SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Jumat, 23 Januari 2015

Karya 36 Dibukukan (Cerpen)


Budaya Pengabdian Sang Abdi Keraton

 Karya : Faiz Deja Ramadhan

Nalika srengenge wus muncul, Bathara Surya anggawa sinar swarga, agawe teranging jagad.
(Ketika matahari terbit, Tuhan memancarkan sinar surga membuat terang dunia).

"Le, bangun le. Sudah pagi ! Jangan mau kalah sama ayam jago. Ayo mandi, sarapan, terus berangkat sekolah." Kakek Rizky membangunkannya.

Matahari sebenarnya belum penuh betul menerpa Bumi, sudah kebiasaan bagi keluarganya untuk bangun  pagi, sholat subuh sebagai awal kegiatan hari ini. Di dapur yang kecil, Ibu Rizky nampak mengepulkan asapnya, memasak untuk sarapan keluarga. Rizky kecil menyandang handuknya siap untuk mandi. Membasuh dengan air hangat yang sudah disiapkan kakeknya tadi sebelum membangunkannya. Bapaknya nampak sibuk menyiapkan peralatan kerja untuk hari ini. Keluarga kecil yang penuh keharmonisan.

Pagi belum juga menunjukkan pukul enam, Rizky sudah dibonceng kakeknya yang berseragam merah putih. Duduk di belakang dengan tempat duduk rotan kecil yang diikat pada dudukan sepeda ontel. Menyusuri jalan kota Jogja yang padat dengan kendaraan, sesekali berpapasan dengan tukang sayur dengan keranjang penuh sayuran yang hendak dijualnya ke pasar. Semangat benar mereka. Kakeknya, Cermo Wicoro mengayuh sepeda dengan pelan namun pasti. Memakai baju kebesaran seorang abdi, dengan bangga melintasi ramainya kota di pagi hari. Tak lama mereka sampai di TK Pamardisiwi.
"Belajar yang benar ya le, jangan main terus !  Nanti siang biar dijemput pakdemu kalo mau menyusul kakek di Keraton." Kata Kakek Rizky.
"Iya kek.” Jawab Rizky.
 Setelah mencium tangan kakeknya, Rizky berbaur dengan kawan yang lain, siap menerima ilmu, menghapal angka, huruf, dan warna yang kelak disusunnya menjadi kata, kalimat, bahkan paragraf untuk merubah Indonesia jika sudah besar nanti. Dia, Rizky Kuncoro Manik, usianya yang masih 5 tahun tak pernah mematahkan semangatnya untuk belajar. Bahkan dibalik senyumnya yang masih polos itu.

Kayuhan sepeda kakeknya semakin kencang untuk mengejar waktu. Dia bergegas ke kantornya, di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu kerajaan yang masih aktif di Nusantara. Warisan budaya yang tak ada duanya setelah perdebatan panjang menggoyahkan posisinya dalam ketetapan Undang-Undang Keistimewaan. Sekarang para abdi dan warga Jogja dapat tersenyum lega, provinsinya sudah menjadi istimewa kembali, dengan Keraton dan kebudayaan yang ada di dalamnya. Semua itu tidak lepas dari perjuangan bersama, termasuk Cermo Wicoro, Kakek Rizky yang sudah berusia 76 tahun itu.

Setelah sampai di regol keraton, dia langsung memarkirkan sepedanya berjajar dengan kendaraan milik abdi dalem yang lain. Ia langsung memulai aktivitas di kerajaan. Tergantung dengan pos masing-masing. Beberapa abdi nampak sibuk memasang sesaji, menyiapkan kemenyan, ada pula yang membersihkan kandang kuda, atau membersihkan halaman keraton hingga sudut-sudut ruangan. Sedangkan Kakek Cermo membersihkan area pedalangan, termasuk tempat yang digunakan untuk berlatih tari setiap minggunya.

Setelah tugas utamanya dikerjakan, para abdi juga menjadi seorang pemandu bagi wisatawan yang datang ke keraton, memberikan keterangan tentang sejarah, tentang budaya, segala hal seisi keraton. Dibalik sosok mereka yang hanya seperti pembantu atau cleaning service, sejatinya abdi dalem adalah pahlawan kebudayaan, saksi serta pelestari budaya Jawa yang masih hidup. Termasuk Kakek Cermo Wicoro, yang sebenarnya tak ternilai pengabdian beliau.
Siang semakin terik,  arus wisatawan tak pernah terbendung. Termasuk aku yang harus berbagi tempat dengan wisatawan lain di halaman keraton yang sejuk. Bangunan tua bersejarah dengan ornamen  Jawa kental. Sedikit terpengaruh arsitektur  Belanda, namun  masih terasa Jawa. Bapak-bapak mengenakan baju biru,  lengkap dengan blangkon  Jogja dan kain. Saling berbincang dengan bahasa Jawa yang tak aku mengerti, sebagian menjelaskan kepada wisatawan lain dengan bahasa Inggris yang lancar. Hebat, dibalik perannya yang hanya sekedar abdi dalem.
Pukul sepuluh, Rizky pulang dari pendidikannya di Taman Kanak-kanak. Tak seperti teman yang lainnya. Pulang sekolah, Ia langsung menemui kakeknya di area keraton Yogyakarta. Dengan diantar pamannya dengan penuh antusias dia mengikuti jejak kakeknya. Panas terik  siang itu tak menyurutkan tekatnya, dengan baju adat Jawa lengkap kini dia bertugas sebagai abdi dalem keraton sesungguhnya. Seorang abdi cilik, penerus dan pelestari budaya Jawa.

Aku melihatnya, di balik kerumunan wisatawan yang hendak berfoto dengannya. Tak terlihat lelah di raut wajahnya meski usianya masih sekecil itu. Tak jarang dia mendapatkan snack dari pengunjung, atau teman kakeknya sesama abdi dalem. Namun bukan itu yang dicari. Dia seperti sudah tau arti sebuah pengabdian. Ketulusan berkorban demi kerajaan tercinta. Mungkin dia tak pernah berpikir untuk bermain seperti teman sebayanya yang sibuk dengan gadget atau jalan-jalan ke mall, dia justru turut berperan menjaga budaya Jawa.

Aku berkesempatan untuk menyapanya, disela-sela perbincangan dengan sesama abdi, aku memotong sebentar.
"Monggo-monggo, mau foto sama Rizky?" Tanya Kakeknya.
"Iya pak, sekalian mau ngobrol-ngobrol sebentar." Jawabku.
"Foto dulu, foto dulu, senyum le senyum, tangannya ngapu rancang, jangan liat ke mana-mana." Perintah kakeknya ketika aku dan Rizky hendak berfoto.
Dengan sigap Rizky memposisikan diri, senyum dan gerik tubuhnya membuat primadona baru. Dia pun nampak senang melihat-lihat hasil jepretan di kameraku, sembari berbincang asyik dengan kakeknya. Dia nampak tak mau banyak bicara, senyum lebih sering menggambarkan suasana hatinya yang ceria. Sementara aku dan kakeknya Rizky, Cermo Wicoro asyik berbincang.
"Rizky itu sudah dari umur satu setengah tahun ikut saya mengabdi disini, saya tidak  pernah mengajaknya. Tapi dia sendiri yang meminta untuk ikut kakeknya di keraton, lama-kelamaan ya seneng tapi dia tetep sekolah dulu, baru sepulang sekolah kesini." Jelas kakeknya menceritakan kebiasaan Rizky.
"Lalu Rizky sendiri kegiatannya di sini apa pak?"
"Ya cuma menemani saya dulu,  sambil belajar, wong dia juga belum bisa apa-apa. Kan yang penting menanam rasa memiliki dulu sambil belajar kebudayaan Jawa."
"Kalau Bapak?"
"Ya kalau saya banyak kerjaannya, kebetulan pengagengnya adalah GBPH Yudoningrat. Tugasnya ya di pedalangan. Kalau saya sudah lama jadi abdi dalem."
"Awal mula mengabdi seperti apa pak? Apa karena tertarik seperti Rizky? "
"Iya, saya tertarik dengan pekerjaan bapak saya dulu. Tapi usianya tidak sekecil Rizky. Awalnya cuma bantuin cari rumput untuk kuda keraton saja, malah keterusan sampai sekarang mengabdinya."
"Ada pekerjaan lain bapak selain mengabdi ?"
" Cuma cari rongsokan aja, barang-barang bekas buat dijual ke pengepul."
Perbincangan terus saja berlanjut, terkadang terpotong karena Rizky dan kakenya harus melayani wisatawan lain, atau aku jadi tukang foto dadakan bagi mereka yang ingin berfoto bersama Rizky. Rizky masih saja nampak serius dengan kameraku.
"Ini gambar bapak ada di sini." Seru rizky yang memanggil kakeknya dengan sebutan bapak, sambil menunjukan sebuah foto di kamera ke kakeknya yang duduk di sebelahku. Dia pun kembali melihat-lihat, diulang dari awal serasa tak pernah puas melihat gambar dirinya. Lalu aku melanjtkan perbincangan kembali.
"Senang bapak jadi abdi dalem?"
"Senang, tapi kesenangan  seorang abdi itu bukan dinilai dari materi atau duniawi agar menjadi keluarga keraton atau apapun. Tapi menjadi abdi adalah kepuasan batin,  ketulusan, dan pengabdian penuh dengan cinta kasih. Bisa dibayangkan Dik, seorang abdi itu cuma mendapat gaji 2000 rupiah setiap bulan, atau bahkan 2000 setiap ada acara kirab. Setahun saja cuma 3 kali kirab."
"Berarti ada abdi yang cuma mendapat bayaran 6000 rupiah saja per tahun?"
"Banyak, tapi kami kan tidak mencari itu. Bahkan gaji dari keraton tidak pernah kami pergunakan untuk memenuhi hidup. Melainkan disimpan sebagai tanda jasa atau timbal balik dari keraton. Bisa juga sebagai pelangenan. Bukan  jimat loh, itu musryik. Hanya disimpan saja sebagai tanda jasa."
"Sampai segitunya pak?"
"Kami dapat melayani keraton saja sudah cukup senang, apalagi digaji. Meski cuma sedikit tapi itu sudah penghargaan bagi kami. Makanya saat keistimewaan Jogja terusik, kami juga sempat protes, bahkan membentuk barisan mempertahankan  keistimewaan.  Mereka itu tau apa tentang Jogja, mau seenaknya merubah-rubah tatanan."
Obrolan berlangsung cukup seru dan panjang, tak ingat waktu berbincang dengan pahlawan budaya ini. Hingga jam di tangan menunjukkan pukul 12.30. Inilah saatnya keraton di tutup untuk umum, dan para abdi harus pulang, begitu juga dengan Rizky. Banyak hal yang aku dapat dari kunjungan ini. Dibalik sosoknya yang terkadang renta, dengan bangga mereka berjalan mengenakan baju kebesaran, baju adat Jawa.  Berjalan penuh makna dan penghormatan terhadap raja dan keluarganya. Melayani dan melestarikan salah satu kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, demi menjaga kehidupan Indonesia yang tetap berbudaya dengan semboyan ke-bhinekaannya. Sejatinya kita dapat belajar tentang pengabdian para abdi dalem. Ketulusan tanpa mengharap imbalan besar. Bukan ingin diberi imbalan layaknya mereka yang haus akan kekuasaan dan materi.

Panasnya  Jogja, terasa redup di bawah pimpinan keraton, dengan abdi dalem yang senantiasa mengabdi, menjaga Negeri Ngayojokarta Hadiningrat. Dengan sepedanya kakek Cermo berpacu dengan waktu, mengejar  waktu  agar dia dapat mencari rongsok untuk menyambung hidup, membuat dapur tetap mengepul,  agar dapat mengabdi sampai kekuatannya tak penuh lagi. Rizky yang nampak lelah  bersandar di kursi boncengan rotan kecilnya. Menikmati alunan sepeda yang berjalan pelan di bawah terik matahari, dan deru kendaraan kota.

Wong urip iku, mung pengabdian, ngabdi marang sing kuasa, ngabdi marang raja, lan negara. Ra usah mikirke  bati, anangin mikirke kesejahteraaning kabeh.
(Hidup itu cuma pengabdian, mengabdi pada Tuhan, pemimpin, dan negara. Tidak usah memikirkan untung, tetapi memikirkan kesejahteraan bersama).

Kebudayaan memang harus dilestarikan namun aktor pelestari kebudayaan seperti para pengabdi keraton Yogyakarta yang selalu ikhlas mengabdi juga merupakan kebudayaan yang tak boleh punah dan bahkan harus selalu kita teladani. Budaya mengabdi dengan tulus serta setia kepada negara menjadi hal yang paling penting untuk patut kita contoh dari seorang abdi dalem, agar Indonesia tetap berbudaya dan agar kita tetap memiliki Wonderful Indonesian Culture

NB: Pengageng=pimpinan; pelangenan=benda kesayangan; regol= pintu gerbang.
Rizky Kuncoro Manik dan Kakeknya, Cermo Kuncoro (di belakang)

Cerita ini adalah salah satu kontributor pada event "Wonderful Indonesian Culture" oleh Sastra SMAN 3 Bantul, DIY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar