Catatan
kematianku
Aku tak peduli lagi
purnama atau bulan mati, saat jarum jam sudah menyentuh angka dua belas malam
aku berjalan dengan kaki yang aku seret pelan. Tak aku rasakan lagi dingin
malam atau sunyi perkotaan. Mengetuk perlahan pintu-pintu yang terkunci
rapat. Menunggu dengan muka masam, lalu aku
pukul siapa saja yang membukakan pintu. Tak
pernah ada niat untuk membunuhnya, hanya saja tangan ini ingin
menggenggam batang kertas tembakau. Rumah demi rumah aku masuki setiap malam,
mengobrak-abrik isinya, untuk sebatang rokok. Belakangan ini warga kota sudah
lebih pintar. Mereka menaruh rokok-rokok di depan pintu mereka agar aku tak
menyakiti.
“Kenapa aku tak pernah menyerang warung atau
bahkan swalayan.” Cetusku.
Aku tak mau mati konyol. Setidaknya aku
sudah merajai halaman utama koran lokal. Zombi pencari rokok. Aku
terus menghisap, batang-batang racun yang membuat tubuhku sekarat.
Antara mati dan hidup. Bibirku tak lagi dapat merasakannya, apalagi napasku
yang sengal penuh dengan racun yang siap meledakkan kantung udaraku itu.
Badanku rusak. Tak kurasakan lagi apa itu hidup. Aku kecanduan rokok. Rokok
yang tak dapat aku lepaskan meski aku hampir mati.
Suatu malam yang
benar-benar sepi, untuk pertama kalinya aku membunuh pemuda yang sedang berdiri
di pinggir jembatan. Mungkin dia menunggu temannya dengan sebatang rokok yang
dihisapnya. Aku menikamnya, lalu
menceburkannya ke sungai. Esok harinya media lokal gempar dengan
penemuan mayatnya. Itu lebih baik untuknya. Mati. Daripada nanti dia tak dapat
merasakan kematiannya atau hidupnya sudah tak berguna sepertiku. Sebenarnya aku
ingin membersihkan manusia-manusia bodoh dari racun pembunuh. Permen tembakau
yang menyebarkan asap seperti foging nyamuk demam berdarah. Rokok itu candu
yang akan mengakhiri hidup umat manusia secara perlahan. Merokok membunuhmu.
Aku bersandar di iklan rokok yang cukup besar. Pesan kematian sudah terpampang
jelas. Tapi betapa bodohnya manusia yang membeli kematiannya sendiri. Betapa bodohnya pabrik
yang memproduksi kematian masal. Aku tak mungkin berteriak-teriak di depan
gedung pemerintahan, menyuarakan “HENTIKAN PRODUKSI ROKOK”. Yang ada aku akan
di tembak mati oleh polisi karena bentukku yang seperti ini. Setidaknya itu
lebih baik daripada aku tak merasakan hidup lagi. Tapi aku belum memusnahkan
rokok-rokok itu. Dalam rencanaku aku ingin sesekali menyusup ke dalam pabrik
dan membakar gudang rokok, tapi aku takut asapnya menyebar menjadi pembunuh
masal anak-anak tak berdosa. Meski nyawa mereka juga terancam oleh hisapan rokok
mahluk tak bertanggung jawab.
Aku berjalan berkilo-kilometer
setiap malam, hanya ingin mencari rokok untuk aku hisap lagi dan mencari pemilik
pabrik rokok itu. Dalam napas sengal aku tak pernah mati. Aku ingin mati
bersama dengan pengusaha racun itu. Meledakkan paru-parunya dengan asap rokok
produksinya sendiri. Biar dia merasakan seperti apa sesaknya napas ini karena
karyanya. Biarkan asap-asap itu mencekik lehernya, seperti kanker yang tak lagi
bisa diangkat dari paru-paruku. Atau kanker yang membuat mulutku mati rasa. Aku
bersembunyi dari pagi di semak-semak, lalu menyelinap dalam bagasi mobilnya.
Keluar di malam hari tepat dengan bulan mati. Gelap. Aku baru tahu pengusaha
rokok itu bukan seorang perokok. Aku
menelusup dengan satu kardus rokok yang aku kumpulkan setiap malam, sebagian
sudah aku hisap sendiri menjadi canduku. Mengendap-endap masuk kamarnya.
Menutup pintu dan membakar semua rokok yang aku punya di kamarnya, menciptakan
asap beracun yang mengepungnya dari luar kamar mandi kamarnya. Teriakannya tak
terdengar oleh pintu yang terkunci rapat. Aku menunggunya di depan pintu kamar
mandi, menunggu dia keluar dan mati bersamaku. Aku menikamnya dalam pengap asap
rokok itu. Aku sudah terbiasa dengan baunya, tapi tidak dengan dia. Aku
mengikatnya dan membakar berbatang-batang rokok di mulutnya hingga dia
merasakan racunnya sendiri. Esok ingin catatanku ini dimuat dalam media, dengan
berita pengusaha rokok yang tak merokok mati bersama pecandu rokok yang menjadi
korban pabriknya. Catatan seorang zombi yang sering mencuri rokok namun membunuh
pengusaha pabrik rokoknya.