Tentang
Duka
Faiz Deja Ramadhan
Kehidupan manusia di planet bumi ini tak
luput dari tujuan dan arti kehidupan yang telah dirangkai oleh Sang Pencipta
yaitu Allah SWT. Sejatinya Allah menciptakan kehidupan manusia melalui
tahapan-tahapan dan proses-proses yang cukup panjang. Diawali dengan penciptaan
alam semesta dimana di dalam alam semesta tersebut terdapat banyak galaksi dan
gugusan bintang sementara di dalam galaksi sendiri terdapat pula tata surya
yang dilengkapi sistem atau tata peredaran banyak planet dan benda-benda langit
seperti komet, bintang, satelit misalnya bulan, meteor dan sebagainya. Allah
pula menciptakan sebuah planet kehidupan yang khusus diperuntukan bagi
ciptaan-Nya yang dikehendaki sebagai makhluk hidup di alam dimensi dunia,
selain malaikat dan iblis. Mahkluk hidup itulah tumbuhan, manusia dan hewan.
Makhluk hidup yang paling sempurna
adalah manusia yang diutus oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi serta
sebagai pemimpin untuk menjaga ciptaan Allah lainnya di dunia. Manusia juga dibekali
oleh akal dan pikiran karena sebagai makhluk sempurna tingkatan nalar manusia pasti
berbeda dengan dua makhluk hidup ciptaan Allah lainnya. Akal dan pikiran manusia
dibekali ke dalam ruh setiap insan agar dapat memberikan manfaat kepada semua
makhluk ciptaan Allah dan manfaat dalam melesetarikan alam semesta serta
manfaat hakiki sebagai seorang hamba terhadap Penciptanya yaitu beribadah
kepada Allah.
Selain akal dan pikiran manusia juga
memiliki kalbu atau perasaan sehingga dia mampu menyeimbangkan ibadahnya kepada
sesama makhluk dan kepada Allah. Namun di dalam segala proses pasti akan ada
akhir kecuali dunia akhirat yang kekal atau abadi. Kehidupan manusia pun dapat
sewaktu-waktu kembali kepada Sang Khaliq sebagai Maha Pencipta yaitu Allah,
dengan bantuan Izrail yang bertugas sebagai malaikat pencabut nyawa, Allah
tidak akan pernah sulit mengambil ruh kita untuk kembali di sisi terdekat-Nya.
Allah memanggil hambanya atas dasar ketentuan yang telah Dia buat dan tergariskan
dalam takdir-Nya di Lauhul Mahfuzh sejak alam semesta ini belum diciptakan,
dapat dikatakan semacam skenario besar, panjang dan detail untuk semua
hamba-Nya. Setidaknya itulah pelajaran yang aku dapatkan ketika hari itu, hari
tentang duka menyelimuti keluarga besarku, hari yang benar-benar baru aku
pahami saat aku dewasa.
Hari itu merupakan pelajaran baru
bagiku, ketika aku melihat Desi kecil yang mungkin masih begitu belia untuk
mengingat kejadian itu. Setahu dia hanya kumpulan orang yang penuh riuh di
halaman. Saat itu tangis pecah menyambut Bapak Desi yang diantar ambulan.
Badannya sudah putih berbalut kafan, aku menangis tersedu di bawah pohon pisang
yang tumbuh rimbun di halaman.
Tak aku sangka, keluarga juga berpikir
semacam itu. Baru saja kemarin paman masih mengayunkan cangkulnya di sawah,
tepat pukul tiga sore tenaganya tak lagi kuat menumpu badannya di bawah
matahari yang mulai condong. Panas seharian membuat kehilangan banyak daya. Dia
ditemukan tergeletak di pematang yang hijau. Saat itu pula rumah sakit tak
mampu menolong nyawanya. Rasa sedih bercampur amarah saat pihak rumah sakit
tidak memperbolehkan keluarga melihat tubuh paman di ruang pemeriksaan hanya
karena jam malam telah larut, padahal saat itu kondisinya kritis. Masih ingat
betul saat budhe marah-marah ke petugas rumah sakit.
“Kami
hanya mau lihat kondisi adik kami, dia sedang kritis. Apa Bapak tidak iba? Bagaimana
kalau bapak ada di posisi kami?” Ujar Budhe.
Petugas
hanya diam dan tak mengizinkan masuk hingga dokter memberitahu kalau nyawa
paman sudah tak tertolong lagi. Sontak amarah tak terbendung lagi, bercampur
duka yang mendalam, caci maki lancar keluar dari mulut budhe.
“Bagaimana
kalau seperti ini kejadiannya, Bapak tidak mengijinkan kami masuk. Sekarang
adik kami sudah tak terselamatkan. Kami tidak pernah melihat dia bernafas untuk
yang terakhir kalinya Pak. Apa Bapak dapat menghidupkan kembali. Peraturan ya
peraturan, tapi kalau seperti ini kejadiannya bagaimana?”
Penjaga
rumah sakit hanya diam, tak sepatah kata dapat dia balas.
Keluarga hanya berlinang tangis kini, melihat
jasad sudah berbungkus kain putih dalam peti mati yang sederhana. Warga berkumpul
tanda duka. Mengerumuni, berkumpul di rumah duka. Aku masih melihat Desi dengan
asyik bermain, tertawa, bahkan tak mengerti duka itu. Ibunya bersandar di tembok
yang bisu, menangis tersedu tanpa air mata. Kantung air matanya sudah pecah
menganak sungai hingga tangisnya kering dan pilu. Tangannya masih juga meraba
perutnya yang besar karena kandungannya sudah memasuki tengah masa kandungan.
Anak perempuan yang di kandungnya tak akan dapat merasakan kasih sayang seorang
bapak. Dua anak yang yatim.
Pukul dua jasad itu dimakamkan tepat di
pemakamam yang letaknya di belakang rumah. Memudahkan jika ingin menjenguknya.
Masih ada tangis, aku juga tak paham benar apa yang terjadi sebenarnya. Masih
SD waktu itu, setahuku dia adalah sosok yang selalu membahagiakanku sebagai keponakannya,
memberikan hadiah saat kenaikan kelas dengan prestasi bagus.
Mereka yang penuh duka masih mengerumuni
pusara tak tega meninggalkan dia sendiri dikubur tanah, ditanya para malaikat.
Semua harus terjadi, ketegaran sering diuji dengan hal semacam ini, duka hanya
di awal saja.
“Bapak
kemana?” Tanya Desi kecil yang tak berdosa.
“Bapak
lagi pergi, besok kalau sudah gede pasti tau bapak kemana.”
Mungkin
dalam benak Desi, dia akan menunggu hingga dewasa tiba, mengetahui kemana
bapaknya pergi. Ke surga. Dia masih menjalani harinya dengan riang layaknya anak-anak
lain, istri paman yang sedang mengandung selalu menghibur dengan menjaga
kandungannya. Orang tuanya mendampingi dan memberi semangat untuk berjuang
menjadi single mother, begitu juga
kami. Melupakannya itu tidak mungkin, tapi mengingatnya telah pergi hanya
membuat kesedihan, anggap saja dia masih bersama, mengawasi dan menjaga dari
dunia yang lain.
Aku selalu ke makamnya begitu juga
dengan Desi dan yang lainnya, memberikan bunga dan mendoakannya, menunjukkan
raport kenaikan kelasku yang sempurna. Menjadi yatim dan single mother tak membuat patah semangat istri dan anak-anak paman,
kami hidup dan dia juga hidup di dunia yang abadi.
Hingga anak keduanya, Rama melihat dunia
dan kehadirannya masih selalu dirasakan menemani di sisi kami, itu yang membuat
ketegaran masih kuat saat ditinggal pergi. Ketegaran kami tak dapat diungkap
atau digambarkan, tangisan telah mengkristal menjadi bara yang menyemangati
hidup kami untuk menatap masa depan, tanpanya, dengannya yang jauh. Kami
bersedih atas apa yang tak perlu kami tangisi, tapi Allah mengatakan tentang sebuah
kebijaksanaan, manusia yang bijak tak akan menangisi mereka yang mati atau yang
hidup, tapi mereka yang selalu menengadah dan membaca syukur, merendahkan diri
atas apa yang Allah ujikan sehingga manusia mengerti bahwa segala sesuatu yang
terjadi hanyalah karena Allah dan semata-mata atas kehendak-Nya.
Seperti kutipan ayat suci yang telah
difirmankan oleh Allah Subhana Wa Taala dalam Al-Qur’an sebagai kitab bagi para
hamba-Nya yaitu : “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un” (انا لله وانا اليه راجعون) yang merupakan potongan dari ayat Al-Quran,
dari Surah Al-Baqarah,
ayat 156. Dengan isi penuh ayat tersebut adalah:
الذين اذا اصابتهم مصيبة قالوا انا لله وانا اليه راجعون
"(Yaitu)
orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh suatu kesusahan, mereka berkata:
Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami
kembali."
Cerita ini adalah salah satu kontributor pada event cerpen "Semua Karena Allah" oleh Ar Rahman Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar