Rupiah dan Mimpi
oleh: Faiz Deja Ramadhan
Angin terasa dingin, rembulan tak terlihat bertengger meski gelap
belum juga hilang. Matahari seperti masih lama untuk menampakkan dirinya. Emak
terlihat sibuk di dapur, ditemani Tia yang sedang mengiris-iris bumbu.
Laki-laki yang lainnya nampak sibuk mempersiapkan alat berkebun. Aku pun masih
saja mengusap mataku tanda mengantuk.
"Dik, ayo bangun! Mandi dan bersiap-siaplah ke sekolah.” Emak
berseru memanggilku.
Jam empat pagi, rutinitas di mulai. Aku dan anak-anak lainnya pergi ke
sungai untuk membasuh badan ini. Dengan senter di helm kepala dan senter-senter
kecil yang tak terlalu terang, kami menelusuri goloran, semak-semak kebun sawit
yang rimbun. Tanah becek sisa hujan semalam, beruntung sungai tak meluap, meski
cokelat warnanya. Kami sudah terbiasa, bahkan gatal sudah tak terasa. Dingin terasa menusuk-nusuk, namun
celoteh kami kadang membuat suasana menjadi hangat. Ada kerinduan akan air
bersih yang lebih sehat. Satu-satunya air bersih di daerah tempat tinggalku ini
hanyalah air hujan yang biasa ditampung dengan ember dan digunakan untuk
memasak.
Pukul lima, semua penghuni barak sudah pergi ke kebun, merawat tanaman
sawit atau
memanennya.
Menyisakan anak-anak kecil yang dirawat di TPA dan kami yang setia menunggu
truk jemputan datang mengangkut kami ke sekolah, tentunya setelah truk itu
mengantar karyawan ke kebun. Tapi
pagi ini sepertinya kami harus menunggu lebih lama, pukul enam lebih truk
jemputan tak kunjung datang. Hingga salah satu karyawan kebun yang bertugas di
tempat kami menunggu truk jemputan sekolah pun berkata:
"Kalian
jalan dulu saja ke sekolah, truknya terjebak lumpur di Echo 5." Jelasnya.
Lalu kami pun harus berjalan kaki, rutinitas yang sebenarnya sudah biasa kami
lakukan.
Sekolah berjarak hampir delapan kilometer, tiga jam jalan kaki itu kalau
normal. Kalau habis hujan, tentu ada parit yang meluap dan juga jalan akan
berlumpur, maka waktu berjalan bakal lebih lama. Paling sampai sekolah sudah
sangat telat dan ketinggalan pelajaran. Itu hal biasa bagi kami. Tak ada yang
pandai di sekolah. Paling juga kalau lulus hanya menjadi buruh di kebun sawit,
atau kalau ijazahnya tinggi hanya sebagai kerani. .
"Hampir tiap hari kita jalan kaki, apa
harus kita tinggal di sekolah saja biar tidak pernah ketinggalan
pelajaran?" Tanyaku pada teman-teman.
"Hahaha,
lucu kamu Dik, dikira sekolah itu penginapan." Kata salah satu temanku.
Kadang
bercanda di jalan menjadi penghibur agar tidak lelah, namun sebenarnya masih
ada kerisauan, bagaimana nanti pulang sekolah.
Tiga jam lebih berjalan, dan sampailah di dalam kelas. Kaki terlihat
seperti badak yang bermain dalam kubangan, keringat bercucuran, beruntung tidak
turun hujan. Kelas masih saja sepi, ternyata semua siswa tidak mendapatkan truk
jemputan. Hanya beberapa siswa terlihat membersihkan diri di samping bangku
mereka, Bu Ani pun masih sibuk menidurkan anaknya, agar tak mengganggu
pelajaran. Terkadang perjuangan yang berat tak sebanding dengan ilmu yang kami
dapat, hari ini saja langsung dimulai dengan pelajaran berenang. Pengambilan
nilai, satu per satu siswa berenang di kolam renang panjang dan keruh, Sungai.
Tentu saja kami tak dapat berenang dengan mulus, was-was jika banjir tiba. Kami
juga tak begitu serius menghafal rumus-rumus atau pelajaran sejarah. Terkadang
guru di kelas juga lupa akan rumus-rumus itu. Mereka bahkan tak lebih pintar dari
kami, beda dengan guru-guru di Pulau Jawa. Meski aku tak pernah diajar di sana
tapi bapak dan ibuku selalu menceritakan guru-guru mereka yang baik-baik
berbeda jauh dengan guru-guruku di sini. Pelajaran hari ini berakhir pukul
satu, kami pulang dengan truk yang sama dengan buruh-buruh berkeringat dari
kebun, beberapa diantaranya adalah keluargaku.
Sepulang dari sekolah dan ladang, rutinitas biasanya kalau tidak memancing
paling juga mencari sayur di kebun. Musim hujan membuat tukang sayur jarang ke
tempat kami. Memetik cabai, atau terung di sela-sela tanaman sawit yang
ditutup-tutupi agar tidak ketahuan mandor. Kami bahkan jarang belajar.
Buku-buku saja kami tidak punya, hanya catatan saja. Tapi sesekali kami belajar
bersama, sekedar mengerjakan tugas selepas mencari sayur. Sampai di rumah, aku rasanya lelah sekali
dengan kejadian hari ini hingga berkata:
"Mak, kenapa sih aku harus sekolah
susah-susah, capek, dan tidak pintar-pintar juga?"
"Terus maumu apa Dik? Berhenti sekolah
seperti emak dan bapakmu ini? Hanya menjadi buruh di kebun?" Jawab emak
yang terlihat heran dengan pertanyaanku.
"Kan
aku sekolah hanya mau cari duit kan Mak? Kenapa tidak kerja di kebun saja dari
sekarang?" Jawabku lagi menentang.
"Hidup
ini tidak hanya disini Dik, besok kalau kita kembali ke Jawa kamu mau jadi apa?
Sekolah dasar saja tidak lulus." Ibu seperti berusaha meyakinkan.
"Apa
bisa bersaing, pendidikan disini seperti apa Mak? Tidak pintar-pintar, bahkan
gurunya saja mungkin tidak pintar."
"Kamu
takut bersaing? Apalagi kalau kamu tidak sekolah, kamu mau mulai bersaing saja
pasti tidak bisa Dik." Kata-kata Ibu terakhir sebelum aktivitasnya
dilanjutkan untuk sholat.
Terkadang aku berpikir, aku dan teman-temanku, bahkan keluargaku harus
susah
payah hidup
di barak tengah hutan tanpa penerangan listrik yang memadai, dengan makan
seadanya dan fasilitas minim. Sekolah bagi kami hanya sebagai syarat untuk
mendapatkan ijazah, cukup di situ saja. Kalau disuruh bersaing tentu susah.
Perjuangan kami berjalan atau bahkan berdesak-desakan dengan buruh di dalam bak
truk tak pernah terbayar impas dengan ilmu dan masa depan yang baik. Banyak
orang-orang di kampungku yang tak terubah nasibnya sekalipun dia pintar dan
bersekolah. Nasibnya hanya akan sama saja dengan mereka-mereka yang mengalami
putus sekolah. Ini menjadi pembelajaranku. Aku punya banyak mimpi, begitu juga
keluarga dan teman-temanku yang memiliki cita-cita. Tapi entah cita-cita itu
akan seperti apa, kalau banyak orang yang melihat film seperti laskar pelangi,
bahkan kami lebih parah dan belum memiliki ‘happy ending’.
Aku tak lagi memandang masa depan itu luas, tak pernah lagi aku berangkat
sekolah. Sekalipun emak dan bapak membujukku lagi dan lagi. Sekumpulan uang
membuatku agak tergiur, meski usiaku masih dua belas tahun, ini bukan suatu
paksaan bagiku untuk bekerja, bahkan mandor harus memalsukan dataku agar tidak
dilaporkan ke atasan karena memperkerjakan anak di bawah umur.
Sekarang tinggal, adikku Tia yang masih bersekolah, dia sepertinya tak
pernah mengeluh akan pendidikannya, tidak seperti dua saudaranya yang putus
sekolah dan memilih menjadi buruh kebun. Setidaknya Tia tak ingin mengecewakan
orang tua kami yang telah mengeluarkan Rupiah hasil pengkristalan keringat
mereka, meski hasil dari sekolahnya masih angan-angan.
Tia dan teman-temannya, masih harus berjuang hanya untuk sebagian ilmu
yang jauh dari harapan, terkadang aku juga termenung sendiri di tengah
pekerjaan yang belum usai, sembari meneguk air minum dari botol, mungkin lelah, atau aku
merasa menyesal akan keputusanku.
Entahlah. Tapi inilah jalan yang sudah aku ambil, buah simalakama,
sekolah serasa menyiksa dengan perjuangan tiada akhir bagiku dan hasil entah
seperti apa nantinya. Mungkin aku yang terlalu bodoh untuk memahami itu. Namun
sekolah juga selama ini tidak merubah nasib orang tuaku dan beberapa
orang-orang di kampungku. Mereka hanya menamatkan sekolah lalu kembali lagi
bekerja menjadi budak-budak dan buruh-buruh yang kelelahan di tengah terik
panas matahari di tengah ladang sawit.
Bagi sebagian orang di daerahku bersekolah hanyalah untuk mengisi
kegiatan masa depan akan pasti menjadi budak-budak kebun sawit. Namun aku juga
berpikir bahwa bekerja juga seperti itu, lelahnya bukan main dan belum pantas
bagiku mungkin, namun uang telah membuatku untuk memutuskan masa depanku. Paling
tidak aku bertanggung jawab atas keputusanku. Aku tetap menjalani apa yang
telah aku putuskan dan tidak akan pernah menyesal. Karena menbyesal hanyalah
suatau hal yang sia-sia diutarakan dan dilakukan. Setidaknya ini adalah gambaran
pendidikan Indonesia yang katanya sudah didesain dengan apik, kurikulum yang
selalu berganti tiap menteri, pelajaran moral, kedisiplinan, kecanggihan
teknologi dan informasi, modernisasi tingkah laku dengan bahasa asing tak
pernah berpengaruh bagi kami yang masa depannya tergadaikan, para siswa yang
bimbang untuk lanjut sekolah, atau berhenti dan menjadi buruh kebun.
Satu hal yang pasti, kami masih punya cita-cita, mimpi tentang
pendidikan yang lebih baik, dan juga masa depan. Di dalam hatiku memang amsih
tersirat perasaan untuk kembali bersekolah tapi apa day hal itu tidak akan
mungkin aku lakukan. Namun aku masih berharap akhir cerita kami di sini menjadi
indah seperti film-film motivasi.
Cerita Pendek ini menjadi salah satu dari 20 cerpen terbaik dan 100 cerpen terbaik karya putra-putri Indonesia dalam Short Story Writing Competition – Kenapa Sekolah dengan tema “Aku Ingin Sekolah”: