan berduaan di kantin,
belai-belai rambut di dalam kelas. Tapi kadang aku juga bilang kalau hal itu
NORAK. Dengan iseng melaporkan mereka ke guru konseling, agar ditindak dan
mengunakan fasilitas sekolah dengan semestinnya. Bukannya aku sirik, tapi
mencoba membenarkan keadaan. Sekolah tempat menuntut ilmu, bukan untuk
bermesraan. Parah. Kalau sampai ada tindakan asusila di sekolah, gempar nanti
seperti di berita-berita nasional. Jomblo jadi pahlawan.
***
Ku buka pintu kamar dan mengeluyur
keluar, hanya dengan kaus oblong dan boxer saja. menengok halaman yang sepi.
Anak-anak masih sibuk di sekolah, tak ada yang bermain bola. Hanya ada Iyan
yang nongkrong di depan kamar kosnya.
“Yan, sendiri aja?” teriakku dari
seberang.
“ Iya, kamu kagak kerja?”
“ Libur, main sini lah. Kita
cerita-cerita.”
“ Cerita apa?”
“ Cerita sesama jomblo!“ Dengan
semangat sambil berteriak lantang.
“ Halah kamu ini.”
Bilang halah, tapi datang juga Iyan
ke kontrakanku.
“Tumben sepi sekali kosmu Wan?”
“Pada mudik kali, anak-anak kampung
juga tak main bola di halaman.”
“Jadi tambah sepi saja hidupmu
kalau seperti ini.”
“Alamak, jomblo bukan berarti
kesepian Yan.”
Aku dan Iyan hanya membicarakan
masalah tak penting. Obrolannya kesana kemari. Mengenang masa lalu, meski
kadang juga berpikir tentang hari esok. Aku merasa kesendiriankun ini penuh
arti. Selepas sekolah, tak lagi aku menemukan siapa itu De, dimana itu De.
Bagiku itu masa lalu yang suram. Hanya pemanis di kala aku menjomblo. Aku
terlalu sibuk dengan dunia kerjaku kini. Meski hanya sebagai buruh serabutan,
tapi cukup menyita waktu. Bahkan aku tak pernah melirik perempuan yang berlalu-lalang.
Pernah beberapa kali pacaran dengan teman yang kemudian menjadi cinta. Berawal
dari jejaring sosial, ketemu, cocok, deal, pacaran. Seperti jargon iklan di
dunia maya.
“Deal sih deal, cocok sih cocok,
tapi hanya sesaat saja.”
“Cinta monyet?” Seru Iyan dengan
semangat meledekku.
“Bukan menurutku, karena aku sudah terlalu
besar untuk merasakan cinta monyet.”
“Monyet galau.” Lagi-lagi kena
ledek dari si Iyan.
Saling tukar cerita akan masa-masa pacaran dan
jomblo dengan Iyan membuat libur ini lebih seru. Dia juga menjomblo, hampir
sama denganku. Hanya sekali saja dia berpacaran. Itupun tak berlangsung lama
pula. Dari obrolan inilah aku dan dia jadi tahu kisah jomblo masing-masing. Ada
benarnya juga dia sendiri, ingin fokus kuliah, sepertiku dulu yang ingin fokus
sekolah. Jomblo bukan berarti tak laku, tapi sibuk dengan karir atau
pendidikan, jangan salah persepsi kau orang berpasang-pasangan.
“Berapa lama kamu pacaran Wan?”
“Pacaran paling lama adalah satu
bulan dan paling pendek satu minggu saja.”
Rekor yang bagus menurutku. Selepasnya aku
lebih senang menggoda orang di jejaring sosial. Memberi harapan palsu dan melemparkan
gombalan. Entah kegilaan apa yang menaungiku. Aku lebih merasa bahwa jombloku
ini menyenangkan daripada berpacaran. Setiap detik ada saja pesan masuk, “lagi
apa, dengan siapa, udah makan belom, jangan lupa makan ya .“
Aku justru tertawa terbahak-bahak
bersama Iyan sambil lempar pandangan, tak bisa ku menahan tawa saat pikiran ini
memutar lagi kenangan itu. Pacaran.
“Dikira aku ini anak kecil harus
dipantau setiap kali.“
“Mending, mending aku jomblo saja
“.
Pacaran itu ribet. Ribet di semua
hal. Emakku saja jarang sekali seperti itu padaku. Tapi terkadang sebel juga kalau ditanya
macem-macem sama teman kerja. “Hei Awan, mana pacar kamu? Tak pernah dikenalkan
ke kita. Kapan kamu nikah? Teman-temanmu sudah pada nikah. kamu homo ya Wan? Kagak
laku-laku.” Ledek Iyan lagi dan lagi.
“Ah aku hanya tersenyum ketika
mereka bilang seperti itu.” Jawabku.
“Kamu tak jawab apa-apa Wan?”
“Ya jawab lah Yan! Terserah aku
lah, aku masih menikmati masa jombloku, kenapa kalian yang sewot.” Jawabku
dengan tegas.
***
Obrolanku dengan Iyan melupakanku
dengan sarapan dan makan siang. Asyiknya saat dua jomblo lagi berbagi pengalaman
tentang kesendirian dan kemunafikan berpacaran. Bilangnya cinta, bilangnya
kangen tapi selingkuh juga. Bilang tidak apa-apa tapi di hati dongkol. Entah
apa yang mereka lakukan, nyatanya dua hati jadi satu. Belahan jiwa tapi banyak
yang ditutup-tutupi, tapi banyak kebohongannya. Bagi Iyan jomblo itu menyenangkan,
tak ada beban selain memikirkan praktikum, UTS, atau ujian semester. Cukup
digalaukan dengan nilai saja dan tidak dengan pacaran. “Hemat uang juga”
katanya. Mending uang yang disisihkan untuk membayar kuliah atau backpackeran,
lebih membuat tahu dunia luas daripada dihamburkan untuk hal-hal yang belum
jelas, pacaran. Kalau bagiku, jomblo adalah prolog, awal mempelajari karakter.
Apa karakter orang berpacaran, apa yang harus dilakukan dan yang tidak. Putus nyambung
juga suatu prolog bagi diriku, awal belajar berpacaran dan menyimpulkan, kalau
aku belum siap untuk berdua. Bagiku jomblo itu bahagia, bahagia dengan
dunianya. Menggoda pasangan orang-orang di jejaring sosial atau di dunia nyata.
Daripada pacaran putus nyambung membuat galau dan pekerjaan berantakan, mending
sendiri tanpa beban pikiran. Besok juga akan berpasangan jika proses belajarku
sudah selesai, selesai menyelesaikan prolog dan melanjutkan hidup kedalam
pendahulan dan isi hingga kesimpulan yang happy ending dengan pasangan.
“Obrolanmu itu loh Wan.”
“Kenapa to, benar kan tapi?”
“Ya deh, ngikut. Yuk main bola!
Anak-anak sudah pada pulang sekolah tu.”
Jomblo itu suatu
awalan, prolog
Lalu berpacaran adalah
pendahuluan,
Berumah tangga adalah
isi,
Kesimpulannya, memiliki
anak dan hidup bahagia.
Cerpen ini dibukukan dalam Buku Sekuntum Melati Pada Event HUT Penerbit Kaifa Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar