Sampah merupakan masalah lingkungan
yang paling marak ditemui dan membebani masyarakat yang hidup di dalam
lingkungan tersebut. Sampah sebenarnya limbah atau output alias keluaran yang
bersifat sisa atau sudah tidak memiliki nilai pakai lagi yang dapat berupa barang
dan dihasilkan oleh manusia atau dibuang dari barang-narang yang digunakan oleh
manusia. Sampah pada umumnya dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya yaitu
sampah basah dan sampah kering atau sampah organik dan sampah anorganik. Sedangkan
berdasarkan bentuknya sampah dapat berupa sampah cair dan sampah padat. Permasalahan
sampah yang kerap ditemui di masyarakat tidak hanya terjadi di beberapa kondisi
lingkungan atau wilayah. Wilayah perkotaan hingga pedesaan sekalipun bisa
terbebani dengan problematika klasik pada lingkungan ini, sampah agaknya dapat
menjadi sesuatu yang mengganggu manusia secara pribadi alias individu atau dalam masyarakat.
Di
Kota Yogyakarta sendiri menyumbang sampah sekitar 230 hingga 300 ton perhari
dan 70% dari total sampah tersebut dapat dikelola, sedangkan 30% sisanya
menjadi sampah yang masih menumpuk di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai
penyumbang sampah terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta memang sudah mengkhawatirkan,
karena volume sampah di tempat pembuangan akhir pun dipenuhi oleh sampah dari
Kota Yogyakarta yaitu sekitar 70% dan 30% sisanya adalah sampah dari Kabupaten
Bantul dan Sleman. Kedua kabupaten tersebut menyumbang sampah yang cukup kecil
di TPA Piyungan karena memang masih memiliki daerah pedesaaan yang luas
sehingga masyarakat masih dapat membuang sampah di pekarangan dengan cara dibakar
ataupun ditimbun untuk sampah-sampah organiknya, meskipun cara tersebut juga
masih dianggap salah karena tak jarang masyarakat di pedesaan juga menimbun
sampah plastik yang tak terurai. Sangat jelas hal tersebut dapat merusak
lingkungan dan ekosistem yang ada. Beda dengan daerah kota yang tidak lagi
memiliki lahan pembuangan sampah, mereka harus menampungnya dan diambil oleh
petugas sampah untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir. Itulah penyebab Kota Yogyakarta
menyokong pasukan sampah tertinggi. Lebih parahnya lagi masyarakat kita baik
kota maupun kabupaten belum mau memilah sampah mereka sehingga menyulitkan
petugas untuk melakukan pemisahan sampah yang pada akhirnya langsung dibuang
begitu saja di TPA Piyungan, tentunya hal ini juga dapat merusak lingkungan
karena tumpukan sampah yang mengandung material anorganik tidak akan terurai di
kawasan pembuangan sampah, hal tersebut akan memicu kerusakan alam yang lebih
parah. Belum lagi ditambah ulah penduduk kota yang membuang sampah serta limbah
rumah tangga mereka ke Sungai Code maupun Sungai Winongo. Yogyakarta tinggal
menunggu waktu untuk menjadi kota darurat sampah layaknya Jakarta dan kota-kota
besar lainnya.
Pemerintah
dan pihak terkait sejatinya sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi
permasalahan sampah, salah satunya dengan menempatkan tempat sampah organik dan
anorganik di sudut-sudut kota. Sosialisasi
juga tak henti dilakukan sebagai upaya nyata agar masyarakat dapat memilah
sampah sehingga memudahkan Pemkot untuk melakukan pengelolaan selanjutnya.
Namun usaha tersebut terkesan belum maksimal karena dari sekian banyak sampah
baru 60%. Kita masih memiliki 40% sampah yang masih mengotori kota ini maupun
tempat pembuangan akhir. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan
partisipasi masyarakat luas untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri.
Pada
tahun 2013, pemerintah kota telah mencanangkan pembentukan bank sampah di
setiap rukun warga dan hasilnya adalah 60% sampah dapat dikelola dengan baik.
Karena dari program yang ada baru sekitar 300 RW dari 600 RW yang menerapkan
sistem bank sampah. Bukan tidak mungkin jika bank sampah diturunkan hingga tingkat Rukun Tetangga maka partisipasi
masyarakat akan jauh lebih tinggi karena mereka diberi kewenangan untuk
mengelola sampahnya sendiri dengan lebih maksimal. Dengan kata lain strategi
dan eksekusi yang dilakukan adalah membuat suatu jaringan bank sampah yang
terintegrasi dengan baik dari tingkat bawah yaitu RT kemudian dari RT akan
memasok ke tingkat RW. Dari tingkat RW inilah sampah akan diambil oleh petugas
bank sampah di tingkat kelurahan yang kemudian dipasok ke pengelolaan akhir
yaitu tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan inilah sampah akan dikelola
sebagaimana mestinya. Pemkot hanya tinggal menyediakan modal untuk memberikan
sokongan alat pengelolaan sampah bagi kecamatan seperti halnya alat pengolahan
kompos yang dapat digunakan untuk mengelola sampah organik oleh warga untuk membuat pupuk kompos sehingga hasilnya
pupuk tersebut dapat dijual ke pasaran, itulah salah satu ide bisnis yang baik
serta dengan melengkapi truk pengangkut sampahnya. Sedangkan sampah
anorganiknya akan dijual ke tengkulak agar diolah menjadi barang daur ulang
atau dapat didaur ulang sendiri oleh warga dan dipisahkan sendiri ketika
sampah-sampah tersebut masih berada di RT atau RW. Sampah Daur ulang dapat
menjadi peluang usaha yang sungguh besar jikalau kelompok seperti ibu-ibu PKK
mampu mendaur ulang tersebut menjadi bahan berguna kembali seperti pembuatan
payung, tas, topi, dompet, tempat pensil dan sebagainya dari sampah anorganik
seperti plastik-plastik kemasan deterjen, makanan, minuman dan lain-lain.
Pengelolaan daur ulang dengan pemisahan Bank Sampah ini dapat diteledani dari
berbagai contoh yang telah dilakukan di daerah-daerah lain sehingga warga Kota
Yogyakarta di tingkat RT dapat menekuninya. Dari sinilah dengan ide bisnis
berbasis lingkungan seperti ini, tingkat kecamatan akan memperoleh uang dan
keuntungan yang kemudian menjadi saldo bagi bank-bank sampah di bawahnya.
Jaringan ini memiliki sistem yang sama seperti koperasi sebagai sokoguru
perekonomian Indonesia. Dengan demikian pengelolaan sampah yang melibatkan
masyarakat ikut serta didalamnya sebagai solusi terbaik pemerintah kota untuk
menanggulangi permasalahan sampah serta menjadikan solusi sebagai ide bisnis
yang dapat diterapkan untuk memandirikan masyarakat. Sekarang sampah bukan
hanya menjadi sesuatu yang tidak bernilai melainkan barang bernilai ekonomis dapat
menjadi peluang usaha dan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi
warga dari tingkatan paling rendah. Hal ini juga sebagai upaya melestarikan
lingkungan serta meminimalkan bermuaranya volume sampah yang terlalu banyak ke
tempat pembuangan akhir maupun saluran air seperti sungai dan selokan. Dalam
hal ini jika bank sampah di tingkat RT dapat berjalan dan mengurangi volume
sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir, pemerintah kota juga dapat
menghemat biaya sebesar 2,2 Milyar dana yang diperlukan untuk membayar
retribusi sampah di Piyungan. Dengan begitu akan banyak keuntungan yang
dirasakan banyak pihak dari adanya solusi permasalahan sampah di lingkungan
kota Yogyakarta yaitu berupa bank sampah ini dimulai dari kebersihan yang
dinikmati masyarakat, adanya peluang usaha yang dapat berjalan dan menjadi saldo
pemasukan bagi anggaran di kecamatan-kecamatan dan mempermudah pengelolaan
sampah serta manajemen Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh Pemerintah Kota (Pemkot).