Sifana Musofi
Karya: Faiz Deja Ramadhan
Sifana Musofi lahir di Lhokseumawe, 28 Oktober 1988. Kini umurnya 22 tahun, Ia lahir dari keluarga sederhana, pasangan orang tua yaitu Bapak Haji Ahmad Musofi dan Ibu Annisa Arvan. Sejak kecil Ia dirawat dan dididik oleh kedua orang tuanya dengan ilmu agama yang kuat, Islam bagi keluarganya merupakan suatu hal yang wajib dan tidak boleh ditinggalkan.
Dari kecil Sifana biasa hidup mandiri, tekun dan rajin. Ia tidak pernah dimanjakan oleh kedua orang tuanya meskipun begitu seluruh kebutuhan Sifana pun dipenuhi dengan baik. Ayah Sifana bekerja sebagai Pegawai Negeri di Kantor Urusan Agama di Lhokseumawe dan Ibunya bekerja sebagai guru di salah satu Taman Pendidikan Al-Qur’an.
Sifana tidak pernah manja kepada kedua orang tuanya saat belia karena setiap hari Sifana pergi sekolah dan pulang saat sore hari. Hingga malam hari Ia baru bertemu kedua orang tua dan kakaknya, Ardi yang bekerja sebagai koki di restoran khas makanan Aceh.
Saat berumur 22 tahun setelah Ia menyelesaikan pendidikan tingginya dan mendapat gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di Aceh. Orang tuanya meminta agar Ia segera menikah. Dan setelah Ia bertemu orang yang diyakini adalah jodohnya Raden Bagus Soerito, yaitu temannya yang berbeda kampus dan fakultas karena Bagus adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi yang kampusnya dekat dengan kampus Sifana.
Setelah bertemu secara tidak sengaja dan berkenalan sampai mengetahui lebih banyak antara Sifana dan Bagus, kini Sifana pun tahu kalau Bagus ialah seorang putra keluarga besar berdarah biru yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Aceh walaupun semua keluarganya berada di Yogyakarta.
Saat Sifana dan Bagus lulus dan keduanya di wisuda Bagus berjanji Ia akan pulang dahulu ke Yogyakarta selama tiga bulan dan akan kembali lagi ke Aceh untuk melamar Sifana bersama keluarganya. Sifana pun memegang janji Bagus selama satu bulan pertama Ia menunggu Bagus sambil bekerja sebagai guru di Madrasah Tsanawiyah.
Suatu hari dimana sudah tepat tiga bulan Bagus pergi meninggalkan Sifana namun Ia kini belum datang kembali untuk menepati janjinya kepada Sifana. Ayah Sifana menghampiri Sifana di serambi depan rumahnya dan melihat Sifana sedang bersedih.
“Ada apa dengan mu Sifana ?” Tanya Ayah.
“Tidak ada apa-apa Ayah.” Jawab Sifana.
“Kalau tidak ada apa-apa mengapa kamu menangis?” Tanya Ayah kembali.
“Saya sedang menunggu Mas Bagus.” Jawab Sifana.
“Jika hatimu yakin kalau dia akan datang kembali pada mu, tegarkanlah hatimu.” Jelas Ayah.
“Sifana tidak akan pernah melupakan Mas Bagus, Sifana tahu betul dia orang yang tidak munafik.” Ujar Sifana.
Lalu Ayah Sifana meninggalkan Sifana yang tetap diam terpaku sambil sedikit meteskan air mata.
Keesokan harinya Sifana terkejut ketika membuka pintu untuk tamu yang datang ke rumahnya, yang ternyata adalah Bagus dan kedua orang tua serta adiknya yang bernama Lili. Setelah membalas salam, Sifana menyambut Bagus dengan sangat gembira.
“Mas Bagus ! Aku tahu kamu pasti akan datang.” Ujar Sifana dengan wajah gembiranya.
“Pasti aku datang terima kasih telah menungguku, maaf telat ini karena suatu keterlambatan transportasi, yang jelas aku menepati janjiku.” Jelas Bagus.
“Iya Saya maafkan dan terima kasih telah menepati janji Mas. Mari silahkan masuk semua!” Ajak Sifana.
Setelah itu Ayah dan Ibu Sifana pun menyambut keluarga Bagus dengan senang.
Kemudian dimulai lah acara Bagus melamar Sifana. Dan acara itu berlangsung dengan penuh kebahagiaan serta penerimaan lamaran oleh Sifana kepada Bagus sepertinya kedua keluarga mereka sangat akrab saat pertemuan itu.
Satu bulan setelah acara lamaran Bagus dan Sifana berlangsung, mereka berdua menikah dengan acara yang dimeriahkan oleh kedua adat mereka yang berbeda yaitu Jawa dan Aceh. Saat akan dirias Sifana diperintah untuk calon Ibu mertuanya untuk melepas jilbabnya dan memakai sanggul namun Sifana agak keberatan dan menolak itu semua karena menurutnya jilbab adalah perias di kepalanya yang paling indah dan juga menutup aurat yaitu rambutnya. Akhirnya Ibu mertuanya pun mengalah walaupun agak berat hati karena harus meninggalkan kebudayaan leluhurnya yaitu menikah menggunakan sanggul pada menantu perempuannya.
Di acara pernikahan Bagus dan Sifana yang berlangsung sakral nampak Bagus yang tampan menggunakan dua baju adat bergiliran yaitu adat Jawa dan Aceh begitu pula dengan Sifana yang cantik dengan dua kebaya dan dua jilbab yang berbeda dan elok.
Setelah Bagus dan Sifana menikah mereka berdua tinggal sementara selama dua minggu di rumah keluarga Sifana. Kemudian Sifana pun pindah bersama Bagus ke Yogyakarta dan berpamit dengan ayahnya juga berjanji menjadi istri yang solehah terhadap suami dan anak-anaknya.
Di Yogyakarta Sifana dan Bagus hidup sebagai sepasang suami istri yang bahagia bersama keluarga Bagus. Keluarga mereka terlihat harmonis, damai dan lebih religious setelah datangya Sifana di keluarga Bagus yang terkenal.
Namun suatu hari Sifana merasakan bahwa keluarga Bagus terlalu bergantung pada adat istiadat Jawa di setiap keadaan sehingga pendidikan agama atau ajaran Islam yang mereka amalkan tidak lebih dari lima rukun Islam, dan Sunah-sunah Rasulullah yang tidak melekat dalam kehidupan keluarga mereka.
Di tahun baru Hijriyah atau 1 Muharam Keluarga Bagus biasa melaksanakan ritual adat Jawa yaitu membuat makanan berupa ketan ditabur kelapa parut dan memandikan keris yang dipajang di dinding rumah juga bagi para laki-laki mandi di tengah malam didalam kolam yang dingin bertabur bunga tujuh rupa. Saat tengah malam Bagus terbangun dan Sifana pun melihat Bagus terbangun dari tidurnya.
“Ada apa Mas ? Bangun tengah malam begini. Apa Mas mimpi buruk atau ada hal yang harus Mas kerjakan ?” Tanya Sifana ikut terbangun setelah Bagus terbangun.
“Sifana ini kan malam 1 Suro, aku harus melakukan ritual yang biasa keluargaku lakukan.” Jawab Bagus.
“Tapi Mas ini kan tengah malam, apa Mas tidak takut kalau nanti Mas sakit atau masuk angin ?” Tanya Sifana lagi.
“Tidak, Insya Allah Mas akan baik-baik saja.” Jawab Bagus.
“Ini kan bukan suatu kewajiban Mas, toh ini hanya ritual adat yang tidak disunahkan Rasulullah. Lebih baik Mas cari saja kegiatan positif yang lain seperti Shalat Malam atau membaca Al-Qur’an.” Jelas Sifana.
“Sudah kamu tidak usah khawatir. Saya yakin saya bisa menjalani ritual ini dengan baik.” Ujar Bagus.
Akhirnya Sifana pun mengalah dan berharap supaya Bagus dibukakan pintu hatinya agar lebih mengutamakan sunah Rasulullah dari pada ritual adat istiadat.
Hari – hari terus berlalu dan adat istiadat keluarga Bagus terus digunakan setiap ada hari peringatan maupun hari raya besar agama Islam. Sifana pun memikirkan bagaimana caranya agar keluarga Bagus tidak mengarah kegiatan yang memusyrikan Allah dan lebih memprioritaskan ajaran agama bukan adat dari leluhur yang kurang bermanfaat.
Saat Sifana hamil, dan kandungannya berusia 7 bulan, keluarga Bagus pun mengadakan ritual yang memandikan Sifana dengan air suci namun awalnya Sifana menolak karena menganggap ini semua tidak ada manfaatnya. Tapi keluarga Bagus mengatakan manfaat ritual ini adalah melestarikan budaya leluhur dan adat istiadat Jawa yang hampir punah. Akhirnya Sifana pun mengalah lagi dengan tetap melakukan ritual itu.
Sifana melahirkan putri pertama yang bernama Dania. Sifana dan Bagus sangat senang dan bangga memiliki seorang putri, Dania karena Dania sangat cerdas, rajin dan aktif bahkan saat umur 1 tahun Dania telah bisa berbicara walaupun hanya sekedar ocehan anak balita. Oleh karena itu Bagus dan Sifana merawat Dania dengan sepenuh hati.
Saat berumur 1 tahun juga Dania diajari berjalan oleh kedua orang tuanya namun Nenek Dania atau Ibunya Bagus menginginkan Dania melaksanakan ritual Tedak Sinten atau Turun Tanah dimana Dania kaki diinjakan ke atas tanah dan diajari berjalan. Namun Sifana menolak ritual ini karena menurut Sifana ada waktunya Dania untuk bisa berjalan dan tak perlu mempercayai ritual adat untuk membuat Dania bisa berjalan dan ritual ini perlu dihadiri banyak orang sementara Sifana memikirkan biaya acara ritual ini yang tidak sedikit karena walaupun Bagus keluarga yang kaya namun mereka saat ini sedang kekurangan uang setelah biaya persalinan Sifana. Akhirnya dengan keterpaksaan Ibu mertua Sifana pun mengusahakan acara ritual itu tetap dijalankan dan dengan berat hati Sifana pun membantu Ibu mertuanya mengadakan acara ritual itu.
Di waktu yang membuat Keluarga Besar Bagus berkabung yaitu dimana ayah Bagus yang meninggal karena penyakit jantung, Sifana sangat berduka melihat Bapak Mertuanya yang sudah tiada dan suaminya yang sedang bersedih kehilangan ayahnya. Sifana berharap ujian ini semua mengubah sifat asli keluarga besar Bagus yang selalu berpedoman pada adat istiadat warisan leluhur atau nenek moyang. Namun harapan Sifana itu sirna setelah mengetahui saat tujuh hari sudah kematian Bapak Mertuanya, dan kini Ibu Mertuanya ingin mengadakan acara Tahlilan walaupun keadaan ekonomi keluarganya sedang kekurangan karena pendapatan keluarga Bagus sekarang hanya dari gaji yang Bagus terima.
Terjadi pertentangan antar Sifana dan Ibu Mertuanya saat keluarga mereka akan mengadakan acara Tahlilan untuk ayahnya Bagus.
“Ibu tahu kan kalau keluarga kita sedang krisis keuangan jadi sebaiknya Ibu tidak usah terlalu memaksakan acara ini.” Ujar Sifana.
“Tidak ini acara yang harus diadakan karena keluarga kita keluarga terhormat.” Ucap Ibu.
“Tapi Ibu harusnya mengerti karena acara ini butuh banyak biaya. Dan kegiatan seoerti ini pun tidak diperintahkan agama, jadi tidak ada hukum yang mengaturnya.” Jelas Sifana.
“Sudah kamu tidak usah banyak omong, kalau kamu memang tidak mau membantu Ibu biar Ibu mengurus acara Tahlilan ini sendiri. Dan meminta uang kepada Bagus.” Bentak Ibu.
Lalu Ibunya mertua Sifana pun meninggalkannya dengan penuh rasa marah dan kesal.
Setelah pertentangan itu terjadi tiba-tiba adik perempuan Bagus, Lili datang menghampiri Sifana yang bersedih atas perilaku Ibu Mertuanya.
“Kak Sifana maafkan Ibu ya ! Saya juga heran kenapa Ibu itu selalu mementingkan budaya leluhur daripada perintah agamanya sendiri.” Ujar Lili.
“Tak apa Li, Kakak berharap semoga Ibu segera dibukakan pintu hatinya.” Harap Sifana.
“Saya bingung ! Menurut Kakak apa yang harus kita lakukan agar Ibu tidak selalu mementingkan kegiatan adat atau budaya dari pada agamanya sendiri ?” Tanya Lili.
“Lili walaupun hidup yang kita miliki seperti kehidupan religi dalam berbudaya tapi bukan seharusnya kita lebih mementingkan budaya karena bagaimana pun juga budaya itu harus diiringi dengan nilai-nilai religi bukan religi yang dipengaruhi budaya. Sebab perintah Tuhan harus kita jalankan kalau tidak dosa, bukan wasiat leluhur yang kita utamakan, meski tidak semua budaya atau acara adat dari warisan leluhur itu jelek namun sebaiknya kita menjalankan yang bermanfaat saja seperti memberikan makan orang miskin dan itu kalau kita mampu atau tanpa terpaksa. Namun budaya warisan leluhur yang tidak bermanfaat serta mempengaruhi nilai agama sebaiknya kita tidak memaksakan untuk menjalankan kalu perlu dihindari saja agar kita tidak menjadi musyrik.” Jelas Sifana.
“Oh begitu ya Kak !” Jawab Lili.
“Kini Ibu sadar kalau Ibu seharusnya patuh terhadap agama Ibu bukan memprioritaskan budaya leluhur.” Ujar Ibu Mertua Sifana yang tiba-tiba datang.
“Aku juga baru sadar kalau keluarga kita seharusnya menjalankan perintah agama dengan baik bukan wasiat para leluhur yang bisa saja membuat musyrik keluarga ini” Ujar Bagus yang juga tiba-tiba datang.
Ternyata Bagus dan Ibunya mendengar penjelasan Sifana terhadap Lili tadi dan kini
Keluarga Bagus pun sadar kalau tidak salah jika mereka menjalankan budaya leluhur namun seharusnya mereka selektif untuk melakukan budaya yang diperbolehkan agama sama yang tidak, budaya leluhur yang bermanfaat dan dianjurkan agama sama budaya yang tidak bermanfaat bahkan bisa mengandung kemusyrikan.
Benar kata Sifana di kehidupan seharusnya budaya dipengaruhi religi bukan religi yang dipengaruhi budaya, walaupun religi menjadi urusan masing-masing pribadi manusia dan budaya dilakukan bersama serta hidup ini dijalankan seperti kehidupan religi dalam berbudaya.