Nalika
srengenge wus muncul, Bathara Surya anggawa sinar swarga, agawe teranging jagad.
(Ketika matahari terbit, Tuhan
memancarkan sinar surga membuat terang dunia).
"Le,
bangun le. Sudah pagi !
Jangan mau kalah sama ayam jago. Ayo mandi, sarapan, terus berangkat sekolah." Kakek Rizky membangunkannya.
Matahari sebenarnya belum penuh betul menerpa Bumi, sudah kebiasaan bagi keluarganya untuk bangun
pagi, sholat subuh sebagai awal kegiatan hari ini. Di dapur yang kecil, Ibu Rizky nampak mengepulkan asapnya, memasak untuk sarapan
keluarga. Rizky kecil menyandang handuknya siap untuk mandi. Membasuh dengan air
hangat yang sudah disiapkan kakeknya tadi sebelum membangunkannya. Bapaknya nampak sibuk
menyiapkan peralatan kerja untuk hari ini. Keluarga kecil yang penuh
keharmonisan.
Pagi belum juga menunjukkan pukul enam, Rizky sudah dibonceng kakeknya yang berseragam merah putih. Duduk di belakang dengan tempat
duduk rotan kecil yang diikat pada dudukan sepeda ontel. Menyusuri jalan kota Jogja yang padat dengan kendaraan, sesekali berpapasan
dengan tukang sayur dengan keranjang penuh sayuran yang hendak
dijualnya ke pasar. Semangat benar mereka. Kakeknya, Cermo Wicoro mengayuh sepeda dengan pelan namun pasti. Memakai baju kebesaran seorang abdi, dengan bangga melintasi ramainya kota di pagi hari. Tak lama mereka
sampai di TK Pamardisiwi.
"Belajar
yang benar ya le, jangan main terus ! Nanti
siang biar dijemput pakdemu kalo mau menyusul kakek di Keraton." Kata Kakek Rizky.
"Iya
kek.”
Jawab Rizky.
Setelah mencium tangan kakeknya, Rizky berbaur dengan kawan yang lain, siap menerima
ilmu, menghapal
angka, huruf, dan warna yang kelak disusunnya menjadi kata, kalimat, bahkan
paragraf untuk merubah Indonesia jika sudah besar nanti. Dia, Rizky Kuncoro Manik, usianya yang masih 5 tahun tak pernah mematahkan
semangatnya untuk belajar. Bahkan dibalik senyumnya yang masih polos itu.
Kayuhan sepeda kakeknya semakin kencang untuk mengejar waktu.
Dia bergegas ke kantornya, di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu kerajaan yang masih aktif di Nusantara. Warisan budaya yang tak ada duanya setelah
perdebatan panjang menggoyahkan posisinya dalam ketetapan Undang-Undang Keistimewaan. Sekarang para abdi dan warga Jogja dapat tersenyum lega, provinsinya sudah menjadi
istimewa kembali, dengan Keraton dan kebudayaan yang ada di dalamnya. Semua itu
tidak lepas dari perjuangan bersama, termasuk Cermo Wicoro, Kakek Rizky yang sudah berusia 76 tahun itu.
Setelah
sampai di regol keraton, dia langsung memarkirkan sepedanya berjajar dengan
kendaraan milik abdi dalem yang lain. Ia langsung memulai aktivitas di
kerajaan. Tergantung dengan pos masing-masing. Beberapa abdi nampak sibuk memasang sesaji,
menyiapkan kemenyan, ada pula yang membersihkan kandang kuda, atau membersihkan
halaman keraton
hingga sudut-sudut ruangan. Sedangkan Kakek Cermo membersihkan area pedalangan, termasuk tempat
yang digunakan untuk berlatih tari setiap minggunya.
Setelah tugas utamanya dikerjakan, para abdi juga menjadi seorang pemandu bagi wisatawan yang
datang ke keraton,
memberikan keterangan tentang sejarah, tentang budaya, segala hal seisi keraton. Dibalik sosok mereka yang hanya seperti
pembantu atau cleaning service, sejatinya abdi dalem adalah pahlawan kebudayaan,
saksi serta pelestari budaya Jawa yang masih hidup. Termasuk Kakek Cermo Wicoro, yang sebenarnya tak ternilai pengabdian beliau.
Siang
semakin terik, arus wisatawan tak pernah terbendung. Termasuk
aku yang harus berbagi tempat dengan wisatawan lain di halaman keraton yang sejuk. Bangunan tua bersejarah dengan
ornamen Jawa kental. Sedikit terpengaruh arsitektur Belanda, namun masih
terasa Jawa. Bapak-bapak mengenakan baju biru,
lengkap dengan blangkon Jogja dan kain. Saling berbincang dengan bahasa Jawa yang tak aku mengerti, sebagian menjelaskan kepada wisatawan
lain dengan bahasa Inggris yang lancar. Hebat, dibalik perannya
yang hanya sekedar abdi dalem.
Pukul sepuluh, Rizky pulang dari pendidikannya di Taman Kanak-kanak. Tak seperti teman yang lainnya. Pulang
sekolah, Ia langsung
menemui kakeknya di area keraton Yogyakarta. Dengan diantar pamannya dengan penuh
antusias dia mengikuti jejak kakeknya. Panas terik siang
itu tak menyurutkan tekatnya, dengan baju adat Jawa lengkap kini dia bertugas sebagai abdi dalem keraton sesungguhnya. Seorang abdi cilik, penerus dan
pelestari budaya Jawa.
Aku melihatnya, di balik kerumunan wisatawan yang hendak berfoto
dengannya. Tak terlihat lelah di raut wajahnya meski usianya masih sekecil itu.
Tak jarang dia mendapatkan snack dari pengunjung, atau teman kakeknya sesama
abdi dalem. Namun bukan itu yang dicari. Dia seperti sudah tau arti sebuah
pengabdian. Ketulusan berkorban demi kerajaan tercinta. Mungkin dia tak pernah
berpikir untuk bermain seperti teman sebayanya yang sibuk
dengan gadget atau jalan-jalan ke mall, dia justru turut berperan
menjaga budaya Jawa.
Aku berkesempatan untuk menyapanya, disela-sela perbincangan dengan
sesama abdi, aku memotong sebentar.
"Monggo-monggo,
mau foto sama Rizky?" Tanya Kakeknya.
"Iya
pak, sekalian mau ngobrol-ngobrol sebentar." Jawabku.
"Foto dulu, foto dulu, senyum le senyum, tangannya ngapu rancang,
jangan liat ke mana-mana." Perintah kakeknya ketika aku dan
Rizky hendak berfoto.
Dengan
sigap Rizky memposisikan diri, senyum dan gerik tubuhnya
membuat primadona baru. Dia pun nampak senang melihat-lihat hasil jepretan di
kameraku, sembari berbincang asyik dengan kakeknya. Dia nampak tak mau banyak
bicara, senyum lebih sering menggambarkan suasana hatinya yang ceria. Sementara
aku dan kakeknya Rizky, Cermo Wicoro asyik berbincang.
"Rizky
itu sudah dari umur satu setengah tahun ikut saya mengabdi disini, saya tidak pernah
mengajaknya. Tapi dia sendiri yang meminta untuk ikut kakeknya di keraton, lama-kelamaan ya seneng tapi dia tetep sekolah
dulu, baru sepulang sekolah kesini." Jelas kakeknya
menceritakan kebiasaan Rizky.
"Lalu
Rizky sendiri kegiatannya di sini apa pak?"
"Ya
cuma menemani
saya dulu,
sambil belajar, wong dia juga belum bisa apa-apa. Kan
yang penting menanam rasa
memiliki dulu sambil belajar kebudayaan Jawa."
"Kalau
Bapak?"
"Ya
kalau saya banyak kerjaannya, kebetulan pengagengnya adalah GBPH Yudoningrat. Tugasnya ya di pedalangan. Kalau saya
sudah lama jadi abdi dalem."
"Awal
mula mengabdi
seperti apa pak? Apa karena
tertarik seperti
Rizky? "
"Iya,
saya tertarik dengan pekerjaan bapak saya dulu. Tapi usianya tidak sekecil Rizky. Awalnya cuma bantuin cari rumput untuk kuda keraton saja, malah keterusan sampai sekarang
mengabdinya."
"Ada
pekerjaan lain bapak selain mengabdi ?"
" Cuma
cari rongsokan aja, barang-barang bekas buat dijual ke pengepul."
Perbincangan
terus saja berlanjut, terkadang terpotong karena Rizky dan kakenya harus melayani wisatawan lain, atau
aku jadi tukang foto dadakan bagi mereka yang ingin berfoto
bersama Rizky. Rizky masih
saja nampak serius dengan kameraku.
"Ini
gambar bapak ada di sini." Seru rizky yang memanggil kakeknya dengan sebutan
bapak, sambil menunjukan sebuah foto di kamera ke kakeknya yang duduk di sebelahku. Dia
pun kembali melihat-lihat,
diulang dari awal serasa tak pernah puas melihat gambar dirinya.
Lalu aku melanjtkan perbincangan kembali.
"Senang
bapak jadi abdi dalem?"
"Senang, tapi kesenangan seorang abdi itu bukan dinilai dari materi atau duniawi agar menjadi
keluarga keraton
atau apapun. Tapi menjadi abdi adalah kepuasan batin, ketulusan,
dan pengabdian penuh dengan cinta kasih. Bisa dibayangkan Dik, seorang abdi itu cuma mendapat gaji 2000 rupiah
setiap bulan, atau bahkan
2000 setiap ada acara kirab. Setahun saja cuma 3 kali kirab."
"Berarti
ada abdi yang cuma mendapat bayaran 6000 rupiah saja per tahun?"
"Banyak,
tapi kami kan tidak mencari itu. Bahkan gaji dari keraton tidak pernah kami pergunakan untuk memenuhi
hidup. Melainkan disimpan sebagai tanda jasa atau timbal balik dari keraton. Bisa juga sebagai pelangenan. Bukan
jimat loh, itu musryik. Hanya disimpan saja sebagai tanda jasa."
"Sampai
segitunya pak?"
"Kami
dapat melayani keraton saja sudah cukup senang, apalagi digaji. Meski
cuma sedikit tapi itu sudah penghargaan bagi kami. Makanya saat keistimewaan Jogja terusik, kami juga sempat protes, bahkan
membentuk barisan mempertahankan keistimewaan. Mereka
itu tau apa tentang Jogja, mau seenaknya merubah-rubah tatanan."
Obrolan
berlangsung cukup seru dan panjang, tak ingat waktu berbincang dengan pahlawan
budaya ini. Hingga jam di tangan menunjukkan pukul 12.30. Inilah saatnya
keraton di tutup untuk umum, dan para abdi harus pulang, begitu juga dengan Rizky. Banyak hal yang aku dapat dari kunjungan ini. Dibalik sosoknya yang terkadang renta,
dengan bangga mereka berjalan mengenakan baju kebesaran,
baju adat Jawa. Berjalan
penuh makna dan penghormatan terhadap raja dan keluarganya. Melayani dan
melestarikan salah
satu
kebudayaan
lokal yang ada di Indonesia, demi menjaga kehidupan Indonesia yang tetap
berbudaya dengan semboyan ke-bhinekaannya. Sejatinya kita dapat belajar tentang pengabdian
para abdi dalem. Ketulusan
tanpa mengharap imbalan besar. Bukan ingin diberi imbalan layaknya mereka yang
haus akan kekuasaan dan materi.
Panasnya Jogja, terasa redup di bawah pimpinan keraton, dengan abdi dalem yang senantiasa mengabdi, menjaga Negeri Ngayojokarta Hadiningrat. Dengan sepedanya kakek Cermo berpacu dengan waktu, mengejar waktu
agar dia dapat mencari rongsok untuk menyambung hidup,
membuat dapur tetap mengepul, agar dapat
mengabdi sampai kekuatannya tak penuh lagi. Rizky yang nampak lelah
bersandar di kursi boncengan
rotan kecilnya. Menikmati
alunan sepeda yang berjalan pelan di bawah terik matahari, dan deru kendaraan
kota.
Wong
urip iku, mung pengabdian, ngabdi marang sing kuasa, ngabdi marang raja,
lan negara. Ra usah mikirke bati,
anangin mikirke kesejahteraaning kabeh.
(Hidup itu cuma pengabdian, mengabdi pada Tuhan, pemimpin, dan negara. Tidak usah memikirkan
untung, tetapi memikirkan kesejahteraan bersama).
Kebudayaan memang harus
dilestarikan namun aktor pelestari kebudayaan seperti para pengabdi keraton
Yogyakarta yang selalu ikhlas mengabdi juga merupakan kebudayaan yang tak boleh
punah dan bahkan harus selalu kita teladani. Budaya mengabdi dengan tulus serta
setia kepada negara menjadi hal yang paling penting untuk patut kita contoh
dari seorang abdi dalem, agar Indonesia tetap berbudaya dan agar kita tetap
memiliki Wonderful Indonesian Culture.
NB:
Pengageng=pimpinan; pelangenan=benda
kesayangan; regol= pintu gerbang.
Rizky Kuncoro Manik dan Kakeknya, Cermo
Kuncoro (di belakang)