DIA ( yang tak sempurna )
Karya : Faiz Deja Ramadhan
Memiliki
pengharapan yang pasti jika kesusahan akan segera hilang.
Jabur
37:9-11
Pagi
menjelang, matahari masih memancarkan sinarnya dengan redup. Dinginnya kota
jogja terasa menusuk masuk ke sela-sela tebalnya selimut. Danu, terbangun dari
tidurnya. Melipat selimut dan membereskan kamar tidur. Mukanya dibasuh
menggunakan air dingin, tak lupa dia mengucapkan syukur kepada Tuhan yang
memiliki jiwanya, hari ini masih diperbolehkan melihat dunia. Dengan kaki kecil
yang tak sempurna, Danu mengayuh sepeda menelusuri gang-gang sempit di Kotagede,
rutinitas di pagi hari. Kayuhan sepedanya tak lancar, bahkan Dia harus
memegangi kemudi hanya dengan satu tangan kirinya. Danu terlahir dengan fisik
tak sempurna sejak empat puluh tahun yang lalu. Masa kecilnya tak sebahagia
anak-anak yang lain. Darah keluarga Danu memaksanya harus memiliki kondisi
fisik seperti sekarang. Saudaranya tak memiliki penglihatan yang sempurna sejak
lahir, begitu pula dengan Danu. Namun Dia tak seberuntung dengan abang dan
adiknya, kaki Danu memiliki kelainan, begitu pula dengan tangan kanannya yang
tumbuh tak sempurna.
Dengan
pelan tapi pasti dikayuhnya sepeda yang selalu menemani selama ini. Danu
menambil dagangan di loper koran yang sudah menjadi langganannya. Setiap hari Dia
menjajakan koran di kios kecil beserta rokok dan minuman kemasan. Lumayan
laris, banyak dari pembelinya adalah orang-orang yang sedang menunggu keluarga
mereka di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Kotagede. Kondisinya yang tidak seperti
kebanyakan orang tak pernah menyurutkan semangat untuk meraih rupiah dengan
cara yang mulia. Berbagai informasi Dia salurkan ke setiap pembaca. Berkat kegigihannya
itu, Danu tak pernah menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Kesendiriannya
selama empat puluh tahun ini tak pernah membuat hidup sepi, masih ada Tuhan
yang selalu menemani baginya. Keluarga yang lain memang memiliki pekerjaan yang
lebih mapan dari pada Danu, tapi Dia tak pernah berkecil hati melihat keluarga
yang lain lebih enak. Selalu sabar merupakan prinsip dan harga mati.
Hari
minggu, berarti Dia harus menutup kiosnya lebih cepat. Danu tak pernah lupa
menyempatkan waktu berdoa ke rumah Tuhan setiap hari minggu. Menyampaikan keluh
kesah dan meminta berkah untuk hidup yang tak dapat diprediksi. Setelah dari
gereja, barulah kios kecil yang menjadi usaha stu-satunya dibuka kembali. Bagi
kebanyakan orang usahanya hanya sebuah kios koran. Kecil, dengan keuntungan tak
seberapa. Tapi ada makna dibalik minimnya untung yang Dia dapat.
“
Saya tak pernah melihat untung, semua yang saya dapat adalah karunia Tuhan dan
akan kembali pada Tuhan.” Kata Danu dengan bersahaja.
Tak
jarang orang dapat tabah seperti Dia, bahkan dengan kondisinya yang seperti
itu. Usahanya mulia dari pada mereka yang sempurna dan pintar tapi hanya
membodohi orang banyak, atau mereka yang kuat secara fisik tapi meminta belas
kasihan orang lain. Usahanya lebih sempurna dari pada fisiknya. Orang memandang
dia sebelah mata, bahkan teman bermainnya waktu kecil. Pendidikan ditamatkan
dengan bully setiap harinya, namun
kegigihan sudah tergambar. Tak terlalu mencolok disisi pelajaran, namun dia
termasuk pemeluk yang teguh. Mengerti firman Tuhan dengan jelas, bahkan dia
juga menjadi pengajar yang baik.
Saat
siang sudah tergelincir, Danu kembali menutup kios kecilnya. Tak banyak
dagangan yang diambil di hari minggu. Sudah disesuaikan dengan kondisi kios
yang buka tidak seharian penuh. Setelah pagi berdoa kepada Tuhan, sekarang
giliran Dia harus membagi ilmu yang dipunyai kepada anak-anak yang masih lugu.
Di gereja yang sama Danu menjadi pengajar bagi anak-anak di sekolah minggu.
Sekedar mengajarkan firman dan melatih paduan suara, melantunkan pujian untuk
Tuhan yang memberi nafas. Ini adalah sebuah pengabdian, wujud rasa syukurnya
pada Sang Pencipta.
“
Pendidikan yang baik bukan dilihat dari nilai dan status sarjananya, namun
seperti apa kita dapat membagi ilmu yang kita punya kepada orang lain, dan
menjadikan ilmu itu menjadi berguna”, bagiku.
Baginya
memberikan pengajaran tentang ilmu agama lebih bermanfaat dari pada membagi
aljabar yang tak pernah dipergunakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Danu memang tak sepandai orang lain, namun kegigihan dan pengetahuan tentang
agama membuat Dia disegani anak-anak yang diajarnya. Pengabdiannya kepada
Tuhan.
“
Mas Danu itu pintar, apalagi kalu dia sedang membaca doa dan firman. Dengan
mata yang tak sempurna, dengan kaki yang susah berjalan dan menulis dengan
tangan kirinya, Dia adalah sosok sempurna untuk menggambarkan kegigihan dan
kesuksesan untuk mensyukuri setiap kondisi hidupnya”, ujar Nindya yang pernah
menjadi muridnya di sekolah minggu.
Hidupnya
penuh dengan kekurangan, tapi hati dan jiwanya penuh dengan kelebihan. Dia
gigih dan mau berbagi. Danu, tak pernah memandang fisiknya sebagai penghambat.
Memang tak seorangpun wanita yang menerima fisiknya, namun kesendiriannya
adalah jalan yang harus ditempuh. Usahanya tak dapat disejajarkan dari usaha
yang memiliki omset tinggi, tapi semangat dibalik usahanya tak jarang ditemukan
dalam kehidupan orang lain, belum juga kebaikannya membagi ilmu. Seharusnya
kita iri melihat kehidupannya yang penuh dengan kekurangan namun penuh inspirasi.
Sore
dilalui dengan sepeda yang masih saja dikayuh dengan pelan, menelusuri jalan
yang sama, sempit dibalik bangunan tua yang eksotik.
Kotagede menjadi saksi hidupnya, saat matahi menutup matanya, Danu menutup hari
dengan senyum penuh makna. Malam menjelang adalah surga untuk mengistirahatkan
raga yang tak memiliki kekuatan penuh. Mengumpulkan tenaga lagi, untuk esok
hari yang masih panjang, menjalankan usaha, menyapa pelanggan, menyapa dunia
yang bersahabat.
Baginya,
“ Tuhan akan mengusap air mata setiap hambanya, tak kan ada lagi kematian,
kesusahan, dan kesakitan” Wahyu 21:23,4.
Cerita ini dapat dibacva dalam Buku " Perjalanan Hidup Sang Difabel" Penerbit AE Publishing.