Pak Parno
Karya : Faiz Deja Ramadhan
Matahari
begitu terik di ubun ubun, aspal yang lekam memantulkan sinarnya membuat
keringat bercucuran. Lelaki tua mengayuh becaknya dengan nafas panjang, ibu-ibu yang lebih tua duduk di depan dengan
bakul penuh dagangan. Sudah kebayang betapa beratnya ayunan pedal becak itu.
Kota Jogja tidak begitu bersahabat saat kemarau tiba bagi abang becak, apalagi
saat ini menarik becak
bukanlah mata pencaharian yang diunggulkan. Jasanya tak lagi banyak dicari orang,
mereka kalah dengan bus trans Jogja atau angkutan yang lebih cepat dan
murah. Parno nampak masih setia dengan becak tua warisan mertuanya. Dia hanya
meneruskan usaha mertuanya yang telah meninggal, karena memang tahun 1987 becak
masih menjadi primadona. Setelah Parno
terkena PHK dari perusahaan tempatnya bekerja, dia memutuskan mengambil alih becak
tersebut demi menghidupi istri dan kedua anaknya.
Suparno
tidak pernah mendapat restu dari orang tuanya, karena menikahi Marsinah seorang
gadis miskin yang lebih miskin darinya, namun cinta mempersatukan mereka hingga
keduanya dikaruniai dua orang anak, Pargiyanto yang besar dan Riyan yang lebih kecil. Keluarga ini nampak
bahagia meski dalam pikiran mereka kemelut selalu ada. Konflik rumah tangga sering
muncul antara keduanya, Parno yang hanya lulusan SD tak cukup memiliki keterampilan untuk bekerja di sektor yang lebih
tinggi, paling jauh menjadi buruh bangunan. Keputusan hebat dibuat oleh kedua
pasangan itu, Marsinah sang istri memilih pergi merantau demi masa depan kedua
anaknya, ketika inilah
pengorbanan masing-masing terbagi. Marsinah sebagai pengumpul pundi-pundi untuk
sekolah kedua anaknya agar tak hanya tamat SD seperti kedua orang tuanya.
Sedangkan Parno
yang lebih lemah dalam keterampilan
harus mengurus anak dan memberi makan keduanya.
Anak-anak
Parno semakin tumbuh dewasa dan menjadi sosok pendiam dengan
jalan pikiran masing-masing, mereka mandiri dan bertindak hati-hati seperti
bapaknya. Keduanya adalah sosok cinta damai karena memang ajaran dari bapaknya
yang selalu tenang dan keluarga harmonis meski banyak kekurangan. Parno bukan
sekedar bapak yang baik untuk anak-anak, namun dia adalah bapak yang tak kenal
lelah merawat anaknya seorang diri kala hidupnya susah. Berkah bagi Parno
adalah ketika Tuhan menyelamatkan nyawanya dari musibah gempa bumi yang melanda
Jogja tahun 2006 lalu, saat yang lain masih terlelap, berkat kerajinannya dia
sudah memasak di dapur, alhasil banyak korban berjatuhan karena tertimpa
reruntuhan rumah, sedangkan Parno masih dapat menyelamatkan diri karena dia telah terjaga.
Tahun 2009 istrinya pulang ke tanah
air setelah sekian lama berpisah. Salah satu anaknya sudah menjadi pegawai
negeri di jajaran angkatan udara, sedangkan si kecil sudah bekerja di sebuah
toko retail yang besar di Indonesia.
Ini salah satu gambaran dari jerih payah seorang bapak yang berjuang sendiri,
seorang laki-laki yang mengesampingkan ego dan mau berbagi dengan istri dalam
berbagai hal, tak pernah mengeluh, membentak, bahkan meluapkan emosi yang membuat
keluarga merasa
tidak nyaman, perjuangannya ada karena
dia tahu kalau suatu saat kebahagiaan akan datang dalam keluarga kecilnya.
Sampai
kisah dari temanku ini aku tulis, Pak Parno masih menjadi bapak yang baik, tak
pernah ada masalah dalam keluarganya.
Namun dia tak lagi mengayuh becak, tetapi menjadi tukang bangunan yang turut
membangun negeri.
Tidak hanya membangun karakter
anak-anak dan keluarga kecilnya yang
bahagia meski serba kekurangan.
Cerita ini adalah salah satu kontributor pada "Catatan Cinta untuk Ayah" oleh Fp. Bidadari Bercadar Pelangi dan Penerbit Asrifa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar